Pertama, sebagai tanda perkembangan kognitif anak berkembang. Ketika terjadi sebuah pertengkaran, otak anak secara tidak langsung akan berproses melakukan hal bagaimana caranya agar ia menjadi sosok yang lebih superior. Hal ini juga menjadi salah satu pendorong anak mampu berpikir kritis, pengambilan keputusan serta mengolah resiko atas apa yang yang menjadi pilihannya.
Kedua, sebagai momen dimana anak mulai mencoba mengenal dirinya dan mengasah keterampilan yang ada pada dirinya. Hal ini karenakan anak ingin menunjukkan jati dirinya serta pengakuan dari saudaranya maka ia akan melakukan hal apa saja yang menjadi keahliannya.  Hal ini sebagai momen yang secara tidak sadar anak sedang mengasah keterampilan yang dimiliki oleh mereka.
Ketiga, sebagai momen untuk lebih mendekatkan emosi dan kelekatan pada anak. seperti yang ada pada Lee Soeoen dan Lee Soejun. Saat keduanya dipisahkan selama setengah hari lalu dipertemukan kembali, keduanya pun bertekad untuk tidak bertengkar lagi dan berjanji untuk lebih menyanyangi antar satu sama lain. Hal ini dikarenakan hubungan batin yang terdapat pada antarsaudara memang sejatinya tidak akan rela ketika keduanya dipisahkan atau kehilangan.
Dibalik sibling rivalvy
Sejatinya, bisa saja sibling rivalvy sebagai tanda kedekatan pada anak atau malah sebaliknya yaitu tanda persaingan abadi yang terjadi pada anak. Yang menentukan makna akhir dari setiap pertengkaran yang terjadi pada anak adalah setiap orangtua atau keluarga itu sendiri. Oleh karena itu, sudah seharusnya orangtua memikirkan berbagai pertimbangan saat berniat untuk memiliki anak. Tentu, parenting skill serta parenting knowledge menjadi kebutuhan wajib yang harus orangtua asup untuk meminimalisir resiko negatif yang terjadi pada pola pengasuhan orangtua terhadap anak dalam sebuah keluarga.
Semoga tulisan ini bermanfaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H