Mohon tunggu...
Pudji Widodo
Pudji Widodo Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Kesehatan Militer.

Satya Dharma Wira, Ada bila berarti, FK UNDIP.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Malaria Pembunuh dalam Perang Pasifik dan Ancaman Omicron di Pengujung Tahun

24 Desember 2021   06:08 Diperbarui: 24 Desember 2021   09:14 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Pudji Widodo

Ketika Covid-19 mengancam kesiapan dan operasional kapal perang

Untuk pertama kali seorang perwira Angkatan Laut Amerika Serikat (AS) diberhentikan dari jabatannya karena menolak vaksinasi dan testing Covid-19. Commander (setara Letnan Kolonel) Lucian Kins telah diberhentikan dari jabatannya sebagai Komandan kapal fregat USS Winston Churchill dan dianggap gagal mematuhi perintah yang sah (sindonews.com, 11/12/2021).

Sikap Lucian Kins tentu saja berpotensi mengganggu kesiapsiagaan personel dan operasional kapal perang, selain memberi contoh yang tidak baik bagi personel lainnya.

Sebagai perwira, Lucian Kins tentu paham manfaat program vaksinasi Covid-19 dan pengaruhnya terhadap sistem pertahanan. Alasan agama membuat Lucian Kins resisten dan menolak perintah komando. 

Kekukuhan sikap Lucian Kins berbanding terbalik dengan keputusan para komandan lainnya ketika menghadapi klaster Covid-19 di kapal perang yang dipimpinnya.

Klaster Covid-19 pada kapal perang AS, Inggris, dan Korsel selain di pangkalan, juga terjadi di wilayah misi operasi di mana kapal-kapal perang digelar. Pada awal April 2020 Kapal induk USS Theodore Roosevelt terpaksa berlabuh cukup lama di Guam setelah 550 dari 4800 awaknya terinfeksi Covid-19 <1>. 

Pada November 2020 giliran USS Michael Murphy yang sedang berlabuh di Hawaii juga telah menjadi klaster Covid-19 <2>. Pada akhir Februari 2021 terdapat awak kapal USS San Diego dan USS Philippine Sea yang sedang tugas operasi di Timur Tengah juga dinyatakan positif Covid-19.

Selain klaster kapal perang AS, pada Juli 2021 Korsel memulangkan seluruh prajuritnya setelah 247 orang dinyatakan positif Covid 19 dari 301 personel kapal perusak Munmu The Great <3>. Kapal perusak Korsel tersebut sedang bertugas di lepas pantai Afrika Timur untuk operasi anti-pembajakan. 

Pada saat yang sama 100 personel kapal induk Inggris HMS Queen Elizabeth yang sedang memasuki Samudra Hindia dalam pelayaran menuju Jepang, dinyatakan positif Covid 19 meskipun sudah mendapat vaksinasi <4>. Di dalam negeri pun ada contoh yang relevan saat 600 siswa Lembaga Pendidikan Secapa TNI AD diketahui berstatus terkonfirmasi Covid -19.

Kecepatan bertindak para komandan kapal perang AS, Korsel, dan Inggris didasarkan kepada kecepatan penapisan dan ketepatan penegakan diagnosis. Kapal perang yang sedang bertugas operasi tersebut tentu dilengkapi perangkat laboratorium penunjang klinik yang memadai. Meskipun terjadi pada masa damai, klaster Covid-19 di kapal perang menghambat rencana operasi bahkan gagalnya tujuan operasi saat kapal perang telah berada di sasaran tugas. Di sisi lain, kecepatan diagnosis merupakan gambaran berharganya jiwa setiap prajurit yang harus dilindungi.

Malaria musuh bersama Jepang dan Sekutu dalam perang Pasifik

Pengaruh penyakit terhadap jalannya pertempuran juga terjadi delapan puluh tahun yang lalu, ketika Jepang berusaha menguasai seluruh Pasifik Selatan. Jepang ternyata mengalami kesulitan meskipun telah berupaya agar Amerika tidak bisa menghambat ofensifnya dengan lebih dulu menyerang Pearl Harbor. 

Sejarah mencatat bahwa selain terlibat perang konvensional, kedua belah pihak di Pasifik juga menghadapi musuh bersama, yaitu penyakit.

Pulau Guadalcanal di Kepulauan Solomon disebut sebagai pulau malaria. Pulau tersebut merupakan medan pertempuran yang paling menentukan dan terpanjang dalam sejarah perang Pasifik. Puluhan ribu prajurit meninggal dalam pertempuran Guadalcanal, karena korban pertempuran, keganasan alam dan penyakit malaria <5>. 

Kasus pulau Guadalcanal menjadi contoh bagaimana penyakit menghambat kemenangan salah satu pihak dan meningkatkan risiko kekalahan pihak yang lain.

Contoh lain adalah situasi pasukan sekutu yang digeser dari Port Moresby untuk ditempatkan di Teluk Milne di ujung timur Papua Nugini pada Juni 1942. Meskipun mengetahui berada di kawasan endemik malaria, namun tindakan pencegahan dilakukan tidak sesuai pedoman. 

Lebih dari seminggu di daerah operasi, namun profilaksis harian belum diberikan karena kendala bongkar muat bekal kesehatan. Akibatnya satu kompi Batalyon Infantri-55 ditarik kembali ke Port Moresby karena terserang malaria sebelum mereka berhadapan dengan musuh yang lain, Jepang.

Pada abad 18 demam kuning merontokkan moril prajurit Prancis dalam perang di Haiti yang semula berjumlah 50.000 orang tinggal 3000 yang tersisa kembali ke Perancis. Demikian pula pandemi Flu Spanyol turut mempercepat berakhirnya Perang Dunia I akibat kerugian personel prajurit yang meninggal karena sakit. Besarnya kerugian personel akibat penyakit telah membuat strategi perang menjadi tidak efektif.

Meremehkan data geomedik

Di palagan Asia Pasifik, saat itu Jepang mungkin melakukan kalkulasi tempur dengan data yang kurang lengkap. Data tersebut dipasok oleh Takeo Yoshikawa, personel Dinas Intelejen Angkatan Laut Jepang. Dengan nama samaran Tadashi Morimura pada awal April 1941, Takeo Yoshikawa telah tiba di Hawaii. 

Morimura melaporkan tentang situasi Pearl Harbor pada hari Sabtu. Empat jam setelah laporan Morimura, militer Jepang menyerbu Pearl Harbor pada minggu 7 Desember 1941. Ketika serangan pesawat tempur Jepang berakhir, AS masih beruntung karena tidak semua fasilitas pangkalan rusak.

Mungkin Morimura juga mengirim informasi tentang fasilitas kesehatan pangkalan, termasuk posisi rumah sakit. Pada pemulihan Pearl Harbor pasca serbuan Jepang, kapal rumah sakit USS Solace yang selamat dari serangan berperan merawat 10 ribu pasien korban serangan Jepang. Mungkin Jepang dalam pengumpulan data intelejen tidak memperhitungkan kemampuan dukungan fasilitas kesehatan AS, termasuk keberadaan USS Solace sebagai fasilitas kesehatan bergerak. 

Sebaliknya Jepang maupun AS tidak mempedulikan penyakit malaria sebagai data geomedik, yang ternyata menimbulkan kesulitan dalam upaya masing-masing memenangkan pertempuran di Guadalcanal danTeluk Milne Papua Nugini. 

Apa yang sekarang kita sebut penyakit sebagai bagian dari ancaman nontradisional sama sekali tidak diperhitungkan Jepang maupun AS dalam perang pasifik. Artinya Jepang dan AS saat itu tidak mempertimbangkan penyakit dalam Analisis Daerah Operasi (ADO) alias meremehkan peran data intelejen medis. 

Mari kita tinggalkan situasi Perang Dunia II dan kembali kepada situasi kekinian, di mana kita masih harus bertempur melawan Covid-19. 

Berbeda dengan era Morimura yang memasok hasil spionasenya saat itu dengan teknologi yang terbatas, kini kita setiap saat dapat menemukan berbagai informasi tentang perkembangan virus SARScoV-2 dengan segala variannya, termasuk Omicron yang ditemukan pertama kali di Afrika Selatan. 

Kita juga bisa mengikuti perkembangan penelitian penanggulangan Covid-19 baik dengan vaksin maupun obat.

Virus corona termasuk dalam salah satu dari 12 famili golongan Virus RNA, yaitu dari famili Coronanidae. Nama corona (latin) bermakna mahkota yang ditandai adanya viral spike atau protein-S yang mengisi permukaan virus. Sebagai penyebab penyakit Covid 19, SarsCov2 masih satu keluarga dengan virus SARScoV dan MERScoV dalam kelompok keluarga virus corona.

Ada baiknya kita memperhatikan kembali seluruh informasi yang menggambarkan identifikasi terhadap virus SarcoV-2 sebagai agen penyebab penyakit Covid-19 sebagai berikut:

a. SARScoV-2 termasuk golongan virus RNA, kode genetik ini penting dalam proses membangun protein serta memicu sistem kekebalan. Teknologi messenger RNA (m-RNA) telah digunakan dalam proses pembuatan vaksin. Platform teknologi ini berbeda dengan vaksin klasik yang dibuat dari virus utuh yang telah dilemahkan (CNNIndonesia.com, 24/6/2020)

b. Protein spike S pada permukaan virus SARScoV-2 berperan pada proses infeksi dan berfungsi sebagai pengunci yang mengikat reseptor ACE-2 sel yang menjadi target pada organ manusia. 

Peran protein S ini dimanfaaatkan untuk pengembangan obat yang memblokir proses pengikatan protein S dengan resptor ACE-2 sel, sehingga virus sulit masuk sel manusia.

c. Sel target pada tubuh orang (pejamu) yang akhirnya menjadi pengidap adalah jaringan organ pernapasan. Maka jangan memberi kesempatan SARScoV-2 masuk dan bereplikasi di saluran pernapasan kita.

d. Masa Inkubasi 2-14 hari. Jangka waktu ini dipergunakan sebagai dasar ketentuan karantina. Saat ini masyarakat mengkritisi ketentuan karantina yang terkesan tidak adil.

e. Cara penularan melalui percikan cairan lendir pernapasan (droplet) maupun aerosol. Mekanisme ini yang menjadi dasar protokol penggunaan masker dan menjaga jarak untuk mencegah transmisi virus.

f. Disinfektan dan deterjen dapat merusak selubung virus karena material lemak dalam selubung larut dalam deterjen. Hal ini menjadi dasar protokol mencuci tangan dan disinfeksi permukaan material yang mungkin terkontaminasi virus SARScoV-2.

g. Delapan puluh persen kasus Covid-19 adalah OTG. Kita tidak pernah tahu saat terpapar virus apakah akan menjadi OTG ataukah menjadi Orang dengan Gejala (ODG). Bersyukur bila kita telah mendapat vaksinasi, bila terpapar lagi dan bergejala risikonya lebih ringan.

Pada saat gelombang kedua Covid-19 bulan Juli 2021, tercatat jumlah terkonfirmasi tertinggi di Indonesia pada 15 Juli 2021 mencapai lebih 56.757 per hari. Jumlah total kasus aktif tertinggi lebih dari 574.000 pada tanggal 28 Juli 2021. Jumlah kematian terbanyak pada 27 Juli 2021 adalah 2069 orang dan rerata kematian pada bulan Juli 2021 adalah 1286 orang per hari.

Sila hitung dan bayangkan bila 20% diantaranya memerlukan pertolongan ke rumah sakit pada saat bersamaan setiap hari. Yang terjadi saat itu adalah kolapsnya fasilitas kesehatan dan mencekamnya suasana hati para tenaga kesehatan di tengah risiko dan beban tugas profesi.

Perkembangan yang memberi harapan baik adalah ditemukannya pil antivirus Paxlovid hasil eksperimen Pfizer Inc untuk pasien Covid-19. Obat ini diklaim mampu menurunkan resiko rawat inap dan kematian sebesar 89% pada orang dewasa yang rentan (Kompas.com, 8/11/2021). Tentu setiap orang berharap tidak terinfeksi Covid-19 meskipun obat Paxlovid telah disiapkan.

Memang sampai Juli 2021 pemerintah telah meningkatkan anggaran tambahan untuk klaim pasien Covid-19 di rumah sakit yang semula Rp 40 triliun menjadi Rp 65,87 trliun (CNNIndonesia.com, 18/7/2021). Namun bila kita fokus dan disiplin pada langkah pencegahan yang sistematis, maka biaya pengobatan ini bisa ditekan lebih efisien untuk kepentingan pembangunan kesehatan lainnya.

Penutup

Mengakhiri tulisan ini, saya sampaikan beberapa catatan sebagai berikut:

1. Belajar dari sejarah perang Pasifik dan adanya klaster Covid-19 di kapal perang, terdapat kesamaan ancaman pada level kesiapan satuan operasional di pangkalan maupun di medan tugas operasi. Setiap prajurit TNI terikat kewajban "menjadi contoh dan mempelopori usaha-usaha untuk mengatasi kesulitan rakyat sekelilingnya", di tengah tanggung jawab melaksanakan tugas pokoknya.

2. Pepatah lama "mencegah adalah lebih baik daripada mengobati" tetap relevan baik pada Flu Spanyol saat PD-1, malaria pada perang Pasifik hingga kini perang global melawan Covid-19.

3. Berbeda dengan Jepang dan AS yang keliru dalam kalkulasi tempur tidak mempertimbangkan Kepulauan Solomon sebagai endemis malaria, saat ini kita memiliki dasar pemahaman bagaimana menghadapi karakter virus Covid-19 yang sampai Varian Omicron ternyata masih efektif dicegah dengan disiplin melaksanakan 5 M-2T.

4. Bila pasca-libur nataru terjadi ekskalasi kasus Covid-19 sedemikian rupa sebagai gelombang ketiga dan fasilitas kesehatan kembali kolaps, berarti seluruh pemangku kepentingan lintas sektoral dan masyarakat mengulang kesalahan pejabat komando Sekutu, yang bertanggung jawab atas manajemen logistik kesehatan penanganan malaria delapan puluh tahun yang lalu di Teluk Milne.

5. Pemimpin wilayah dan para pemangku kepentingan yang tidak melakukan testing dan tracing agar kasus Covid-19 di wilayahnya tampak rendah, sama dengan mengulang kesalahan para pejabat militer AS dan Jepang dalam perang pasifik yang meremehkan data geomedik penyakit malaria delapan puluh tahun yang lalu di Guadalcanal.

Akhir Januari 2022 akan menjadi bukti apakah kita masih dirundung kedukaan karena gelombang ketiga Covid-19. Apakah kita mau mengulang kesalahan yang sama? (pw).

Pudji Widodo,
Sidoarjo, 23122021 (93)
Sumber terkait : 
[1], [2], [3], [4], [6], [7],[8]

5. Ojong, PK. Perang Pasifik. Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2005.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun