Apakah selalu tidak ada ruang untuk aku bisa mencari tahu dengan caraku sendiri Ma, Pa? aku hanya ingin mencoba, sekali saja. Boleh ya?Â
Tulisan ini adalah sebuah bentuk curhatan yang berawal dari sebuah kegelisahan. Kegelisahan karena khawatir sedikit sekali ada orang yang enggan menyadarkan. Menyadarkan akan bagaimana seharusnya orangtua bersikap saat anak tidak berdaya untuk sekedar mengungkap.Â
Benar, terkadang orangtua terkadang menjadi sosok 'pemberi tahu' atau bahkan dinilai sebagai sosok 'sok tahu' oleh anak?
Antara maha tahu dan sok tahu memiliki konotasi berbeda namun satu hal yang sama, yaitu di mana posisi orangtua adalah lebih superior dari pada anak. Sekarang, coba dipikirkan, apabila kita menjadi orangtua, kita mau dipandang sebagai sosok yang seperti apa di mata anak?
"Nak, jangan naik-naik ke atas kursi nanti jatuh, kalau jatuh nanti sakit, berdarah"
"Nak, kalau kamu gak ngerjain PR nanti nilainya jelek, nanti ibu guru marah"
Nak, kalau gak tidur siang nanti malamnya tidurnya ditemenin hantu"
Ini adalah segelintir memori yang sempat penulis ingat ketika masih berusia dini. Kalimat yang dilontarkan dengan sedikit nada meninggi membuat pendengarnya akan otomatis terintimidasi dan akan langsung melakukan apa yang diperintahkan.
Setelahnya kemudian muncul lagi pertanyaan baru di benak penulis. "Bukankah tidak masalah kalau aku jatuh, tinggal diobati, kalau ibu guru marah tinggal minta maaf, dan kalau tidur malamnya ditemani hantu, memangnya hantu seperti apa yang akan menemani aku tidur?"
Buktinya, dengan diungkapkannya hal tersebut malah memunculkan cabang pertanyaan baru dalam otak anak yang memang serba ingin tahu.Â
Pertanyaan yang muncul akan berputar-putar terus dalam imajinasi namun tidak mendapatkan ruang jawaban hanya karena Mama-Papa selaku orangtua telah menutup rapat jalan mencari tahu itu dengan ke Maha-Tahuannya atau ke Sok-Tahuannya.
Bayangkan, bila hal ini terjadi bertahun-tahun. Anak tidak diberi ruang untuk mencari tahu sendiri atas pertanyaan-pertanyaan yang menjadi teka-teki baginya dan hanya dicekoki jawaban-jawaban tanpa pengalaman. Kalau penulis punya keberanian dan bisa jadi kecil lagi, penulis akan berteriak.
"Beri aku ruang untuk mencari tahu sendiri Ma, Pa!"
Orangtua melupakan bahwa memberikan sebuah pengetahuan tidak akan diingat oleh anak apabila tidak bermakna. Yap, bermakna!Â
Maksudnya, anak mendapatkan pengetahuan itu dengan cara yang berbeda dan berkesan untuk anak. bila bermakna, akhirnya dia akan mengingat.
Contohnya, ketika disampaikan "Nak, jangan lompat-lompat di kursi nanti jatuh, kalau jatuh sakit. Pokoknya awas kalau sampai lompat-lompat nanti Mama hukum!"
Pada kasus ini, anak hanya akan mendengar bahwa 'Lompat-lompat di kursi bisa membuat ia dihukum Mama' tidak karena 'Kalau jatuh itu sakit'. Hal ini tentu merupakan hal yang salah.
Beda halnya apabila menggunakan cara yang kedua, yaitu "Nak jangan lompat-lompat ya, nanti kalau jatuh sakit" anak memang awalnya tidak akan mendengarkan, ia akan terus lompat-lompat sampai puas atau bahkan memang menyengaja ingin jatuh.
Hal ini merupakan salah satu bentuk pemenuhan rasa ingin tahunya. Ketika jatuh, ia akan paham. 'wah tenyata benar ya, jatuh itu sakit' dan tentu setelahnya ia akan lebih mengingat apa yang telah dialaminya itu.
Kenapa kemudian orangtua harus sadar akan pentingnya memberi anak ruang untuk mencari tahu sendiri? Sebelumnya ada banyak sekali alasan, mengapa hal ini memang penting. Penulis mencoba mempersingkatnya menjadi 3 poin penting. Pertama, karena anak perlu diajarkan untuk berpikir sebelum berbuat.
Bayangkan, kalau anak selalu saja kita dikte sebelum melakukan a, b, dan c oleh orangtua. Ketika anak dewasa, salahkan ketika mereka malah menjadi pribadi yang ketika ditanya akan menjawab "Kan itu Mama yang ajarin" atau "Tapi Papa kan bilangnya gitu".
Anak akan berbuat sesukanya tanpa berpikir kalau setiap perbuatan ada konsekuensi yang harus ia tanggung. Akankah pembaca mau apabila hal ini terjadi kepada kita saat menjadi orangtua?
Kedua, karena anak mendengar dengan mata tidak dengan telinga. Maksudnya adalah, tidak selalu apa yang kita ucapkan kepada anak akan didengar oleh anak.
Banyak orangtua hanya memberikan nasehat-nasehat kepada anak tapi lupa memberikan teladan yang baik kepada anak, melupakan bahwa anak adalah seorang 'peniru ulung'. Anak akan lebih mudah mengingat apa yang ia lihat, daripada apa yang dikatakan kepadanya.
Terakhir, kita sebagai orangtua hanya sebagai fasilitator bukan instruktur.
Fasilitator sebagaimana pemaknaanya yaitu memfasilitasi apa yang dibutuhkan seorang anak. Cara yang paling tepat untuk mengetahui apa kebutuhan anak adalah harus memahami terlebih dahulu karakter anak kita seperti apa.
Bila Anda adalah orangtua yang merasa belum memahami betul karakter anaknya seperti apa, maka bisa banget mengisi waktu #dirumahaja sambil membaca buku-buku parenting, psikologi, atau buku-buku pendukung lainnya. Belum terlambat kok!
Menjadi instruktur hanya akan membentuk anak kita ibarat robot. Anak tidak memiliki kesempatan untuk dapat mengetahui dengan cara mereka sendiri atau berbuat sesuai kehendak mereka sendiri.
Barangkali itu sedikit bentuk kekhawatiran yang dapat penulis bagi untuk dapat dirasakan dan menjadi kekhawatiran bersama. Tidak ada salahnya dan memang seharusnya penting bagi orangtua untuk memberi edukasi terhadap anak agar anak mengetahui hal yang baik dan yang buruk.
Namun, tidak semua hal dapat kita ajarkan pepada anak. Ada masa di mana orangtua harus mundur selangkah dan memberi anak kesempatan untuk maju mencari tahu sendiri apa yang ingin mereka ketahui.
Mari bersama sadar, anak bukan sebuah bahan percobaan. Membentuk kepribadian adalah tanggung jawab bersama khususnya orangtua. Jadi, memahami anak adalah kunci agar anak juga dapat paham apa yang dipahamkan kepadanya. Semoga tulisan ini bermanfaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H