Oleh : Pudji Widodo
Topi kelasi baru
Tepat pada usia TNI AL yang ke 76 pada 10 September 2021, terdapat perubahan signifikan tentang ketentuan penggunaan tutup kepala seragam pakaian dinas upacara Tamtama TNI AL. Tutup kepala personel tamtama pelaut yang biasa disebut topi kelasi atau dop, berubah model lebih kaku, tidak mudah berubah bentuk dan lebih rapi. Bentuk dop ini mirip topi kelasi Angkatan Laut (AL) negara persemakmuran dan negara bekas blok timur.
Penggunaan tutup kepala baru bagi tamtama TNI AL ini diharapkan menumbuhkan kebanggaan bagi segenap prajurit tamtama, juga menegaskan kesetaraan mereka dengan pelaut-pelaut dunia. Pet tamtama TNI AL memiliki ciri khas prajurit matra laut secara universal dipakai Angkatan Laut seluruh negara. Topi kelasi baru ini merupakan kelengkapan seragam Pakaian Dinas Upacara (PDU) I dan digunakan dalam kegiatan hari besar negara, TNI maupun TNI AL (tnial.mil.id, 11/9/2021).
Model dop AL Inggris jauh lebih banyak dipakai di berbagai negara dibanding model dop AL AS. Sebagai contoh negara tetangga pengguna dop gaya Inggris adalah Australia dan Thailand. Sedang Singapura memilih baret hitam sebagai seragam tutup kepala personel AL di semua satuan dan strata pangkat.
Demikian pula AL Jepang dan Tiongkok serta Korea Selatan pun memilih dop gaya AL Inggris. Bagaimana dengan Jerman dan Perancis sebagai sesama negara NATO ? Ternyata AL Jerman dan Perancis pun tidak menggunakan dop model AL AS, bahkan mirip dop AL Rusia.
Penampilan personel jajar kehormatan yang sedang mempersiapkan seremoni saat kapal Perancis sandar di pelabuhan Tanjung Priok, langsung menarik perhatian saya. Personel Honor Guard ini menyandang senapan otomatis, mengenakan topi kelasi yang di bagian puncaknya ada aksesoris bola kecil berwarna merah. Saat itu tercetus di benak saya andai topi kelasi tamtama TNI AL bagus seperti dop tamtama kapal perang Perancis itu.
Mengapa saya berpikir demikian? Karena saya menangkap kesan personel tamtama TNI AL tidak nyaman mengenakan topi kelasinya. Secara psikologis mungkin tamtama pelaut merasa dirisak dengan dengan gurauan sebutan “topi popeye.”
Tamtama pelaut anak buah kapal merasa inferior dibanding personel pasukan katak, marinir dan penyelam TNI AL. Padahal syarat aspek kesehatan bertugas di Kapal Atas Air, sama dengan persyaratan kesehatan bertugas di satuan tempur TNI lainnya, yaitu minimal berstatus kesehatan kemampuan tempur level II.
Barangkali karena itulah, maka Laksamana Tanto Kuswanto, Kasal periode 1993 – 1996 menetapkan ketentuan untuk tutup kepala pakaian dinas harian berupa peci mut yang semula berlaku untuk Perwira dan Bintara, diberlakukan pula bagi Tamtama TNI AL.
Pengganti Tanto Kuswanto, Laksamana Arif Kushariadi bahkan menetapkan penggunaan baret biru gelap khusus untuk personel kapal Atas Air dan Penerbangan TNI AL. Selanjutnya pada jaman Kasal Laksamana Slamet Subiyanto, prajurit pasukan khusus Kopaska yang semula berbaret sama dengan personel Kapal Atas Air, diubah menjadi berbaret merah.
Ketika TNI AL menetapkan emblem/lambang baret untuk membedakan identitas personel satuan administrasi dan satuan operasional, maka personel yang bertugas mengawaki kapal perang pun semakin eksklusif sebagai prajurit matra laut pilihan.
Tak terbayangkan bagaimana suasana psikologis personel kapal perang bila masih mengenakan peci mut dan topi kelasi sebagai kelengkapan pakaian dinas harian, sementara ada personel satuan kewilayahan TNI yang bersifat penugasan administratif mengenakan baret. Bahkan PNS Kemhan, personel komponen cadangan, dan personel pengamanan berbagai instansi pemerintah pun mengenakan baret.
Filosofi senjata yang diawaki
Pemimpin TNI AL berharap penggunaan topi kelasi baru mendorong bangkitnya kebanggaan terhadap satuan. Bangga menjadi warga satuan yang memiliki nama besar, yang dibangun dari prestasi para pendahulu yang harus dipertahankan. Kebanggaan yang dilandasi kesadaran adanya amanat dan tanggungjawab untuk menunjukkan jati diri prajurit profesional dalam melaksanakan tugas yang dibebankan negara.
Namun potensi internal dalam diri prajurit secara matematis barulah seperempat persoalan pembentukan prajurit profesional. Persoalan besar lainnya justru merupakan faktor eksternal, yaitu negara memberi pelatihan, menyediakan senjata dan alutsista yang memadai serta menjamin kesejahteraan prajurit. Hal tersebut sesuai definisi prajurit profesional dalam pasal 2.d UU Nomor 2 tahun 2004 tentang TNI dan doktrin TNI Tri Darma Eka Karma (Tridek).
Prajurit profesional dan alutsista yang disiapkan negara sangat relevan bagi Angkatan laut sebagai kecabangan militer yang berciri “heavy technology.” Oleh karena itu filosofi yang dianut Angkatan Laut, juga Angkatan Udara adalah “senjata yang diawaki”, bukan semata-mata bertumpu kepada jumlah "personel yang dipersenjatai." Tentu saja alutsista yang diadakan mengikuti kaidah perkembangan iptek dan sesuai kondisi negara maritim.
Doktrin Tridek jelas mencantumkan kebijakan dan strategi TNI dalam menghadapi ancaman melalui Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP), dilaksanakan melalui tahapan penangkalan, penindakan dan pemulihan.
TNI memilih penindakan defensif aktif dengan menggunakan pola pertahanan berlapis. Adapun tindakan yang dilakukan adalah menghancurkan musuh di pangkalannya, dalam perjalanan dan setelah masuk wilayah NKRI. Selanjutnya apabila musuh berhasil merebut dan menguasai wilayah NKRI, maka dilaksanakan perang berlarut dengan taktik gerilya.
Keberadaan alutsista TNI AL yang memadai sesuai iptek relevan dengan strategi penindakan terhadap aksi lawan dalam perjalanan menuju maupun bila telah masuk wilayah NKRI. Hal tersebut dituangkan dalam Sistem Pertahanan Laut Nusantara (SPLN). Dengan mengacu rumusan strategi penangkalan dan pertahanan berlapis, TNI AL menetapkan pengendalian laut nusantara yang mawas ke luar dan mawas ke dalam.
Pengendalian laut diarahkan untuk menjamin penggunaan laut bagi kekuatan sendiri dan mencegah penggunaan laut oleh lawan. Pengendalian laut juga untuk memutus garis perhubungan laut lawan, serta mencegah dan meniadakan berbagai ancaman aspek laut dari dalam negeri.
Hal tersebut dilaksanakan melalui gelar kekuatan dalam bentuk operasi laut sehari-hari dan operasi siaga tempur laut. Maka kebutuhan adanya alutsista TNI AL yang kuat, andal, modern agar memiliki efek penggentar, bukanlah ambisius, tetapi kebutuhan nyata.
Sambil terus membangun sishankamrata untuk memfasilitasi setiap warga negara yang berhak dan wajib berperan dalam bela negara, maka seyogyanya kita merenungkan kembali apakah sistem pertahanan yang kita pilih, telah menempatkan pertahanan laut nusantara secara proporsional dan sebagai prioritas. Bila kita bisa menumpas kekuatan lawan dalam perjalanan masuk ke wilayah NKRI, tentu merupakan hal yang lebih baik agar kita tidak mengalami perang berlarut. Tidak berlebihan bila tugas dan peran itu dibebankan kepada oleh Angkatan Laut. .
Penutup
Apa yang saya bayangkan 22 tahun yang lalu di geladak kapal perang Perancis telah terwujud. Pemasangan topi kelasi oleh Kasal Laksamana Yudo Margono kepada perwakilan tamtama TNI AL menandai peresmian Topi/Pet Kelasi baru berwarna putih ini. Sebuah seremoni sederhana, namun penuh makna.
Sejatinya semua bagian dari seragam pakaian dinas prajurit TNI ditentukan bukan sekedar sebagai alat pembeda dengan entitas lain. Pakaian dinas dan semua dekorasinya termasuk TOPI KELASI baru, adalah alat pengendali dan pendorong motivasi kejiwaan menjaga nilai-nilai luhur sebagai kode kehormatan prajurit. Kehormatan prajurit muncul dan diekspresikan dalam pikiran, ide, perkataan, perbuatan dan perilaku sebagai prajurit profesional, termasuk juga dalam interaksi sosial di tengah masyarakat.
Mengubah topi kelasi prajurit Tamtama TNI AL sesuai seragam yang berlaku universal, agar setara dengan prajurit Angkatan Laut seluruh dunia adalah tataran simbol. Realitanya NKRI sebagai negara maritim ditakdirkan lahir di antara dua benua dan dua samudera yang penuh dinamika dalam konstelasi kawasan regional dan global. Suatu kondisi yang menuntut Indonesia mengambil peran aktif di tengah kompetisi adidaya yang di antaranya diwarnai perlombaan senjata.
Di balik harapan terwujudnya sosok prajurit profesional, seyogyanya kita mengingat apa yang diungkapkan Urip Sumoharjo sebelum TKR lahir, “Aneh, negara zonder (tanpa) tentara.” Dalam perkembangan lingkungan strategis kekinian dan takdir posisi Indonesia, maka “aneh, negara poros maritim dunia zonder Angkatan Laut yang kuat.” (pw).
Pudji Widodo,
Sidoarjo, 19112012 (88).
Sumber foto : 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H