Mohon tunggu...
Puja Mandela
Puja Mandela Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di apahabar.com

Pria biasa, lulusan pesantren kilat, penggemar singkong goreng, tempe goreng, bakso,fans garis miring The Beatles, Iwan Fals, Queen, musik rock 60s, 70s.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Negeri Para Penyabar

28 Maret 2016   11:01 Diperbarui: 28 Maret 2016   21:24 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ini tentu luar biasa. Maling saja begitu hormat dengan ulama. Padahal banyak orang yang mengaku solatnya paling mirip dengan nabi saja sering mengolok-olok ulama. Bahkan yang lebih memprihatinkan, ada orang yang tidak pernah solat tetapi kerjaannya hanya mencela para ulama sebagai penerus para nabi," batin saya saat itu.

Ketika mengetahui ada fenomena pemadaman listrik bergilir, jiwa berontak saya sempat keluar. "Kok mereka diam saja," batin saya. Apalagi menurut penuturan warga setempat, pemadaman listrik bergilir ini sudah berlangsung selama puluhan tahun. Selama itu pula warga di sini tidak pernah menikmati pelayanan yang baik dari Perusahaan Listrik Negara seperti masyarakat di pulau seberang.

Begitu sabarnya mereka. Walaupun diperlakukan tidak adil, masyarakat di sini tak pernah marah. Mereka sama sekali tidak memiliki niat untuk berlaku anarkis kendati pelayanan PLN di daerah ini sangatlah buruk. Bahkan, perusahaan media cetak tak mampu berbuat apa-apa ketika PLN memadamkan listrik dan membuat koran-koran di daerah ini gagal cetak.

"Maaf, hari ini koran tidak terbit karena ada pemadaman listrik satu malam suntuk," begitu kata loper koran yang biasa mangkal di perempatan kota ini.

Bagi masyarakat di sini, pemadaman listrik itu sudah biasa. Sebab fenomena itu sudah berlangsung selama puluhan tahun. Mereka menganggap pemadaman listrik seperti rutinitas sehari-hari, seperti makan atau minum obat. "Pemadaman listrik itu sudah seperti minum obat. Tiga kali sehari. Sudah biasa," begitu kira-kira kata mereka.

Kalaupun ada perasaan jengkel, paling-paling ungkapan kekesalan mereka cuma berujung di status Facebook atau Blackberry Messenger. Saya yakin, masyarakat di pulau seberang tak akan mampu sabar seperti sebagian besar masyarakat di daerah ini. Mereka juga tak pernah pernah berpikir untuk memberontak atau membuat negara sendiri. Buktinya, hampir seluruh warga yang pernah saya temui mengaku tidak tertarik bergabung ke dalam organisasi transnasional yang berjuang mendirikan khilafah di negeri ini.

Puncak kekaguman saya kepada mereka yakni ketika orang-orang asing dan pihak-pihak lain yang berkoalisi dengan kaum kapitalis membabat habis hutan-hutan dan mengeruk seluruh sumber daya alam daerah ini sampai habis tak tersisa. Sementara anak-cucu masyarakat di sini harus hidup di kawasan eks tambang batubara yang tandus tak terurus. Tragis memang, jika generasi masa depan tidak bisa merasakan betapa nikmatnya duduk bersantai di bawah pohon besar sambil menikmati angin semilir.

Ah, sesak napas saya. Para tamu yang datang ke daerah ini telah sukses mengambil seluruh kekayaan yang tersimpan rapi di dalam tanah dan di dalam brankas-brankas kehidupan yang tersimpan rapi selama puluhan, bahkan ratusan tahun lamanya.

Mereka mengambil pohon-pohon, batubara, dan kekayaan alam lainnya. Sementara sang pemilik rumah hanya kebagian sandal jepit yang nyaris putus. Kalau kelompok kapitalis berhasil mengangkut berkarung-karung emas dan berlian, warga di daerah ini cuma menerima batu kerikil. Saya mencoba mengatur jalan napas. Saya mencoba sabar, seperti sabarnya mereka menghadapi situasi yang semakin tak jelas di negeri yang juga tak jelas ke mana arah dan tujuannya. "Mereka merampok seluruh sumber daya alam kami, menggunduli hutan kami, mengeruk emas hitam di bumi kami. Mereka mengotori sungai-sungai dengan limbah sawit. Hampir seluruh tanah leluhur kami telah dirampas. Tapi kami tetap sabar. Kami yakin, bahwa kesabaran akan membawa kami pada kemenangan yang hakiki," kata-kata yang keluar dari lisan sang bapak berpeci putih mengalir deras bak Tsunami Aceh belasan tahun silam.

Tak terasa azan asar berkumandang dengan merdunya, sang bapak berkopiah haji mengajak saya solat di mushola sederhana yang berada tidak jauh dari rumahnya. Sejak saat itu, saya begitu menikmati tinggal di negeri yang masyarakatnya memiliki kesabaran yang luar biasa. Saya menyebutnya, negeri para penyabar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun