Mohon tunggu...
Puja Mandela
Puja Mandela Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di apahabar.com

Pria biasa, lulusan pesantren kilat, penggemar singkong goreng, tempe goreng, bakso,fans garis miring The Beatles, Iwan Fals, Queen, musik rock 60s, 70s.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Baik

7 Maret 2016   12:23 Diperbarui: 7 Maret 2016   12:57 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jadi, alasan orang tua Raisa memang sangat bertentangan dengan prinsip anak gadisnya. Benar-benar aneh, dan berpotensi syirik. Heuheu... Tapi, yang namanya keputusan orang tua mutlak diikuti. Kalau ditentang justru akan jadi bumerang buat calon pengantin. Dan akhirnya, Raisa mengalah. "Ya sudahlah, dari pada dikawinkan sama duda. Atau kawin sama Mbah Klowor. Nggak mauuuuuu. Nggak relaaaa akyuuuu. Huhuuuhuuu..." katanya tersedu-sedu.

Hari baik merupakan salah satu fenomena unik yang masih sering kita jumpai di republik ajaib ini. Bahkan masih banyak masyarakat modern yang sangat percaya adanya hari baik. Padahal mereka termasuk orang-orang jebolan universitas ternama dan memiliki intelektualitas di atas rata-rata. Tetapi urusan hari baik atau tidak baik, mereka harus berkonsultasi terlebih dahulu ke dukun atau orang pintar.

Sebenarnya agak geli juga kalau ada orang lulusan S1 atau S2, bahkan profesor yang datang ke orang pintar untuk mencari hari baik. Sementara dukun yang mereka percayai hanya lulusan sekolah dasar.

Tapi kalau ditanyakan langsung, tak semua orang mengaku kalau mereka masih percaya mitos hari baik dan hari tidak baik. Tak kalah dengan para elit pelitik, sebagian masyarakat lebih sering ngeles daripada menjawab dengan jujur dan mengakui bahwa mereka masih sangat percaya mitos tersebut. Kenapa harus ngeles? Gengsi dong.

Rupanya gaya ngeles elit pelitik di republik ini sudah menular kemana-mana. Tapi saya maklum kok. Sebab, salah satu syarat untuk menjadi politikus handal memang harus pandai-pandai ngeles, ahli berkelit, dan tentu saja harus memiliki kecerdasan di atas rata-rata.

Lihat saja berapa banyak elit pelitik yang tidak mau  menjawab berbagai pertanyaan wartawan dengan lugas dan tegas. Kebanyakan, jawabannya normatif. Ketika ditanya soal dugaan korupsi, jawabannya justru mengawang-awang, entah kemana. Ujung-ujungnya malah ngasih amplop.

Tapi belakangan, tak hanya elit pelitik yang pandai ngeles. Aparat kepolisian juga begitu. Ketika sejumlah wartawan menanyakan soal sejumlah kasus yang tak kunjung terungkap, jawaban mereka sudah bisa ditebak. "Personel kami ini terbatas. Apalagi kami tak punya anggaran. Kalaupun ada, itu sedikit sekali mas," katanya. Saya mbatin. "Oh ya wajar saja. Memang betul. Pembangunan kantornya saja dibantu pengusaha". Heuheu...pret!

Lalu bagaimana dengan pengusutan kasus-kasus bernilai besar di institusi kepolisian yang tak pernah terdengar kabarnya. Yang marak terjadi hanya penangkapan bandar sabu amatiran, maling ayam, penambang batubara karungan, dan berbagai varian penjahat kecil lainnya. Sementara penjahat kelas kakap terkesan dibiarkan, bahkan menjadi sahabat sejati oknum aparat. Kalaupun ada bandar sabu besar yang tertangkap, yaaa mungkin jatahnya sudah mulai macet.

Saya curiga kalau hal-hal klenik termasuk percaya dengan hari baik sudah masuk di institusi kepolisian yang kemudian menularkannya ke sejumlah oknum aparat. Saat mengusut kasus-kasus bernilai kecil, mereka langsung tancap gas, full. Lalu bergaya pak pahlawan nasional.

Tetapi saat mengungkap kasus-kasus berskala besar, mereka harus mencari waktu yang tepat dengan segala macam ritual terlebih dahulu dan menyebabkan pengungkapan kasus menjadi berlarut-larut. Lalu ketika ada wartawan yang menanyakan kasus yang tak kunjung terungkap itu. Polisi menjawab, "Sabar ya, Insya Allah akan kami tindaklanjuti setelah ini. Kalau sudah ketemu hari baik untuk melakukan investigasi".

"Lho kok gitu. Kaya orang kawinan aja, pake hari baik segala".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun