Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jangan Bunuh Karakter Anak Sejak Dini!

16 Februari 2020   14:32 Diperbarui: 19 Februari 2020   16:52 703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah mendengar teori tabula rasa? Teori ini sering kali dikonsumsi dalam pendidikan anak usia dini. Teori ini dikemukakan oleh John Locke, yang mana mengungkapkan bahwa anak lahir ibarat sebuah 'kertas kosong' yang mana membutuhkan orang dewasa untuk mengisi dan mewarnainya.

Anak dipandang tidak memiliki apa-apa saat mereka lahir, tanpa bekal kecerdasan, kemampuan dan lainnya, dianggap benar-benar kosong dan tidak berdaya. Bagi orang-orang yang menggunakan teori ini dalam pendidikan anak usia dini, maka anak usia dini dianggap tidak memiliki kekuatan lebih dalam proses perkembangannya dan orang dewasa bersifat absolut sebagai subjek pembentuk dalam membantu proses perkembangan pada anak usia dini  tersebut.  

Dalam rentang usia 0 hingga 6 tahun, berbagai aspek perkembangan anak usia dini mulai dari kognitif, sosial emosional, bahasa, dan lainnya berkembang dengan begitu pesat. Masa ini adalah masa awal anak membangun karakter dalam dirinya. Indikator yang kita sadari saat proses ini berlangsung adalah dengan munculnya perilaku anak seperti menaruh atensi berlebih pada sebuah hal yang baru, berceloteh akan suatu hal secara sederhana menurut persepsi mereka serta yang paling dekat dengan kita adalah dengan munculnya perilaku anak yaitu sering bertanya. 

Anak akan menanyakan apa saja kepada orang dewasa atau teman sebaya yang mereka temui, hal ini dilakukan sebagai bentuk memperoleh informasi yang mereka butuhkan. Anak akan bertanya ketika telah melewati proses memberi atensi dan memiliki persepsi atas apa yang ingin ia ketahui sebelumnya. Bertanya adalah karakter anak yang perlu diasah. Dengan bertanya, anak yang semula 'kosong' seperti halnya konsep tabula rasa yang dibahas diawal akan menjadi terisi dan tak kosong lagi.

Sepakat dengan konsep yang dikemukakan oleh John Locke, Vygotski mengemukakan bahwa lingkungan mengambil peran yang begitu besar dalam proses perkembangan kognitif pada anak usia dini. Lingkungan disini bisa berupa keluarga, teman sebaya atau lingkungan tempat dimana anak tinggal. Oleh karena itu, lingkungan dapat dikatakan sebagai faktor terbesar dalam mempengaruhi terbentuknya karakter anak usia dini. 

Ada beberapa kasus yang menjadi contoh dalam hal ini, pertama, pernahkah kita sebagai orang tua menemukan anak kita tiba-tiba mengucapkan kata-kata kotor padahal di keluarga tidak pernah diajarkan hal tersebut? Ternyata anak belajar kata tersebut dari teman sebayanya yang memang telah terbiasa mengucapkan hal tersebut. 

Kedua, ada anak yang ketika di sekolah kita anggap sebagai anak yang berkarakter agamis sejak dini, ternyata di keluarga mereka memang telah dibiasakan untuk beribadah dengan rutin atau kita sebagai guru menemui anak murid yang cenderung pendiam dan sangat pasif ketika di sekolah? Ternyata hal tersebut terjadi karena karakter anak telah terbunuh sebelumnya oleh lingkungan tempat ia tinggal. 

Dari begitu banyaknya faktor lingkungan dan pengaruhnya pada terbentuk atau terbunuhnya karakter anak sejak dini yang dapat kita sadari, ada beberapa hal yang sebenarnya kita anggap membentuk namun ternyata dapat membunuh karakter anak. hal berikut juga seringkali tidak kita sadari, diantaranya:

Pertama, abai dan acuh atas pertanyaan anak. Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa anak bertanya adalah karena mereka ingin mengetahui sesuatu. Dalam proses ini,  anak sangat membutuhkan respon yang positif dari orang di sekitarnya dengan memberikan respon atas apa yang ingin ia ketahui. 

Pernahkah kita menemui fenomena anak yang awalnya sering sekali bertanya namun setelah pertanyaan tersebut diacuhkan malah mengakibatkan anak memilih untuk diam? Atau pernahkah kita berada di posisi sangat penasaran akan suatu hal dan kemudian menanyakannya kepada guru dan orang tua namun bukan alih-alih pertanyaan kita terjawab tapi kita malah disalahkan karena sering bertanya? Dan respon setelahnya, mengakibatkan kita cenderung enggan untuk kembali bertanya.

Secara tidak sadar, acuh terhadap pertanyaan anak dapat  membunuh karakter anak. Coba kita ingat-ingat lagi bahwa semakin dewasa, bukankah secara alami intensitas pertanyaan yang keluar dari otak kita semakin berkurang? Kita menganggap susah sekali membuat pertanyaan atas suatu hal yang benar-benar tidak ketahui? Sebenarnya jawabannya adalah adanya karakter yang telah terbunuh secara tidak sadar dalam diri kita.

Kedua, mematahkan imajinasi anak. Pada masa golden age anak suka sekali berimajinasi. Imajinasi ini merupakan hal yang berkembang pada alam bawah sadar pada otak anak. ketika anak berimajinasi, ia akan mengajak siapa saja untuk menjadi lawan mainnya. Biasanya, orang tua akan menjadi objek bagi anak untuk mengungkapkan apa saja yang sedang berada di pikirannya saat itu, mengungkapkan apa saja yang sedang ia imajinasikan. 

Fenomena kali ini biasanya terjadi pada orang tua yang terlalu realistis dan tidak mau menyelam pada dunia anak, ketika anak mereka berimajinasi dan menggunakan mereka sebagai objek, orang tua yang terlalu realistis akan melakukan hal yang mematahkan imajinasi anak. tentu, apabila hal ini terlalu sering dilakukan maka anak akan terbunuh karakternya. Mereka akan berhenti memikirkan hal-hal yang dianggap tidak realistis oleh orang tua mereka. 

Apabila di sekolah biasanya terjadi pada anak yang biasa biasa saja namun berimajinasi ingin menjadi dokter, imajinasinya bisa dipatahkan oleh teman sebaya atau bahkan guru yang tidak menyukai anak tersebut karena dianggap imajinasinya terlalu tinggi. Dampaknya, bukan tidak mungkin anak tersebut akan mengubur dalam cita-cita atau imajinasinya tadi dan kehilangan karakter positif dalam drinya karena menganggap ia tidak akan mampu melakukan apapun ketika ia hanya seorang anak yang biasa-biasa saja.

Ketiga, menganggap anak tidak tahu apa-apa. Teori tabula rasa tak dapat selalu dibenarkan. Pemikiran bahwa anak lahir tanpa memiliki kecerdasan apa-apa itu tidak selalu benar. Menurut teori kognitif dari Piaget, anak memiliki kecerdasan bawaan yang merupakan keturunan dari orang tuanya. Menurut penelitian, kecerdasan ibu memiliki pengaruh 80% terhadap kecerdasan anak mereka. 

Jadi sebenanrya, anak sudah memiliki yang namanya kecerdasan sejak lahir. Permasalahannya sekarang adalah banyak yang tidak mengakui akan hal tersebut sehingga dalam proses mendidik anak menjadi sangat over protective sehingga anak kehilangan atau tidak memiliki kuasa untuk membentuk karakter diri sesuai dengan apa yang ia mau.

Karakter pada anak usia dini ibarat sebuah identitas yang perlu diasah sejak dini pada anak. lingkungan baik itu keluarga, teman atau masyarakat yang berada dalam lingkup terdekat yang bersetuhan langsung dengan pribadi anak usia dini harus memahami bahwa pendidikan karakter, penanaman karakter itu penting sifatnya. Dengan kemudian memahami ada hal-hal yang dapat membunuh karakter anak usia dini yang jarang orang sadari, dapat bermanfaat berupa penanganan yang lebih bijak dalam hal pendidikan pada anak usia dini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun