Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kecerdasan Merupakan "Warisan" Berharga Orangtua untuk Anak, Benarkah?

26 Maret 2020   19:57 Diperbarui: 26 Maret 2020   20:10 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 "Kalo orang tuanya cerdas, udah pasti anaknya juga cerdas" atau "Belajar yang bener, biar pinter. Kalau kamu bodoh, kalau kamu punya anak nanti bisa ikutan bodoh juga"

Anda familiar dengan pernyataan tersebut bukan? Bagaimana tanggapan anda terkait hal tersebut?  Pertanyaannya, sebenarnya apakah benar kecerdasan adalah bentuk warisan? Atau apakah anak yang dilahirkan oleh orang tua yang cerdas akan otomatis menjadi orang yang cerdas secara alami tanpa kemudian perlu belajar lagi? Atau pertanyaan terakhir, apakah kecerdasan anak hanya dapat diperoleh oleh faktor keturunan?

Kecerdasan sendiri memiliki beberpa pemaknaan yang mana lingkupnya berkaitan dengan banyak hal. Salah satu lingkup yang dekat sekali adalah kecerdasan dapat dikaitkan sebagai kemampuan otak dalam melakukan sebuah proses kognitif atau berpikir. Misalnya saja, ketika anak diberikan pertanyaan dan dia mampu menjawab pertanyaan tersebut dengan tepat dapat dikatakan anak tersebut merupakan anak yang cerdas. Atau dapat pula kecerdasan ini dikaitkan dengan kemampuan otak untuk menampung pengetahuan. 

Pada anak usia dini sendiri banyak sekali macam-macam kecerdasan. Perihal kecerdasan anak usia dini, ini menjadi hal yang begitu menarik perhatian  para ilmuwan terbukti dengan adanya beberapa teori yang berkaitan dengan hal ini.

Sebut saja yang teori yang pertama, yaitu teori yang dikemukakan oleh Howard Gardner yang dikenal sebagai teori kecerdasan majemuk atau lebih dikenal dengan Multiple Intelligences, atau teori Vygotski atau teori Piaget. 

Teori-teori yang ada tersebut memiliki pandangan yang bermacam-macam dalam memandang makna 'kecerdasan' yang dimiliki oleh anak usia dini. Misalkan pada teori yang pertama yaitu teori kecerdasan majemuk yang disampaikan oleh Howard Gardner, Gardner memandang bahwasanya kecerdasan anak tidak hanya dapat dipandang ketika anak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan di bangku sekolah ketika ujian, atau ketika anak mampu menghitung sesuai dengan intruksi, atau ketika anak tidak mampu melakukan suatu hal yang diajarkan oleh guru kemudian anak tersebut dikatakan sebagai anak yang tidak cerdas. 

Namun, Gardner memandang bahwa anak memiliki porsi kecerdasan mereka masing-masing. Gardner membagi kecerdasan majemuk ini menjadi 8 macam, diantaranya; logik-matematik, visual spasial, kinestetik,  interpersonal,  intrapersonal, musikal, linguistik, serta naturalistik. 

Dengan meyakini adanya kecerdasan majemuk ini kemudian tidak akan ada lagi anggapan mengenai adanya 'anak yang bodoh' tetapi anak memiliki kecerdasan mereka masing-masing.  

Melihat hal ini, apabila kembali ke pertanyaan, apakah benar kecerdasan itu merupakan warisan? Berasarkan penelitian yang dilakukan oleh University of Washington, menyatakan bahwa perempuan yang mana dalam hal ini seorang ibu menurunkan sekitar 80% kepada anak mereka. 

Secara ilmiah, hal ini disebabkan karena perempuan memiliki dua kromosom X sedangkan orang laki-laki atau dalam hal ini seorang ayah hanya memiliki 1 kromosom X. Kromosom ini yang kemudian menentukan fungsi kognitif dari seorang anak. 

Ada penelitian lain yang juga membenarkan hal yang sama, yaitu hasil studi yang dilakukan oleh Medical Research Council Social and Public Health Science Unit yang dilakukan terhadap 12.686 orang berusia 14 hingga 22 tahun. Tes yang dilakukan adalah dengan memberikan serangkaian pertanyaan yang berfokus pada IQ, ras, pendidikan dan status sosial ekonomi. 

Adapun hasil dari tes tersebut kemudian diambil sebuah kesimpulan bahwasanya prediktor terbaik dari kecerdasan yang dimiliki tersebut adalah IQ dari ibu. Namun meskipun perihal kecerdasan ini lebih condong ke arah ibu, para ayah dapat mengambil peran dalam perkembangan kognitif anak atau perihal kecerdasannya dalam banyak hal.

Sebenarnya sebelum diadakannya studi serta penelitian tersebut, hal yang terkait dengan kecerdasan atau hal yang berkaitan dengan kemampuan kognitif sendiri telah dijelaskan Piaget dalam teori kognitif miliknya. 

Piaget beranggapan bahwasanya ada beberapa hal yang mempengaruhi kecerdasan kognitif anak an salah satunya adalah faktor hereditas atau keturunan. Dimana maksudnya adalah manusia yang lahir tersebut sudah membawa potensi-potensi tertentu yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan. Maka benar adanya bahwa memang sebenarnya kecerdasan bisa dikatakan sebagai 'warisan'  yang diberikan oleh orang tua terhadap anak mereka. 

Setiap inividu memiliki bekal serta kemampuan dalam mengembangkan kecerdasan kognitif mereka masing-masing. Logikanya begini, ketika anak dilahirkan dalam keadaan 'cerdas' maka ketika dalam proses belajarnya anak mampu mengembangkan hal tersebut dengan sendirinya secara natural tanpa adanya bantuan dari orang lain atau lingkungan. Didukung dengan beberapa faktor dari dalam individu lainnya yang juga mendukung, seperti halnya anak memang memiliki minat dan bakat, atau faktor kematangan pada anak.

Namun Vygotski kurang sependapat dengan Piaget dikarenakan fakta bahwa manusia merupakan makhluk sosial dan dalam kehidupannya terutama belajar adalah membutuhkan bantuan dari orang lain serta lingkungan disekitarnya. Apalagi pada anak usia dini, ada beberapa hal yang tidak dapat anak lakukan atau ketahui maka peran orang tua atau lingkungan isini adalah membantu atau memberitahu apa yang tidak diketahui atau tidak dapat dilakukan tersebutoleh anak. 

Setiap anak dipandang memiliki porsi untuk berkembang kognitifnya sebagaimana proses dia belajar serta bagaimana dukungan dari lingkungan terhadap mendukung perkembangan kognitif anak tersebut. Tidak cukup bila hanya mengandalkan 'warisan' gen kecerdasan yang dimiliki oleh orang tua tanpa proses belajar langsung ketika anak berada dalam tahap perkembangan mereka.

Terakhir, ada sebuah nasehat yang cukup bagus bagi para orang tua dalam memandang perpekstif kecerdasan anak adalah sebuah 'warisan' ini. Yaitu, selalu ingat dan anggap diri anak sebagai kertas putih. Meskipun dia awalnya putih bersih dalam hal ini dia dilahirkan dalam keadaan 'cerdas' selalu pandang kertas putih tersebut masih dalam keadaan kosong dan sangat perlu peran kita untuk mengisinya tidak kemudian membiarkannya tetap bersih kosong. 

Namun, perlu digarisbawahi bahwa membantu anak bukan berarti tidak membiarkan anak melakukan sesuatu hal dengan mandiri. Namun, dengan bersikap bijak, memberi stimulus dan motivasi dan tidak lupa memberi apresiasi di setiap perkembangan yang dapat anak lakukan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun