[caption caption="Sumber Foto: galiofficial.com "][/caption]Seorang ABG yang dikenal rajin menggelar berbagai event pertunjukan musik menyodorkan sebuah proposal pergelaran seni budaya daerah. Setelah saya bolak-balik, dan saya perhatikan secara saksama, tak ada yang menarik dari proposal tersebut, kecuali bahwa event yang akan digelar membutuhkan anggaran puluhan juta rupiah.
Saya tentu tak bisa menyumbangkan uang atau tenaga karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja masih ngos-ngosan. Saya juga tak mungkin mengambil tabungan saya hanya untuk menyumbang di acara seni budaya itu. Itu sama saja memupus impian saya untuk berpoligami.
Tak bermaksud sombong. Selama dua dasawarsa tinggal di wilayah tenggara Kalimantan, saya memang dikenal sebagai salah satu orang yang aktif dalam urusan seni dan budaya. Tulisan-tulisan saya yang bernada kritik sosial dan budaya juga kerap menghiasi beberapa media cetak lokal di daerah ini. Bukannya sombong lho ya. Sekali lagi, bukan sombong.
Karena saya tidak bisa memberikan sumbangan, akhirnya si pemuda pulang dengan tangan hampa. Padahal ia sudah mengatakan dengan berapi-api bahwa event yang digelar akan menyedot ratusan, bahkan ribuan penonton. Mungkin bisa disejajarkan dengan konser U2, The Rolling Stones, Iwan Fals, atau Slank. Memang agak aneh. Sebab selama ini, belum ada event seni budaya daerah yang menarik perhatian begitu banyak penonton. Saya doakan saja, semoga pemuda dan panitia penyelenggara mendapat banyak sponsor.
****
Singkat cerita, saya mendengar event seni budaya berlangsung meriah. Banyak muda-mudi yang ikut hadir dalam event tersebut. Tetapi menurut keterangan salah seorang teman, sama sekali tak ada unsur seni budaya seperti yang selama ini saya pahami.
Event yang digelar justru sangat jauh dari budaya lokal di daerah ini. "Bungkusnya memang seni budaya, tetapi isinya sama saja dengan event-event lainnya yang lebih menonjolkan budaya barat dibanding budaya asli Nusantara," begitu kata teman saya yang menonton langsung acara tersebut. "Ini namanya racun yang dibungkus madu," tukasnya, sembari kencing di bawah pohon kelapa.Â
Saya mengelus dada. "Untung saya nggak jadi nyumbang." Dari dulu, saya memang tidak pernah sepakat dengan acara yang menyuguhkan musik dugem lengkap dengan wanita seksi pengumbar syahwat.Â
Kata teman saya, salah satu penyebab banyaknya penonton di event tersebut karena ada penampilan DJ Slamet sebagai bintang tamu. Kalau sudah bicara profesi DJ, tentu tidak bisa dilepaskan begitu saja dari musik hura-hura. Orang kampung biasa menyebutnya, tripingan. Tetapi orang kota punya penamaan lain yang jauh lebih keren, house music. Ada juga yang menyebutnya musik dugem (dunia gemerlap).Â
Teman saya yang nyambi jadi pengamat house music membagi genre itu menjadi dua aliran besar. Yang pertama, house music yang cocok dinikmati sambil menenggak Chivas atau minuman keras berharga mahal. Yang kedua, house music yang biasa dinikmati oleh mereka yang mengonsumsi obat-obatan terlarang, dari Inex, Dextro, sampai Zenith. Tanpa obat-obatan itu, jangan harap Anda bisa menikmati musik dugem yang menurut almarhum Elvis Presley, tidak memiliki harmonisasi yang jelas.
****