Mohon tunggu...
Puja Mandela
Puja Mandela Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di apahabar.com

Pria biasa, lulusan pesantren kilat, penggemar singkong goreng, tempe goreng, bakso,fans garis miring The Beatles, Iwan Fals, Queen, musik rock 60s, 70s.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Saya Ngutang karena Allah!"

3 Maret 2017   18:41 Diperbarui: 4 Maret 2017   04:00 829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dream. co.id

Di luar dua aliran ekstrim itu sebenarnya juga kelompok-kelompok beraliran moderat yang sangat santun saat ingin minjem duit. Mereka tidak punya pemikiran untuk melakukan kekerasan apalagi sampai menyantet orang. Mereka cenderung pasrah, meskipun pada akhirnya mereka tetap susah untuk ditagih.

Dari beberapa kelompok moderat ini, hanya segelintir yang memang benar-benar memiliki komitmen untuk mengembalikan utangnya tepat waktu.

Selain beberapa sekte ngutang yang sudah saya sebutkan, tentu masih banyak sekte-sekte lainnya, entah itu sekte ngutang super radikal, moderat, atau liberal.

***

Di sebuah warung kopi, saat saya sedang bersantai sembari menikmati angin semilir, datang seseorang yang wajahnya lesu, sumpek, dan penuh dengan keputusasaan. Langkahnya gontai. Sesekali ia menghisap rokok murahnya, lalu menghembuskan asapnya ke udara. Begitu seterusnya, sampai ia memecah kebekuan di antara kami.

Sambil memukul meja ia kemudian berkata, "Mas, saya mau pinjem duit! Tapi, sebentar jangan dipotong dulu. Saya tahu kalau sampeyan tidak mau meminjamkan uang ke saya karena sampeyan akan beralasan bahwa sampeyan tak punya uang, bahkan untuk membeli beras saja sampeyan tidak mampu. Saya tahu sampeyan pinter ngeles, bahkan saya tahu betul sampeyan itu rajanya ngeles. Sampeyan mungkin bisa mengecoh orang lain dengan mengatakan bahwa sampeyan itu sebenarnya orang susah, bahkan sampeyan adalah salah satu pendiri Komunitas Orang Susah di daerah ini. Tetapi, itu semua tidak akan membuat saya tertipu!"

"Sebentar, Mas," saya mencoba memotong.

"Cobalah sampeyan gunakan hati nurani sampeyan itu. Apakah sampeyan tidak melihat cahaya di wajah saya yang semakin hari semakin redup? Apakah sampeyan tidak melihat bahwa air mata saya telah habis karena saya tidak mampu menghadapi persoalan yang sedang mencekik leher saya dan sebentar lagi akan membunuh saya?
Apakah sampeyan tidak kasihan dengan saya yang pengangguran ini? Saat saya ini merantau kesini saya sama sekali tidak pernah berniat menjadi gelandangan apalagi sampai bercerai dengan istri saya. Tetapi, nyatanya saya ditinggalkan oleh orang yang paling saya cintai. Bahkan kemarin ia mencela saya dengan kata-kata kasar. Ia mengatakan saya 'cuma modal kontil' saja. Saya tak pernah berniat bekerja. Saya dituding tidak becus mengurusi rumah tangga. Setiap hari ia menghina saya karena saya belum mendapat pekerjaan, saya bukan pegawai, bukan karyawan perusahaan besar, juga bukan pejabat yang punya kekayaan miliaran. Saya benar-benar terhina, Mas!"

"Sebentar, Mas. Coba beri kesempatan saya bicara. Ini istri saya sedang menelepon," saya kembali menyela.

"Gombal sampeyan itu! Saya tahu itu modus licik sampeyan agar sampeyan bisa lari dari saya dengan alasan dipanggil istri. Itu modus lama. Saya sudah tahu bahwa itu adalah salah satu jurus pamungkas sampeyan agar bisa menghindari saya. Jadi, tolonglah, sampeyan harus segera mempertimbangkan hal ini dan sampeyan segera mengambil keputusan. Sampeyan juga tak perlu membuka dompet, sebab saya pun tahu kalau sampeyan tak pernah menyimpan uang di dompet.

"Tapi, Mas. Saya benar-benar tak..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun