Betapa tersiksanya ketika mendengar suara abang-abang jualan lewat depan rumah tapi diri ini tak berdaya untuk membeli. Ibu akan memberi uang asal aku berjanji untuk tidak nakal lagi. Aku bukan anak kecil yang dengan mudahnya terpedaya dengan uang, egoku memenuhi pikiran untuk tidak mengikuti apa yang ibu mau. Gengsi lah pasti, dasar aku.
Itu hanya satu dari sekian banyak paksaan yang diberikan kepadaku hanya untuk membuatku sadar akan apa yang aku perbuat itu salah. Tapi asal teman-teman tau, itu sangat tidak ampuh, itu sangat tidak cocok untuk anak kecil sepertiku.
Aku memiliki seorang kakak laki-laki bernama Bima. Dia kakak, teman, sekaligus musuh. Iya, terkadang menjadi musuh, terlebih ketika kita bermain bersama. Mas Bima adalah anak yang sama nakalnya denganku. Hanya saja, dia masih suka manut kalau diberitahu oleh bapak ibu, beda denganku. Dan anehnya, aku begitu manut dengan kakak ku satu itu.Â
Dipikiranku, aku hanya bisa bercerita kepada Mas Bima karena aku sudah dilarang bermain dengan teman-teman sejawatku saat itu, jangankan berpikir bisa bermain layang-layang, kelereng ku semuanya raib entah kemana tergantikan dengan beberapa boneka Barbie lengkap dengan rumah-rumahan dan aksesorisnya, iya pelakunya adalah ibu tentu, dia secara tidak langsung meminta aku untuk berganti bermain permainan perempuan. Padahal kalau boleh jujur, sampai saat ini aku kurang suka bermain barang seperti itu.Â
Aku lebih suka bermain mobil-mobilan Mas Bima, atau bermain catur mini bonus dari papan monopoli. Aku tak mahir, kutegaskan ini aku sedang bercerita masa dimana aku belum bersekolah SD. Saat aku dan Mas Bima bermain bersama, aku seringkali tidak mau kalah. Dan Mas Bima sangat sering membiarkanku dengan kecuranganku.Â
Aku tidak pernah merasa bersalah telah bermain curang, aku hanya berpikir Aku harus menang !. Oh iya aku belum bercerita seperti apa Mas Bima kepada teman-teman. Ia sudah kelas 3 SD saat itu, dan yang aku suka dengan Mas Bima ketika kita bermain bersama adalah Ia sering bercerita mengenai apa yang diceritakan oleh gurunya ketika disekolah dan aku dengan sangat senang hati pasti mendengarkannya.
Cerita-cerita yang Mas Bima sampaikan begitu menggungah hatiku dan cukup untuk membuat aku sadar akan seharusnya aku bersikap seperti apa. Seperti halnya ketika aku berlaku kecurangan dia mencoba untuk aku tidak melakukan kecurangan namun melalui cerita hingga aku tersadar. Ia tak memaksa aku untuk sadar, tapi aku spontan meminta maaf kepadanya atas kecuranganku. Dia selalu tersenyum , setelahnya kita mulai bermain kembali dengan senang hati.Â
Selalu begitu, sampai akhirnya aku sadar sekarang ini, bahwa memaksa tak selamanya membuat anak merasa. Dengan memaksa terkadang para orang tua hanya membuat sebuah luka tak kasat mata. Membuat anak sadar dengan sendirinya bisa dilakukan dengan berbagai cara. Iya, salah satunya melalui cerita. Suguhkan sebuah cerita dan jadikan anak seolah-olah menjadi sang tokoh utama.Â
Cara yang cerdas dan tidak melelahkan bukan ? itu sedikit bualan tapi nyata yang aku ambil sendiri dari masa kecilku. Tenang, sekarang aku sudah sadar harus seperti apa seharusnya seorang perempuan. Aku sudah sedikit paham, bagaimana seharusnya bersikap dengan teman, orang tua dan lingkungan.Â
Aku bukan lagi seorang anak kecil yang tomboy yang akan tersedu sedan menangis ketika dikunci sendirian didalam kamar. Oiya, teman-teman jangan bosan mendengar cerita lainnya. Ini hanya tawaran, bukan paksaan. Â Kalian tentu sepakat, dipaksa itu sungguh menyebalkan bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H