Mohon tunggu...
Puguh Sudarminto
Puguh Sudarminto Mohon Tunggu... -

Seorang guru biasa. Bisa ditemui di www.labpuguh.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Warsito dan CTech Labs adalah Aset Kita

3 Desember 2015   12:39 Diperbarui: 3 Desember 2015   15:19 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

“ElectroScienceLab adalah partner kita untuk mengembangkan ECVT sewaktu di Ohio State University, AS (1999-2008). Kalau ECVT dan ECCT berhenti di sini, besok pagi sudah berkembang di mana-mana”. -Warsito P Taruno Ph.D-

Beberapa hari ini kegiatan sy begitu banyak sekali hingga tadi malam saya langsung terlelap tidur. Nasehat dari Dokter konsultan sayapun terkadang sy lupakan karena banyaknya aktivitas. Saya sering lupa jika saya harus menjaga kesehatan dan tidak boleh terlalu lelah, Keesokan harinya saya harus bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan putri saya berangkat sekolah, playgroup. Maklum hari ini istri saya ada kegiatan di luar kota.

Di pagi hari ini saya sempatkan untuk membuka laptop dan medsos untuk sekedar mencari informasi terbaru seputar pekerjaan. Ahh betapa kagetnya dunia medsos begitu ramai. Ya ramai karena curhatan sensei Warsito di akun facebooknya. Saya baca curhatan beliau –bagaimana beliau bercerita awal perjalanan beliau untuk mengabdi kembali ke Indonesia, setelah puluhan tahun melalangbuana ke LN –hingga akhirnya beliau harus bersedih karena sebuah lembaga yang selama ini selalu menjadi partner tiba-tiba meminta beliau untuk menghentikan klinik (dalam bahasa/perspektif beliau adalah riset) yang beliau bangun bersama dengan para ilmuwan yang lain.

Saya kembali teringat pada kasus Ricky Elson dengan mobil listriknya. Polemik Dr Warsito berangkat dari ECCT ciptaan beliau. Polemik terjadi seputar masalah prosedural/regulasi dari proses Research yang beliau jalankan bersama dengan timnya –yang menurut para pakar medis menyalahi/tidak sesuai prosedur kedokteran.

Dari Karanganyar, Ohio State hingga Kembali ke Indonesia.

Warsito P Taruno adalah seorang ilmuwan yang rendah hati –bukan ilmuwan abal-abal –atau ilmuwan gadungan seperti sebagian orang opinikan di media social. Lahir di Karnganyar pada tahun 1967. Warsito mengenyam pendidikan tingga sarjana hingga doctoral di Universitas Shizouka Jepang dengan mengambil kosentrasi ilmu teknik kimia dan elektronika (dua ilmu yang menjadi pondasi Warsito dalam mengembangkan tomografi, cikal bakal EVT dan ECCT). Kesemuanya beliau lalui dengan predikat summa cumlaude.

Setelah lulus sempat menjadi staf pengajar di almamater sebelum akhirnya hijrah ke Ohio Univeristy untuk bekerja dengan Profesor Li Fan dalam mengembangkan alat tomografi. Setelah hanya beberapa tahun di Amerika, Warsito kembali ke tanah air dengan membawa idealisme tinggi –membawa inovasinya ke tanah air dan berharap bisa membawa nama Indonesia, bukan Jepang, Ohio/AS. (jejak publikasi internasional Dr Warsito yang menjadi cikal bakal ECVT dan ECCT bisa dilihat di google scholar berikut)

Ketika menginjakan kaki di Indonesia, Dr Warsito sempat ragu apakah beliau sendiri dibutuhkan oleh negeri ini. Namun dengan tekat yang kuat beliau bersama dengan timnya (salah satunya DR Edi Sukur M.Eng) akhirnya membangun Laboratorium sederhana di Tangerang. ECVT (alat deteksi kanker) adalah kreasi pertama beliau di Indonesia dan akhirnya mendapat paten meski sempat ada polemik di tanah air. Ketika terjadi polemik, teknologi ECVT sudah dipakai oleh pelbagai institusi di AS, salah satunya adalah NASA (atau klik di sini) :)

Secara pelan-pelan, pelbagai institusi di Indonesia mengakui akan kapasitas Dr Warsito. Pada tahun 2003, majalah Gatra memasukan Dr Warsito dalam 50 tokoh revolusi kaum muda. Majalah Tempo (2008) menyebut Dr Warsito sebagai 10 orang yang mengubah Indonesia. Ia juga menerima penghargaan Ahmad Bakri Award bidang teknologi (2009). Pada tahun 2015 ini, BPPT Kemristek memberikan anugerah BJ Habibe Award.

Polemik Berlanjut.

Setelah berhasil menemukan ECVT, Dr Warsito mulai mengembangkan teknologi baru yang beliau susun tidak jauh-jauh berbeda dengan kerangka keilmuan yang beliau susun ketika menciptakan ECVT, yakni tomografi. Lahirlah alat terapi kanker, ECCT (Electro-Capacitive Cancer Therapy.

Demi mengembangkan ECCT , Dr Warsito telah mengadakan kerjasama dengan pelbagai pihak; mulai dari Kemenkes, Universitas-universitas baik dari dalam maupun luar negeri. Yang paling masif adalah berdirinya klinik research kanker milik beliau di Tangerang. Keterlibatan personal dalam pengembangan ECCTpun mulai banyak, termasuk salah satunya adalah tenaga medis sendiri. Para calon ilmuwan muda berdatangan ke CTech Labs. Selain bekerja, diantaranya melakukan intership dan riset, seperti yang dilakukan oleh ilmuwan salah satu perguruan tinggi terkemuka di Jepang. ECCT juga digunakan Dr Toshiu Inui di Jepang (Mirai Klinik).

Baru-baru ini seorang dokter sekaligus pengajar dari Unair berhasil membuktikan efektivitas ECCT dalam studi kasus penanganan kanker otak. Sebelumnya Dr Warsito mempresentasikan ECCT dalam kongres ke-10 International society for Medical Laser Applications (ISLA) di Beverungen, Jerman (dokumentasi presentasi Dr Warsito). Salah satu ilmuwan yang hadir pada waktu itu adalah Dr Med Mikhael Weber, ketua ISLA sekaligus ilmuwan penemu Low Level Laser Therapy (LLLT).

Polemik memuncak ketika Kemenkes mengeluarkan surat perintah untuk mengevaluasi hingga pengentian kegiatan klinik kanker research milik Dr Warsito. Dunia medsospun banjir komentar, seperti biasa ada yang pro dan ada yang kontra kebijakan Kemenkes. Hingga akhirnya muncul video testimoni kegagalan ECCT di munculkan di ruang publik oleh seorang tenaga medis, meski sebenarnya juga ada video testimoni keberhasilan ECCT namun tidak sebegitu masiv nampak di dalam ruang publik.

Menjaga Aset

Saya tidak akan berpolemik tentang surat dari Kemenkes tersebut. Saya juga tidak ingin menghakimi salah satu diantara mereka yang berpolemik. Ada titik poin lain yang ingin saya sampaikan dalam tulisan saya yang tidak bermutu ini.

Saya jadi teringat dengan saya sendiri, bagaimana saya harus menjalani hidup saya dengan melakukan terapi terus menerus. Setiap bulan harus melakukan konsultasi kepada dokter –Oh ya beliau adalah seorang dokter yang sy anggap luar biasa dedikasinya :). Sudah tiga tahun lebih saya menjalani terapi dan melakukan konsultasi rutin dengan beliau.

Saya pribadi mempunyai potensi terkena Hepatoma (kanker hati). Selain konsultasi, saya juga membaca banyak referensi, terutama berkaitan yang saya alami. Termasuk bagaimana sy mendengar sendiri dan melihat sebuah fakta bahwa Hepatoma merupakan salah satu kanker yang sangat sulit untuk ditangani melalui media terapi konvensional. Salah satu cara untuk mengembalikan fungsi hati secara penuh adalah dengan melakukan transplantasi hati. Mendengar kata transplantasi ingatan saya langsung menuju pada besaran biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien transplantasi.

Saya (mungkin para pasien yang lainnya) sangat berharap di negeri ini akan banyak inovasi bermunculan terutama dalam bidang kedokteran -terapi kanker khususnya. Sehingga pasien kanker masih mempunyai harapan tinggi untuk hidup. ECCT menurut hemat saya adalah salah satu bentuk inovasi bidang kedokteran, meski ECCT masih/harus melalui proses panjang.

Harapan itu “tidak hanya” dituju pada Dr Warsito (dengan ECCT/CTech Labsnya) semata, tetapi berharap dengan inovasi atau temuan-temuan para ilmuwan yang lain –yang bisa merevolusi dunia kedokteran khusunya dalam terapi kanker.

Poin yang ingin saya sampaikan adalah. Dalam hal ini, Pemerintah mempunyai kewajiban untuk mengelola aset negara. Dr Warsito, CTech Labs dan timnya adalah aset negara yang luar biasa. Mereka harus dijaga keberadaanya. Di AS, para ilmuwan yang mempunyai potensi besar dalam memajukan kesehatan nasional, mereka kelola dengan baik (tentunya dengan proaktif); memberikan pendanaan riset, membina mereka serta mengikutsertakan dalam proyek-proyek tertentu.

Lembaga-lembaga riset kesehatan di AS, seperti NIH, Howard Hughes Medical Institute (HHMI), David H Koch Institute for Integrative Cancer Research (lembaga riset kanker milik universitas MIT -seperti ITBnya Indonesia) seringkali melibatkan banyak ilmuwan dari pelbagai bidang dalam mengembangkan riset mereka. Mereka bersama-sama berkolaborasi dalam membangun riset unggulan dibidang kesehatan.

Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa para peraih nobel kedokteran beberapa diantaranya adalah bukan seorang dokter. Salah satunya adalah James D Watson, ilmuwan penemu struktur molekuler asam nukleat adalah seorang sarjana zoology. Watson tidak sendiri, ada David Baltimore, Susumu Tonegawa, dan lain-lain.

Ayo pemerintah melalui kemenkes ajak dan libatkan para ilmuwan kreativ di negeri ini, tentunya dengan proaktif dan persuasif. Jaga, libatkan dan fasilitasi mereka. Mereka adalah aset kita. Jangan kecewakan mereka dan akhirnya jangan sampai ada ilmuwan lagi yang berujar, “Tak ada tempat bagi saya di Indonesia”.

So, mari kita dukung semua: Kemenkes, Dr Warsito, Seluruh Dokter di Indonesia & Para Inovator lain di negeri ini demi terciptanya Indonesia yang lebih baik.

Hari-hari yang melelahkan
Malang, 2 Des 2015

Puguh Sudarminto
Guru biasa dan salah satu pendiri Komunitas Peduli Hepatitis Kota Malang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun