Pengganti Tanto Kuswanto, Laksamana Arif Kushariadi bahkan menetapkan penggunaan baret biru gelap khusus untuk personel kapal Atas Air dan Penerbangan TNI AL. Selanjutnya pada jaman Kasal Laksamana Slamet Subiyanto, prajurit pasukan khusus Kopaska yang semula berbaret sama dengan personel Kapal Atas Air, diubah menjadi berbaret merah.
Ketika TNI AL menetapkan emblem/lambang baret untuk membedakan identitas personel satuan administrasi dan satuan operasional, maka personel yang bertugas mengawaki kapal perang pun semakin eksklusif sebagai prajurit matra laut pilihan.
Tak terbayangkan bagaimana suasana psikologis personel kapal perang bila masih mengenakan peci mut dan topi kelasi sebagai kelengkapan pakaian dinas harian, sementara ada personel satuan kewilayahan TNI yang bersifat penugasan administratif mengenakan baret. Bahkan PNS Kemhan, personel komponen cadangan, dan personel pengamanan berbagai instansi pemerintah pun mengenakan baret.
Filosofi senjata yang diawaki
Pemimpin TNI AL berharap penggunaan topi kelasi baru mendorong bangkitnya kebanggaan terhadap satuan. Bangga menjadi warga satuan yang memiliki nama besar, yang dibangun dari prestasi para pendahulu yang harus dipertahankan. Kebanggaan yang dilandasi kesadaran adanya amanat dan tanggungjawab untuk menunjukkan jati diri prajurit profesional dalam melaksanakan tugas yang dibebankan negara.
Namun potensi internal dalam diri prajurit secara matematis barulah seperempat persoalan pembentukan prajurit profesional. Persoalan besar lainnya justru merupakan faktor eksternal, yaitu negara memberi pelatihan, menyediakan senjata dan alutsista yang memadai serta menjamin kesejahteraan prajurit. Hal tersebut sesuai definisi prajurit profesional dalam pasal 2.d UU Nomor 2 tahun 2004 tentang TNI dan doktrin TNI Tri Darma Eka Karma (Tridek).
Prajurit profesional dan alutsista yang disiapkan negara sangat relevan bagi Angkatan laut sebagai kecabangan militer yang berciri “heavy technology.” Oleh karena itu filosofi yang dianut Angkatan Laut, juga Angkatan Udara adalah “senjata yang diawaki”, bukan semata-mata bertumpu kepada jumlah "personel yang dipersenjatai." Tentu saja alutsista yang diadakan mengikuti kaidah perkembangan iptek dan sesuai kondisi negara maritim.
Doktrin Tridek jelas mencantumkan kebijakan dan strategi TNI dalam menghadapi ancaman melalui Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP), dilaksanakan melalui tahapan penangkalan, penindakan dan pemulihan.
TNI memilih penindakan defensif aktif dengan menggunakan pola pertahanan berlapis. Adapun tindakan yang dilakukan adalah menghancurkan musuh di pangkalannya, dalam perjalanan dan setelah masuk wilayah NKRI. Selanjutnya apabila musuh berhasil merebut dan menguasai wilayah NKRI, maka dilaksanakan perang berlarut dengan taktik gerilya.
Keberadaan alutsista TNI AL yang memadai sesuai iptek relevan dengan strategi penindakan terhadap aksi lawan dalam perjalanan menuju maupun bila telah masuk wilayah NKRI. Hal tersebut dituangkan dalam Sistem Pertahanan Laut Nusantara (SPLN). Dengan mengacu rumusan strategi penangkalan dan pertahanan berlapis, TNI AL menetapkan pengendalian laut nusantara yang mawas ke luar dan mawas ke dalam.
Pengendalian laut diarahkan untuk menjamin penggunaan laut bagi kekuatan sendiri dan mencegah penggunaan laut oleh lawan. Pengendalian laut juga untuk memutus garis perhubungan laut lawan, serta mencegah dan meniadakan berbagai ancaman aspek laut dari dalam negeri.
Hal tersebut dilaksanakan melalui gelar kekuatan dalam bentuk operasi laut sehari-hari dan operasi siaga tempur laut. Maka kebutuhan adanya alutsista TNI AL yang kuat, andal, modern agar memiliki efek penggentar, bukanlah ambisius, tetapi kebutuhan nyata.