Aku mencoba mengingat lagi dengan peristiwa serupa yang pernah aku alami saat aku masih berusia dini. Dulu, aku pernah dibilang tomboy karena aku punya kakak laki-laki, sehingga menyebabkan perilaku dan perangaiku juga nampak seperti laki-laki.Â
Sejak kecil, aku suka sekali berlari, bermain bola, atau bahkan memanjat pohon. Diamini oleh cerita bapak yang bilang, kecerdasan motorikku memang sudah bagus sejak kecil. Aku dapat berjalan terlebih dahulu, sebelum bisa ngomong. Aku bisa berlari terlebih dahulu, padahal anak-anak seusiaku masih belajar berjalan.
Kalau ditanya cita-cita masa kecil, aku ingat sekali kalau aku pengen jadi atlet. Ingat sekali ketika lomba 17 Agustus-an di kampungku, aku pasti ikut lomba yang ada hubungannya dengan lari. Tapi, sejak mau masuk SD aku sudah tak lagi suka berlari. Alasannya bukan sebab nyinyiran orangtuaku, tapi nyiyiran orangtua di kampungku.
Aku, tinggal di sebuah kampung, di mana biasanya orang kampung percaya, kalau anak perempuan itu harus anggun, kemayu, lembut atau secara sederhananya, perempuan itu harus feminim. Dan kalau aku berkaca pada aku yang dulu, bisa dibilang itu bukan aku banget!
Aku yang dulu ya seperti apa yang sudah aku ceritakan di atas. Aku bisa dibilang yang paling tidak feminim dibandingkan dengan teman main perempuanku yang lainnya.Â
Ketika anak perempuan seusiaku saat itu lebih suka bermain masak-masakan atau pasar-pasaran, aku lebih suka berangkat ke lapangan bermain bola, bermain bentengan  atau sekadar kejar-kejaran yang bisa aku manfaatkan untuk melatih kemampuan berlariku dan hal itu membuatku senang. Tapi tentu saja, itu semua tinggal kenangan sejak seringnya kudengar, orangtua temanku yang berkata seperti ini:
"Perempuan kok tingkahnya seperti itu, ke mana-mana sukanya lari-lari. Cobak lebih kalem dikit. Kalau disuruh beli apa-apa ke warung, gak usah pakai lari-lari. Gak usah grasa-grusu! Liat loh teman perempuannya yang lain, pada kalem kok."
Ya, kalimat itu. Kalimat yang membuat kakiku enggan lagi berlari cepat. Aku mendengarnya hampir setiap hari. Bagaimana tidak, tetanggaku yang mengatakan begitu.Â
Tentu, ia juga seorang orangtua. Meski bukan orangtuaku, bukan tak mungkin untuk aku menganggapnya sebuah hal yang tak biasa. Di-nyinyiri oleh orang dewasa khususnya ia yang sudah menjadi orangtua, rasanya menyakitkan.
Dari sana aku berpikir bahwa semua anak perempuan harus dilatih berlemah lembut sejak kecil dan aku harus merubah diriku menjadi seperti itu. Tapi dampak yang paling besar, yang baru aku sadari sekarang adalah aku kehilangan semangat untuk menjadi seorang atlet, mengapa?Â
Ya aku adalah seorang perempuan. Perempuan tak baik bila senang berlari kencang, perempuan harus lemah lembut dan harus harus lagi yang lainnya menurut tuntutan lingkungan. Aku tersadar, bakat yang aku miliki telah terusir, bukan sebab kesalahan yang aku lakukan, tapi karena sebuah nyinyiran.