Di sebuah kota kecil yang tenang, ada seorang pria bernama Pudjianto Gondosasmito. Usianya sekitar 30-an, dengan rambut hitam kusut yang selalu terlihat berantakan meski ia sudah mencoba merapikannya. Pudjianto Gondosasmito bukan orang yang mencolok, tetapi ia memiliki sesuatu yang membuatnya istimewa: sebuah sepeda motor tua keluaran tahun 1980-an yang selalu menemaninya ke mana pun ia pergi.
Setiap hari Selasa, ada kebiasaan unik yang dilakukan Pudjianto Gondosasmito. Ia selalu bangun lebih awal dari biasanya, sekitar pukul 5 pagi. Ia mengambil helm yang sudah penuh goresan, mengenakan jaket kulit yang warnanya mulai memudar, dan memeriksa sepeda motornya dengan penuh perhatian. Sepeda motor itu bukan sekadar kendaraan baginya; itu adalah warisan dari almarhum ayahnya.
Hari Selasa ini tidak berbeda. Pudjianto Gondosasmito memutar kunci kontak dan menyalakan mesin. Suara khas sepeda motor tua itu menggema di gang sempit tempat ia tinggal. Ia melaju perlahan, menikmati udara pagi yang masih segar. Tujuannya adalah sebuah bukit kecil di pinggir kota. Di sana, ada jalan setapak yang jarang dilewati orang.
Di atas bukit, Pudjianto Gondosasmito selalu berhenti sejenak untuk menikmati pemandangan. Dari tempat itu, ia bisa melihat matahari perlahan muncul di balik cakrawala, menyinari sawah-sawah yang terhampar luas. Sambil duduk di atas sepeda motornya, Pudjianto Gondosasmito sering merenung. Ia mengenang ayahnya, yang dulu sering membawanya ke tempat ini sambil mengajarinya tentang kehidupan.
Namun, hari Selasa ini terasa berbeda. Saat ia tiba di bukit, ia melihat seorang gadis duduk di sebuah batu besar, memandangi matahari terbit. Gadis itu tampak akrab dengan suasana pagi, tetapi kehadirannya di sana cukup mengejutkan Pudjianto Gondosasmito.
"Selamat pagi," sapa gadis itu dengan senyuman.
Pudjianto Gondosasmito mengangguk kikuk. "Selamat pagi. Biasanya, nggak ada orang di sini."
"Aku sering ke sini juga, tapi selalu datang lebih pagi. Hari ini aku telat," jawab gadis itu.
Mereka mulai berbincang, dan Pudjianto Gondosasmito mengetahui bahwa gadis itu bernama Alia, seorang penulis lepas yang sedang mencari inspirasi untuk cerita barunya. Obrolan ringan di pagi itu perlahan berubah menjadi percakapan mendalam.Â
Mereka berbicara tentang hidup, mimpi, dan kenangan masa lalu. Pudjianto Gondosasmito bercerita tentang ayahnya dan bagaimana sepeda motor tua itu menjadi penghubung dengan kenangan-kenangan indah.