Mohon tunggu...
Puja Mandela
Puja Mandela Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di apahabar.com

Pria biasa, lulusan pesantren kilat, penggemar singkong goreng, tempe goreng, bakso,fans garis miring The Beatles, Iwan Fals, Queen, musik rock 60s, 70s.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Negeri Para Penyabar

28 Maret 2016   11:01 Diperbarui: 28 Maret 2016   21:24 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber ilustrasi: piyoto. com"][/caption]Tibalah saya di suatu negeri yang masyarakatnya amat masyhur dengan kesabarannya. Mereka menyambut saya dengan suka cita. Mereka memeluk saya begitu hangat. Saya jelas terharu dan tak ragu-ragu mencium tangan orang tua yang ada di hadapan saya.
"Ini namanya nasi kuning. Lauknya ikan haruan masak habang. Silahkan dicoba, Nak," kata bapak berpeci putih, sembari menyorongkan nasi yang dibungkus daun pisang. Belum sampai suapan pertama, istri beliau mengantarkan satu gelas teh panas yang diletakkan tidak jauh dari tempat duduk saya.

Saya tercekat, sekaligus kagum. Bagaimana bisa, orang yang belum kenal sudah begitu baiknya kepada saya, tamu dari negeri antah berantah. Kedua orang tua itu menjamu saya dengan sangat ramah. Saya sendiri hanya pengembara dari pulau seberang yang kesasar dan secara tak sengaja bertemu orang tua baik hati itu. Memang benar kata orang di pulau seberang. Masyarakat di daerah ini memang terkenal ramah dan  selalu berkhusnuzon kepada siapa saja, tak peduli ia maling atau rampok sekalipun.

Saya juga merasakan betapa damainya berjalan-jalan, keliling pasar di daerah ini. Walaupun hanya sendirian, saya tak perlu merasa khawatir dengan pencopet atau segala bentuk aksi kejahatan lainnya.

Setiap berpapasan dengan orang lain, mereka selalu menyunggingkan senyum. Mereka tidak pernah bertanya, dari mana asal usul bapak moyang saya. Mereka juga tidak pernah bertanya apakah saya memiliki hubungan dengan ahlul bait atau tidak. Sebab sepintas, saya memang berwajah Arabian. Yang mereka tahu, saya hanyalah anak muda dari pulau seberang yang sedang mencari pengalaman, asam garam kehidupan.

Begitu indahnya berkomunikasi dengan masyarakat di sini. Kondisi seperti ini jelas tidak bisa saya temui di kampung halaman saya, di mana masyarakatnya terkenal agak kasar walaupun di dompetnya terselip kartu anggota Nahdatul Ulama atau Muhammadiyah.

Selain sekelompok masyarakat yang saya temui, ternyata kebaikan-kebaikan mereka juga menurun ke generasi yang lebih muda. Mahasiswa di daerah ini contohnya. Mereka juga memiliki level kesabaran yang tak kalah dengan komunitas masyarakat yang saya temui.
Menurut cerita seorang pemuda yang dikenal sebagai aktivis, jangankan membakar kampus, menggelar aksi demonstrasi saja jarang. Kalaupun terpaksa menggelar demo, aksi yang dilakukan haruslah dengan cara damai dan tertib sesuai aturan yang sudah disepakati dengan aparat kepolisian.

Dari penuturan sang aktivis, aksi demonstrasi yang digelar di daerah ini harus dimulai tepat waktu. Aksi tersebut juga harus berakhir sesuai jadwal yang sudah tertera di surat izin demonstrasi. Saat diceramahi oleh sang perwira, ratusan mahasiswa manggut-manggut saja, tanda setuju.

Karena itu, aparat kepolisian tak perlu repot-repot membuat formasi khusus untuk pengendalian massa. Pemadam kebakaran tak perlu terjun untuk memadamkan api dari ban bekas yang mengepulkan asap tebal. Tak perlu ada bantuan Brimob atau TNI. Dan pasukan Banser atau Laskar Front Pembela Islam tentu tak perlu turun tangan untuk menangani aksi mahasiswa yang jauh dari kata anarkis. Tak salah kalau salah satu pesantren tradisional paling masyhur di daerah ini diberi nama Darussalam, negeri yang damai.

Dulu saya tak percaya hal ini. Karena saya memandang bahwa seluruh mahasiswa memiliki sikap yang sama, kritis dan cenderung anarkis. Persis seperti mahasiswa di kota-kota besar seperti di Jakarta atau Makassar. Tetapi di sini? Saya sudah melihat dengan mata kepala sendiri. Sekarang saya percaya!

Suatu hari, saya begitu terkejut sekaligus terharu saat berkunjung ke rumah teman saya yang baru keluar dari penjara karena kasus pencurian. Di rumahnya yang sangat sederhana, terpampang sebuah foto seorang ulama berukuran besar. Saat saya tanyakan soal foto itu, ia mengatakan bahwa menghormati para ulama sudah menjadi bagian dari tradisi, bahkan menjadi kewajiban masyarakat di sini. Seburuk apa pun kelakuannya, warga di daerah ini selalu mencium tangan ulama yang mereka temui.

Tak bermaksud mengultuskan, karena mereka sudah paham betul perbedaan antara ulama dengan para nabi dan rasul. Selama puluhan tahun, warga di sini tidak pernah menganggap para ulama sebagai nabi, rasul, apalagi Tuhan. "Tradisi cium tangan ini benar-benar dengan niat untuk menghormati para ulama. Karena mereka juga orang tua kami," kata teman saya itu, sembari membersihkan pigura bergambar seorang ulama bersorban putih dengan menggunakan kemoceng.

"Ini tentu luar biasa. Maling saja begitu hormat dengan ulama. Padahal banyak orang yang mengaku solatnya paling mirip dengan nabi saja sering mengolok-olok ulama. Bahkan yang lebih memprihatinkan, ada orang yang tidak pernah solat tetapi kerjaannya hanya mencela para ulama sebagai penerus para nabi," batin saya saat itu.

Ketika mengetahui ada fenomena pemadaman listrik bergilir, jiwa berontak saya sempat keluar. "Kok mereka diam saja," batin saya. Apalagi menurut penuturan warga setempat, pemadaman listrik bergilir ini sudah berlangsung selama puluhan tahun. Selama itu pula warga di sini tidak pernah menikmati pelayanan yang baik dari Perusahaan Listrik Negara seperti masyarakat di pulau seberang.

Begitu sabarnya mereka. Walaupun diperlakukan tidak adil, masyarakat di sini tak pernah marah. Mereka sama sekali tidak memiliki niat untuk berlaku anarkis kendati pelayanan PLN di daerah ini sangatlah buruk. Bahkan, perusahaan media cetak tak mampu berbuat apa-apa ketika PLN memadamkan listrik dan membuat koran-koran di daerah ini gagal cetak.

"Maaf, hari ini koran tidak terbit karena ada pemadaman listrik satu malam suntuk," begitu kata loper koran yang biasa mangkal di perempatan kota ini.

Bagi masyarakat di sini, pemadaman listrik itu sudah biasa. Sebab fenomena itu sudah berlangsung selama puluhan tahun. Mereka menganggap pemadaman listrik seperti rutinitas sehari-hari, seperti makan atau minum obat. "Pemadaman listrik itu sudah seperti minum obat. Tiga kali sehari. Sudah biasa," begitu kira-kira kata mereka.

Kalaupun ada perasaan jengkel, paling-paling ungkapan kekesalan mereka cuma berujung di status Facebook atau Blackberry Messenger. Saya yakin, masyarakat di pulau seberang tak akan mampu sabar seperti sebagian besar masyarakat di daerah ini. Mereka juga tak pernah pernah berpikir untuk memberontak atau membuat negara sendiri. Buktinya, hampir seluruh warga yang pernah saya temui mengaku tidak tertarik bergabung ke dalam organisasi transnasional yang berjuang mendirikan khilafah di negeri ini.

Puncak kekaguman saya kepada mereka yakni ketika orang-orang asing dan pihak-pihak lain yang berkoalisi dengan kaum kapitalis membabat habis hutan-hutan dan mengeruk seluruh sumber daya alam daerah ini sampai habis tak tersisa. Sementara anak-cucu masyarakat di sini harus hidup di kawasan eks tambang batubara yang tandus tak terurus. Tragis memang, jika generasi masa depan tidak bisa merasakan betapa nikmatnya duduk bersantai di bawah pohon besar sambil menikmati angin semilir.

Ah, sesak napas saya. Para tamu yang datang ke daerah ini telah sukses mengambil seluruh kekayaan yang tersimpan rapi di dalam tanah dan di dalam brankas-brankas kehidupan yang tersimpan rapi selama puluhan, bahkan ratusan tahun lamanya.

Mereka mengambil pohon-pohon, batubara, dan kekayaan alam lainnya. Sementara sang pemilik rumah hanya kebagian sandal jepit yang nyaris putus. Kalau kelompok kapitalis berhasil mengangkut berkarung-karung emas dan berlian, warga di daerah ini cuma menerima batu kerikil. Saya mencoba mengatur jalan napas. Saya mencoba sabar, seperti sabarnya mereka menghadapi situasi yang semakin tak jelas di negeri yang juga tak jelas ke mana arah dan tujuannya. "Mereka merampok seluruh sumber daya alam kami, menggunduli hutan kami, mengeruk emas hitam di bumi kami. Mereka mengotori sungai-sungai dengan limbah sawit. Hampir seluruh tanah leluhur kami telah dirampas. Tapi kami tetap sabar. Kami yakin, bahwa kesabaran akan membawa kami pada kemenangan yang hakiki," kata-kata yang keluar dari lisan sang bapak berpeci putih mengalir deras bak Tsunami Aceh belasan tahun silam.

Tak terasa azan asar berkumandang dengan merdunya, sang bapak berkopiah haji mengajak saya solat di mushola sederhana yang berada tidak jauh dari rumahnya. Sejak saat itu, saya begitu menikmati tinggal di negeri yang masyarakatnya memiliki kesabaran yang luar biasa. Saya menyebutnya, negeri para penyabar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun