Mohon tunggu...
Puja Mandela
Puja Mandela Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di apahabar.com

Pria biasa, lulusan pesantren kilat, penggemar singkong goreng, tempe goreng, bakso,fans garis miring The Beatles, Iwan Fals, Queen, musik rock 60s, 70s.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Saya Nggak Punya Suku! Saya Orang Indonesia!"

25 November 2015   09:55 Diperbarui: 25 November 2015   11:03 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Puja Mandela

Terus terang saya agak kerepotan kalau bertemu dengan seseorang yang terlalu fanatik dengan suku. Mungkin level kesukuannya sudah sangat radikal, sehingga kalau bertemu seseorang, pertanyaan wajibnya adalah "sukunya apa ya?".

Saya pernah beberapa kali bertemu dengan orang model begini. Biasanya saya jawab ringan saja, sebab saya tidak ingin melayani terlalu serius. Lagipula apa pentingnya, kenapa pertanyaan soal suku langsung ditanyakan, padahal kenal saja belum.

Kalau bertemu orang yang baru saya kenal, biasanya saya akan menghindari menanyakan soal suku atau agama. Bukan apa-apa, kayaknya kok nggak asik aja. Biasanya saya cuma menanyakan nama dan tempat tinggal, kemudian perbincangan bisa mengalir begitu saja, tanpa ada pertanyaan soal suku atau agama.

Saya bisa saja mengklaim bahwa bapak saya dari suku Jawa dan ibu saya dari suku Banjar, sementara saya adalah blasteran Jawa dan Banjar. Tetapi saya memang sengaja tak pernah menjawab pertanyaan seperti itu. Saya tidak pernah sepakat dengan orang yang memiliki fanatisme berlebih soal kesukuan.

Saya jadi teringat, persoalan suku ini tak pernah muncul saat Nabi Muhammad SAW. Fanatisme kesukuan bangsa arab benar-benar dihilangkan oleh Rasulullah. Tak ada yang boleh fanatik dengan suku, karena semua bersatu atas nama Islam. Padahal sebelumnya, bangsa Arab dikenal sangat fanatik soal suku.

Tapi setelah nabi wafat, aroma fanatisme kesukuan muncul lagi. Bahkan saat pemilihan khalifah, suku Anshar dan Muhajirin tanpa melibatkan Ahlul Bait sempat berdebat terkait siapa yang pantas menjadi pengganti Rasulullah. Ini terbukti bahwa Nabi Muhammad sangat menguasai problematika kehidupan. Fanatisme kesukuan hanya akan memperlebar perbedaan dan potensi perpecahan.

Suatu ketika saya bersilaturahmi dengan kerabat yang berada tidak jauh dari kediaman saya. Biasanya setelah masuk ke rumah, saya langsung duduk dan berbincang-bincang dengan tuan rumah. Tak lama, datang seorang keturunan Cina yang masuk ke rumah itu. Setelah menyapa tuan rumah, dia menegur saya.

"Mas, darimana, sukunya apa...?

Sambil cengengesan, saya jawab, "saya nggak punya suku. Saya orang Indonesia mas".

"Lho, kenapa? Kan biasanya ada suku Jawa, Banjar atau Bugis. Masa nggak punya suku?"

"Lha iya memang nggak punya suku kok. Karena bapak saya Jawa dan ibu saya Banjar. Jadi suku saya ini nggak jelas. Lagipula yang bikin rusak Indonesia itu ya karena fanatisme kesukuan itu"

"Huahaha... kapok, modyar cocotmu," bathinku.

Setelah saya jawab seperti itu, dia ikut-ikutan cengengesan. Mungkin setuju, mungkin juga tidak. Ya terserah dia, saya nggak peduli. Emang gue pikirin. Heuheu...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun