Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Filosofi Bakat dan Benih Jagung yang Tergugat

9 September 2020   12:22 Diperbarui: 10 September 2020   04:35 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Duh dek, saya ini sampai bingung. Anak saya ini loh sukanya nendang-nendang barang, bola atau enggak ya mukul-mukul benda. Kalau disuruh belajar, baru lima menit sudah hilang gak tau ke mana. Tapi giliran diajak main, sampai lupa waktu. Padahal kakaknya pintar, kalau disuruh belajar, nurut. Ini saya harus gimana ya enaknya buat menghadapi kebiasaan anak saya ini dek?"

Pertanyaan seperti ini sering kali saya dapatkan ketika berbicara dengan keluarga, teman yang sudah memiliki anak, atau bahkan orang yang baru saya kenal ketika mereka tahu, saya ini seorang mahasiswa jurusan pendidikan islam anak usia dini. 

Seolah, saya dianggap memiliki kapasitas untuk menjawab dan memberikan solusi yang tepat atas itu semua. Dan benar, sebab pertanyaan tadi, kebingungan yang muncul serta dirasakan oleh mereka sebagai orangtua tersalurkan kepada saya dan memaksa untuk saya berpikir keras memberikan jawaban atas pertanyaan itu.

"Sebenarnya, anak yang dianggap normal kebiasaanya seperti apa sih, kebiasaan-kebiasaan kaya tadi tuh wajar ga sih? Orangtua nih harusnya sikapnya gimana sih?"

Saya melamun beberapa saat, bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan itu di dalam otak saya. Alih-alih menjawab, saya malah balik bertanya, "Sebenarnya anggapan sikap anak yang wajar sesuai yang diharapkan oleh orangtua itu seperti apa". Faktanya, hampir semua jawaban mereka yang bertanya hal tersebut kepada saya adalah serupa.

Anggapan para orangtua, anak mereka harus pandai, kalau diminta belajar nurut, ikut apa kata orangtua, bermain sewajarnya dan masih banyak lagi yang lainnya namun berkonotasi bahwa itu semua salah anak mereka. Ketika saya tanya umur anak mereka, rata-rata masih usia pra-sekolah. Yap! 4-6 tahun.

Oh maaan, yang benar saja. Ini bukan saatnya anak-anak seusia mereka harus selalu duduk belajar layaknya robot yang patuh apa kata tuannya. Dan sebenarnya, bukan anak mereka yang tak wajar, justru sebaliknya. Bukan anak mereka yang perlu belajar, justru orangtua yang harus belajar memahami mereka. Sebab apa? 

Anak memiliki bakat, suatu hal yang ada dalam diri mereka dan seharusnya orangtua jangan menggungat. Anak memiliki kecerdasan atau intelegensi berbeda-beda, dan itu semua tak seharusnya dipaksakan oleh para orangtua untuk menjadi sama. 

Berbicara perihal bakat, sebenarnya bakat itu apa? 

Menurut Utami Munandar (1987) bakat dapat diartikan sebagai kemampuan bawaan, sebagai potensi yang masih perlu dikembangkan dan dilatih. Bakat ini merupakan kualitas yang terdapat dalam diri manusia yang memiliki tingkatan beragam dan berbeda. Nah, dari mana kita kemudian dapat mendeteksi seorang anak berbakat di suatu bidang tertentu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun