Mohon tunggu...
Puja Mandela
Puja Mandela Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di apahabar.com

Pria biasa, lulusan pesantren kilat, penggemar singkong goreng, tempe goreng, bakso,fans garis miring The Beatles, Iwan Fals, Queen, musik rock 60s, 70s.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tidak Semua Hal Harus Masuk Akal

19 Maret 2016   08:42 Diperbarui: 1 Juli 2016   20:01 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masyarakat di Kalsel tentu lebih akrab dengan lagu Judi dibandingkan lagu Yesterday atau Hey Jude. Lagu Buta Tuli atau Ghibah tentu dianggap lebih menghentak dibandingkan lagu-lagu The Beatles bergenre rock 'n roll.

Di daerah ini, dangdut memang sudah sangat mengakar. Warga Kalsel tak akan begitu saja bisa melepaskan diri dari bayang-bayang dangdut. Bahkan anggota ormas Oi Banjarmasin sebagai basis utama fans Iwan Fals di Kalimantan Selatan memelesetkan Oi menjadi Oma Irama.

Di acara-acara hajatan perkawinan juga begitu. Tak akan ada warga lokal yang bisa meninggalkan busana dangdutnya. Tanpa dangdut, mereka seperti telanjang. Dan yang lebih khas lagi, volume sound system pasti disetel sangat kencang tanpa mempedulikan tempat duduk tamu undangan yang berada sangat dekat dari posisi sound system.

Yang saya heran, sebagian besar tamu undangan kok betah duduk berlama-lama sambil menikmati alunan lagu-lagu dangdut yang volume-nya digeber maksimal. Karena bosan, teman saya yang penggemar musik Jazz Instrumental pernah memprotes dan meminta kru sound system untuk mengurangi volume suaranya.

"Mas, tolong volume-nya dikurangi. Kalau begini terus kepala saya bisa pusing. Huh, bener-bener nggak masuk akal," protesnya.

Tapi apa lacur, permintaan teman saya ditolak mentah-mentah. Mereka bilang, volume sound system yang disetel sangat kencang itu sudah melalui kajian khusus dan penelitian ilmiah. Masyarakat Kalsel, kata dia, terbukti sangat menikmati lagu-lagu dangdut yang disetel keras sambil menunggu pasangan pengantin naik ke atas pelaminan.

"Hal seperti ini sudah menjadi tradisi masyarakat di sini. Dan yang perlu sampeyan ingat, tidak semua hal yang ada di dunia ini harus masuk akal," begitu katanya.

Hah?! Teman saya melongo. Lalu kami saling memandang. Sepertinya kami harus segera balik kanan sebelum sempat menikmati sepiring menu kuliner favorit saya, gangan waluh dan iwak karing masak asam yang disediakan di pesta pernikahan itu.[caption caption="Sumber foto: majalahpraise. com "]

[/caption] 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun