Ada penelitian lain yang juga membenarkan hal yang sama, yaitu hasil studi yang dilakukan oleh Medical Research Council Social and Public Health Science Unit yang dilakukan terhadap 12.686 orang berusia 14 hingga 22 tahun. Tes yang dilakukan adalah dengan memberikan serangkaian pertanyaan yang berfokus pada IQ, ras, pendidikan dan status sosial ekonomi.Â
Adapun hasil dari tes tersebut kemudian diambil sebuah kesimpulan bahwasanya prediktor terbaik dari kecerdasan yang dimiliki tersebut adalah IQ dari ibu. Namun meskipun perihal kecerdasan ini lebih condong ke arah ibu, para ayah dapat mengambil peran dalam perkembangan kognitif anak atau perihal kecerdasannya dalam banyak hal.
Sebenarnya sebelum diadakannya studi serta penelitian tersebut, hal yang terkait dengan kecerdasan atau hal yang berkaitan dengan kemampuan kognitif sendiri telah dijelaskan Piaget dalam teori kognitif miliknya.Â
Piaget beranggapan bahwasanya ada beberapa hal yang mempengaruhi kecerdasan kognitif anak an salah satunya adalah faktor hereditas atau keturunan. Dimana maksudnya adalah manusia yang lahir tersebut sudah membawa potensi-potensi tertentu yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan. Maka benar adanya bahwa memang sebenarnya kecerdasan bisa dikatakan sebagai 'warisan'  yang diberikan oleh orang tua terhadap anak mereka.Â
Setiap inividu memiliki bekal serta kemampuan dalam mengembangkan kecerdasan kognitif mereka masing-masing. Logikanya begini, ketika anak dilahirkan dalam keadaan 'cerdas' maka ketika dalam proses belajarnya anak mampu mengembangkan hal tersebut dengan sendirinya secara natural tanpa adanya bantuan dari orang lain atau lingkungan. Didukung dengan beberapa faktor dari dalam individu lainnya yang juga mendukung, seperti halnya anak memang memiliki minat dan bakat, atau faktor kematangan pada anak.
Namun Vygotski kurang sependapat dengan Piaget dikarenakan fakta bahwa manusia merupakan makhluk sosial dan dalam kehidupannya terutama belajar adalah membutuhkan bantuan dari orang lain serta lingkungan disekitarnya. Apalagi pada anak usia dini, ada beberapa hal yang tidak dapat anak lakukan atau ketahui maka peran orang tua atau lingkungan isini adalah membantu atau memberitahu apa yang tidak diketahui atau tidak dapat dilakukan tersebutoleh anak.Â
Setiap anak dipandang memiliki porsi untuk berkembang kognitifnya sebagaimana proses dia belajar serta bagaimana dukungan dari lingkungan terhadap mendukung perkembangan kognitif anak tersebut. Tidak cukup bila hanya mengandalkan 'warisan' gen kecerdasan yang dimiliki oleh orang tua tanpa proses belajar langsung ketika anak berada dalam tahap perkembangan mereka.
Terakhir, ada sebuah nasehat yang cukup bagus bagi para orang tua dalam memandang perpekstif kecerdasan anak adalah sebuah 'warisan' ini. Yaitu, selalu ingat dan anggap diri anak sebagai kertas putih. Meskipun dia awalnya putih bersih dalam hal ini dia dilahirkan dalam keadaan 'cerdas' selalu pandang kertas putih tersebut masih dalam keadaan kosong dan sangat perlu peran kita untuk mengisinya tidak kemudian membiarkannya tetap bersih kosong.Â
Namun, perlu digarisbawahi bahwa membantu anak bukan berarti tidak membiarkan anak melakukan sesuatu hal dengan mandiri. Namun, dengan bersikap bijak, memberi stimulus dan motivasi dan tidak lupa memberi apresiasi di setiap perkembangan yang dapat anak lakukan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H