[caption caption="Ilustrasi (sumber foto: tambi. Net "][/caption] Wajah Raisa terlihat cemberut. Emosinya turun naik. Kadang-kadang degub jantungnya bergetar tak karuan. Padahal jadwal menstruasi masih sekitar satu minggu lagi. Sejak saat itu, sosok Raisa yang terkenal kalem dan manja berubah menjadi sosok yang pemarah, cenderung meledak-ledak.
Tapi gaya meledak-ledaknya Raisa tentu tidak seperti Jonru dan Abu Janda Al Boliwudi yang sering mengundang kontroversi jamaah Fesbukiah. Wajah cemberut Raisa jelas jauh lebih berbobot dibanding kedua ustadz muda medsos itu.
Sore itu, sehabis mandi, Raisa duduk selonjoran di pelataran rumahnya. Pandangannya jauh, mengawang-awang. Sebenarnya tak ada masalah berat yang membuatnya galau, kecuali bahwa orang tuanya "menunda" pernikahannya bersama kekasih tercinta.
Alasannya, orang tua Raisa sepakat bahwa pernikahan Raisa dan pujaan hatinya, Basuki, haruslah digelar di hari yang baik. Orang tua Raisa meyakini, hari baik bukanlah perkara remeh temeh. Sama seperti sebagian orang di luar sana, menentukan hari baik termasuk urusan seriyes. Bahkan sangat seriyezzz. Pernikahan merupakan ritual sakral yang idealnya hanya digelar selama satu tahun sekali, eh maksud saya, satu kali seumur hidup.
Sesuai tradisi masyarakat pada umumnya, hari pernikahan yang baik digelar usai Hari Raya Idul Adha. Tak heran, setelah hari raya kurban, banyak masyarakat di Indonesia yang menggelar acara pernikahan. Tetapi ternyata, Pak Bambang tidak begitu percaya dengan tradisi yang ada. Ia justru lebih mempercayai dawuhnya orang pintar. Pokoknya harus benar-benar sempurna.
"Wesss, ojo mencucu, jangan merengut terus. Ikuti saja kata bapak. Pernikahan itu sakral lho nak. Nggak bisa dilaksanakan sembarangan. Harus di hari yang baik seperti kata Mbah Samidjan itu," katanya, menasehati anaknya.
Mendengar nasehat bapaknya, Raisa semakin cemberut. Ia khawatir kalau pernikahannya ditunda, justru akan berdampak negatif bagi hubungannya dengan Basuki. Raisa tak habis pikir, kenapa bapaknya begitu percaya dengan orang pintar. Menurutnya pola pikir seperti itu sudah sangat kuno, ketinggalan zaman.
Padahal, Raisa sendiri ingin pernikahannya digelar secepatnya. Tapi ia tak mungkin melawan orang tuanya.
Sebenarnya, yang paling jengkel atas keputusan ini adalah Basuki. Karena itu, belakangan Basuki sering marah-marah tak jelas kepada Raisa.
Dan akhirnya, hubungan Raisa dan Basuki mulai renggang.
Karena segala bentuk keruwetan itu, Raisa jadi stress dan depresi. "Di era modern, dimana segala sesuatu serba praktis, bahkan toilet saja sudah menggunakan tombol, tapi pola pikir manusia kok masih jumud". Begitu kata Basuki, yang masih nempel di benak Raisa.
Pola pikir Raisa dan Basuki sebenarnya sama saja. Mereka ingin pernikahan tersebut segera dilaksanakan tanpa harus menunggu hari baik versi orang pintar kepercayaan bapaknya. Apalagi, wanita lulusan universitas ternama di daerahnya itu termasuk wanita bergenre rasional. Menurutnya, definisi hari baik itu jika resepsi pernikahan dihadiri banyak orang, banyak keluarga jauh yang datang dan ikut mendo'akan agar setelah menikah, suaminya tidak buru-buru kawin lagi.
Dari perspektif cuaca, hari baik itu jika pada hari H, disekitar rumah mempelai tidak diguyur hujan deras sehingga menyebabkan tamu-tamu kurang mampu urung hadir.
Tetapi yang paling baik tentu saja jika cuacanya adem, sedang-sedang saja.
Kehadiran tamu dalam sebuah resepsi pernikahan sangatlah penting. Karena semakin banyak tamu yang hadir, akan semakin banyak amplop yang diterima. Ya. Amplop dan tentu saja beserta isinya merupakan tolak ukur kesuksesan dalam menggelar resepsi pernikahan. Semakin tebal, semakin membuat hati adem.