Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Membuat Anak Merasa Tanpa Memaksa

21 April 2019   08:51 Diperbarui: 21 April 2019   10:30 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diatur dan diatur, adalah hal yang sering dilakukan oleh orang tua agar apa yang di maunya tercipta. Sebagian pasti berpikir, "Ini cara yang paling baik, toh juga untuk kebaikan anak kita". Aku sebagai anak akan menjawab, " Tidak ! aku tidak suka diatur dan aku sungguh tidak suka dipaksa. Kalau aku salah, tidak begini caranya." Iya, ini hanya percakapan bodoh yang seringkali muncul dalam hati seorang anak. 

Hanya dihati, karena pada nyatanya kami akan dengan berat hati mengikuti titah bapak dan ibu, mama dan papa, ayah dan bunda kepada kami. Karena apa, kami tak kuasa untuk menolak. Terkadang bisa memang menolak, tapi pasti orang tua tak akan tinggal diam, pasti ada hukuman lain lagi setelahnya kalau kami membangkang. 

Sebenarnya kalau dipikir, tujuan orang tua hanya satu, yaitu membuat kami sadar. Hanya saja jujur, caranya kurang kami suka. Kan bisa saja, asal orang tua mau mereka bisa membuat kami, ya anak ini merasa tapi tanpa dipaksa.

Ini bukan permainan kata-kata, ini hanya sebuah pemampaan yang sedikit dituliskan dengan rasa agar teman-teman pembaca tak bosan dan merasa sia-sia telah datang sekedar menyambung kata demi kata. 

Aku akan sedikit bercerita mengenai aku yang barangkali dapat mewakili anak-anak lain juga. Maaf sebelumnya kepada bapak dan ibuku, aku akan sedikit bercerita tentang kalian. Aku harap kalian paham, ini bukan sebuah artikel penolakan tentang apa yang seringkali kalian berdua ajarkan. 

Aku sayang kalian, namun terkadang memang aku sedikit kurang sehati dengan apa yang seringkali bapak dan ibu terapkan ketika aku salah dan ingin membuatku sadar. Baiklah, mungkin sekedar itu basa-basinya. Aku akan mulai bercerita mengenai masa kecilku.

Aku adalah anak yang tidak duduk di bangku Taman kanak-kanak. Ya, aku langsung bersekolah di Sekolah Dasar dulu. Banyak kuingat, ketika masa dimana aku belum bersekolah dan anak lain sebayaku menyandang tas berangkat menuju TK nya dengan bahagia, disana aku di masa pengangguranku, haha iya kusebut saja masa itu adalah masa ku menganggur, aku hanya bermain dan bermain. 

Aku adalah anak perempuan, tapi kalau kalian boleh percaya atau tidak, dulu aku sangatlah tomboy. Jangan kira aku bermain masak-masakan atau rumah-rumahan. Kala senggang, aku bermain kelereng, bola, atau bahkan seringkali memanjat pohon jambu air di depan rumah. Ya, bisa tertebak lah bagaimana reaksi bapak dan ibu melihat anak perempuannya berkelakuan seperti itu. 

Mereka marah besar. Aku juga memiliki sedikit sekali teman perempuan, kebanyakan temanku laki-laki dimana aku sering sekali membersamai mereka bermain layang-layang di siang bolong atau bahkan menyelinap dari kasur demi bermain bola dikala hujan. Yap, kalian pasti bisa menebak betapa marahnya mereka. Aku tidak merasa aku salah saat itu, karena aku hanya anak kecil yang bebas, anak kecil yang semaunya. 

Dan tentu sudah menjadi tanggung jawab dari kedua orang tuaku untuk membuatku sadar kalau aku tak seharusnya seperti itu. Masih aku ingat, bapak mengunciku di kamar karena meminta aku jangan sering bermain dengan laki-laki. Aku mana sadar ketika diperlakukan seperti itu, aku hanya menangis, menjerit, menggedor pintu bak sinetron kalau kuingat sekarang. 

Malu juga kalau kuceritakan sekarang kenangan itu, tapi yang pasti yang memenuhi pikiranku adalah, bapak sudah tidak sayang kepadaku. Cara ibu untuk membuatku sadar sedikit berbeda namun menyiksa. Iya, tidak memberiku uang jajan. 

Betapa tersiksanya ketika mendengar suara abang-abang jualan lewat depan rumah tapi diri ini tak berdaya untuk membeli. Ibu akan memberi uang asal aku berjanji untuk tidak nakal lagi. Aku bukan anak kecil yang dengan mudahnya terpedaya dengan uang, egoku memenuhi pikiran untuk tidak mengikuti apa yang ibu mau. Gengsi lah pasti, dasar aku.

Itu hanya satu dari sekian banyak paksaan yang diberikan kepadaku hanya untuk membuatku sadar akan apa yang aku perbuat itu salah. Tapi asal teman-teman tau, itu sangat tidak ampuh, itu sangat tidak cocok untuk anak kecil sepertiku.

Aku memiliki seorang kakak laki-laki bernama Bima. Dia kakak, teman, sekaligus musuh. Iya, terkadang menjadi musuh, terlebih ketika kita bermain bersama. Mas Bima adalah anak yang sama nakalnya denganku. Hanya saja, dia masih suka manut kalau diberitahu oleh bapak ibu, beda denganku. Dan anehnya, aku begitu manut dengan kakak ku satu itu. 

Dipikiranku, aku hanya bisa bercerita kepada Mas Bima karena aku sudah dilarang bermain dengan teman-teman sejawatku saat itu, jangankan berpikir bisa bermain layang-layang, kelereng ku semuanya raib entah kemana tergantikan dengan beberapa boneka Barbie lengkap dengan rumah-rumahan dan aksesorisnya, iya pelakunya adalah ibu tentu, dia secara tidak langsung meminta aku untuk berganti bermain permainan perempuan. Padahal kalau boleh jujur, sampai saat ini aku kurang suka bermain barang seperti itu. 

Aku lebih suka bermain mobil-mobilan Mas Bima, atau bermain catur mini bonus dari papan monopoli. Aku tak mahir, kutegaskan ini aku sedang bercerita masa dimana aku belum bersekolah SD. Saat aku dan Mas Bima bermain bersama, aku seringkali tidak mau kalah. Dan Mas Bima sangat sering membiarkanku dengan kecuranganku. 

Aku tidak pernah merasa bersalah telah bermain curang, aku hanya berpikir Aku harus menang !. Oh iya aku belum bercerita seperti apa Mas Bima kepada teman-teman. Ia sudah kelas 3 SD saat itu, dan yang aku suka dengan Mas Bima ketika kita bermain bersama adalah Ia sering bercerita mengenai apa yang diceritakan oleh gurunya ketika disekolah dan aku dengan sangat senang hati pasti mendengarkannya.

Cerita-cerita yang Mas Bima sampaikan begitu menggungah hatiku dan cukup untuk membuat aku sadar akan seharusnya aku bersikap seperti apa. Seperti halnya ketika aku berlaku kecurangan dia mencoba untuk aku tidak melakukan kecurangan namun melalui cerita hingga aku tersadar. Ia tak memaksa aku untuk sadar, tapi aku spontan meminta maaf kepadanya atas kecuranganku. Dia selalu tersenyum , setelahnya kita mulai bermain kembali dengan senang hati. 

Selalu begitu, sampai akhirnya aku sadar sekarang ini, bahwa memaksa tak selamanya membuat anak merasa. Dengan memaksa terkadang para orang tua hanya membuat sebuah luka tak kasat mata. Membuat anak sadar dengan sendirinya bisa dilakukan dengan berbagai cara. Iya, salah satunya melalui cerita. Suguhkan sebuah cerita dan jadikan anak seolah-olah menjadi sang tokoh utama. 

Cara yang cerdas dan tidak melelahkan bukan ? itu sedikit bualan tapi nyata yang aku ambil sendiri dari masa kecilku. Tenang, sekarang aku sudah sadar harus seperti apa seharusnya seorang perempuan. Aku sudah sedikit paham, bagaimana seharusnya bersikap dengan teman, orang tua dan lingkungan. 

Aku bukan lagi seorang anak kecil yang tomboy yang akan tersedu sedan menangis ketika dikunci sendirian didalam kamar. Oiya, teman-teman jangan bosan mendengar cerita lainnya. Ini hanya tawaran, bukan paksaan.  Kalian tentu sepakat, dipaksa itu sungguh menyebalkan bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun