Kalau diambil pemaknaan secara sederhana, Berpikir itu muncul ketika seseorang sedang menghadapi yang namanya masalah. Jadi, kalau gak ada masalah, gak mikir dong? Bisa iya, bisa tidak.
Masalah, bukan selalu berarti hal yang rumit. Hal-hal yang sederhana dapat juga diartikan sebagai masalah. Seperti halnya, rasa lapar. Rasa lapar tanpa disadari merupakan sebuah masalah, sebab dengan merasa lapar, orang harus berpikir bagaimana untuk dapat kenyang. Atau ingin menyeberang jalan disaat jalan sedang ramai, itu sebuah masalah. Bagaimana seseorang dapat menyelesaikan keinginannya, itu semua melewati sebuah proses yang dinamakan berpikir.Â
Banyak sekali hal-hal yang remeh dan sering bercampur dengan kebiasaan, yang secara tidak sadar itu merupakan masalah namun terkadang dianggap sebuah hal yang sederhana dan wajar. Apa yang membedakan otak manusia berbeda dalam berpikir? Dari sekian banyak faktor, salah satunya adalah faktor sejauh mana otak manusia tersebut tumbuh dan berkembang.
Dalam ilmu Neuroscience, perbedaan antara otak anak usia dini dengan otak orang dewasa tentu berbeda. Mulai dari ukurannya, kapasitasnya, serta tentu pola berpikirnya. Kita pasti sudah sangat akrab dengan kalimat, anak usia dini disebutkan sebagai usia emas atau golden age bukan tanpa alasan, hal itu dikarenakan pada masa usia tersebut, sel-sel serta syaraf otak milik anak berkembang dengan begitu pesatnya. Menandakan bahwa, otak merupakan salah satu benda yang paling berharga dan patut untuk dijaga. Tapi, ada satu hal yang perlu dipertanyakan, wajar apabila otak orang dewasa dan anak usia dini dianggap berbeda. Â
Namun mengapa anak usia dini yang seumuran juga memiliki pemikiran yang berbeda? Bukankah seharusnya sama? Â Bahkan, otak seorang anak yang kembar identik pun, mengapa ada yang berbeda? Mengapa, ketika dihadapkan pada sebuah permasalahan yang sama, otak anak usia dini dapat memikirkan solusi yang berbeda?
Awal pekan lalu, dosen saya bercerita. Beliau memiliki dua orang anak laki-laki yang masih berusia dini. Keduanya memiliki kucing yang sering buang air tidak pada tempatnya. Sebagai orangtua yang dapat berpikir dewasa, apabila dihadapkan dengan permasalahan yang sederhana seperti itu, pasti akan berpikir, "Yasudah tinggal dibersihkan saja, beres."Â
Tapi tidak dengan kedua anaknya. Kedua anak beliau memiliki dua pemikiran atau dua solusi yang berbeda dalam menghadapi permasalahan tersebut. Anak kedua, melakukan cara mengambil kardus dan menempatkan di tempat biasa si kucing buang air, dengan harapan nanti kalau kucing tersebut buang air maka akan buang air di dalam kardus dan permasalahan selesai. Sedangkan, pemikiran anak pertamanya berbeda, ia lari ke gudang dan mengambil popok yang sudah tidak ia pakai lagi. Reaksi dosen saya ketika pertama kali melihat hal tersebut sudah pasti bertanya untuk apa popok tersebut, dan anak pertama beliau menjawab,
"Kucingnya dipopokin saja biar gak buang air sembarangan, toh kakak sudah gede dan gak pakai popok lagi,"
Dari kejadian ini kemudian dapat diambil kesimpulan, bahwa ada hal sama yang ternyata berbeda.
Keduanya, dihadapkan pada permasalahan yang sama. Keduanya, diminta untuk mencari solusi atas permasalahan yang sama. Keduanya, sama-sama menemukan solusi atas permasalahan yang sama. Namun, dengan cara yang berbeda. Cara problem solving yang berbeda.
Dalam Ilmu Psikologi, J.P Guilford (1967) mengemukakan hal ini yang disebut dengan berpikir konvergen (corvergent thinking ) dan berpikir divergen (divergent thinking). Berpikir konvergen itu sama halnya yang dilakukan oleh anak kedua dari dosen saya, dimana biasanya manusia dengan pola berpikir konvergen ini cenderung logis. Biasanya, solusi dari permasalahan yang dipikirkan oleh manusia dengan pola berpikir ini cenderung tepat sasaran dan sudah biasa.Â