Mohon tunggu...
Pudji Widodo
Pudji Widodo Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Kesehatan Militer.

Satya Dharma Wira, Ada bila berarti, FK UNDIP.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Ingin Kota Kita Aman, Mulailah dari Mengamankan Sampah

30 September 2021   04:47 Diperbarui: 4 Oktober 2021   18:45 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi warga memilah sampah berdasarkan jenis | Sumber:  Shutterstock via Kompas.com

Sampah, ketat di regulasi-lemah dieksekusi

Copenhagen terpilih sebagai kota teraman 2021 menurut The Economist Intelligence Unit (EIU) dengan skor 82,4 pada skala 0 sampai 100. (www.cnnindonesia.com, 10/9/2021). Kriteria kota aman ternyata bukan hanya menyangkut masalah kriminalitas saja.  

Terdapat 76 indikator dalam 5 kategori besar keamanan dalam penelitian EIU yaitu digital, kesehatan, infrastruktur, pribadi dan lingkungan. Bagaimana dengan Jakarta ? Menurut EIU, Jakarta pada posisi ke 46, masih kalah dari ibu kota Vietnam, Ho Chi Minh.  

Mari kita terima penilaian EIU dengan lapang dada dan dan saya ingin mengajak pembaca dan sahabat Kompasianer mengulik rasa aman dari sisi lingkungan saja, khususnya sampah. Saya sengaja memilih persoalan sampah dari berbagai persoalan lingkungan yang menjadi beban Indonesia. 

Pada tahun 2019 Indonesia memproduksi sampah 175.000 ton per hari atau 64 juta ton per tahun <1>. Indonesia dalam status darurat sampah. 

Segunung persoalan sampah dari pencemaran tanah, air, udara, estetika kawasan, banjir, penyakit, sampai pemanasan global dengan segala akibatnya, merupakan lingkaran setan yang harus diputus dengan langkah serius. 

Presiden Joko Widodo sampai menggelar rapat terbatas membahas soal pengolahan sampah pada 23 Juni 2015. Kepada awak media Menteri Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya menyatakan Indonesia sudah darurat sampah sehingga Presiden menganggap penting pengelolaan sampah secara nasional (www.viva.co.id, 23/6/2015). 

Itulah saat pemerintah untuk pertama kali resmi menyatakan Indonesia dalam keadaan darurat sampah.

Lima bulan sebelum pemerintah mengakui Indonesia darurat sampah, Jenna R. Jambeck dkk dalam risetnya (www.sciencemag, 12/2/2015) menyebutkan  Indonesia adalah negara kedua penyumbang sampah plastik ke laut setelah Tiongkok, disusul Filipina, Vietnam dan Sri Lanka (tekno.tempo.co, 27/1/2016). 

Delapan tahun sebelum itu, secara formal Indonesia membuktikan serius mengurus sampah dengan terbitnya UU Nomor Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS). Lalu berturut-turut lahir berbagai regulasi yang menjadi turunan dari UUPS.

Adapun berbagai regulasi tentang pengelolaan sampah adalah :  

  1. Permendagri No. 33 tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah,
  2. Peraturan Pemerintah (PP) No.81 tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga,
  3. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 13 tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse dan Recycle melalui Bank Sampah,
  4. Perpres No. 97 tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga
  5. Perpres No. 35 tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan,
  6. Perpres No. 83 tahun 2018 tentang Penanganan Sampah di Laut.

Taman Harmoni sebagai tempat wisata di Surabaya | Sumber: Humas Pemkot Surabaya
Taman Harmoni sebagai tempat wisata di Surabaya | Sumber: Humas Pemkot Surabaya

Namun dengan terbitnya regulasi sebagai bukti kita serius mengelola sampah, bukan berarti persoalan sampah di seluruh negeri langsung terurus bersih tuntas. 

Tidak berlebihan rasanya bila mengatakan bahwa persoalan sampah, ternyata hanya ketat di regulasi tetapi lemah dieksekusi. 

Sebagai contoh, pasal 44 UUPS mengamanatkan bahwa Pemerintah daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka, paling lama 5 (lima) tahun atau tahun 2013 terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini. 

Namun sampai tahun 2020 dari 355 kota/kabupaten di Indonesia, 161 daerah di antaranya (45%) masih menerapkan sistem open dumping dan baru 55% yang telah menerapkan sistem controlled landfill (Rohman, 2020)<2>.

Kabupaten Sidoarjo di mana penulis tinggal baru pada akhir tahun 2020 memiliki Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) dengan teknologi Sanitary Landfill. 

Sebelumnya pada lokasi TPAS yang lama, metoda pengolahan sampah yang dipakai adalah controlled landfill. Meskipun merupakan perbaikan dari pembuangan sampah secara terbuka, namun metoda controlled landfill ternyata masih berdampak meningkatkan pemanasan global akibat gas metan dan karbondioksida.    

Dari rumah kompos sampai membangun pembangkit listrik tenaga sampah

Selanjutnya Perpres No. 35 tahun 2018 telah menunjuk Jakarta, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Palembang dan Manado untuk membangun Instalasi pengolah sampah menjadi energi listrik berbasis teknologi ramah lingkungan. 

Namun baru Surabaya kota yang pertama berhasil membangun Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL)/Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). PLTSa yang berada di kawasan Benowo ini diresmikan Presiden Joko Widodo pada 5 Mei 2021.

Sejak tahun 2005 Surabaya dengan beban 1.400 ton/hari sampah, telah mengelola sampah secara sistematis yang melibatkan seluruh warga kota. 

Sampai tahun 2019, Surabaya memiliki 5 Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) dan mempunyai 28 rumah kompos yang dapat menyerap 10 - 20% dari sampah yang masuk TPA. 

Surabaya juga memiliki 296 unit Bank Sampah yang tersebar di berbagai wilayah. Surabaya juga memiliki Pusat Daur Ulang (PDU) Jambangan dengan kapasitas maksimum 20 ton per hari. 

Di lokasi PDU  juga diterapkan teknologi Black Soldier Fly untuk mengurai sampah organik. TPST Jambangan dan TPST Wonorejo menghasilkan energi listrik 4 kilowatt yang dapat dimanfaatkan warga sekitar (kominfo.jatimprov.go.id, 9/10/2019).

Pemkot Surabaya sejak tahun telah menutup TPA dengan insineratornya di Keputih. Kini TPA Keputih seluas 60 hektar telah berubah menjadi hutan bambu dan  taman bunga Harmoni. 

Adapun jumlah total taman di Surabaya adalah 536 lokasi, sehingga ruang terbuka hijau untuk Surabaya mencapai 21% dari 30% yang ditentukan. 

Sebagai pengganti TPA Keputih, Pemkot Surabaya membangun TPA Benowo dan di lokasi baru inilah lalu dibangun PLTSa. Dari PLTSa Benowo inilah dihasilkan 11 Megawatt energi listrik, di mana 2 Megawatt dari landfill power plant dan 9 Megawatt dari gasification power plant (www.cnnindonesia.com, 9/5/2921).

Sebagai negara kepulauan, tentu saja tidak semua daerah bisa menyiapkan lokasi TPA yang luas seperti Surabaya dan kota-kota di pulau-pulau besar. 

Untuk itu, kompasioner Handy Chandra telah menulis hasil penelitiannya melalui artikel "Kapal Insenerator, Alternatif Solusi Penanganan Sampah di Kepulauan" <3>. 

Kompasioner Handy Chandra menyampaikan bahwa konsep yang diajukan tim risetnya, merupakan tindak lanjut penanganan sampah di laut secara regional dengan menggunakan kapal sebagai pengangkut, pengumpul dan juga proses insenerasinya.

Terlepas dari teknologi pengolahan sampah yang dipilih apakah untuk wilayah dominan daratan sehingga leluasa memilih lokasi TPA atau tipe wilayah kepulauan yang terbatas lahannya, diperlukan konsistensi pemimpin daerah mengelola sampah di wilayahnya. 

Memang warga Surabaya beruntung pernah dipimpin Tri Rismaharini, kepiawaian walikota dua periode ini tidak terlepas dari pengalamannya di jenjang birokrasi yang berhubungan dengan tata ruang, pembangunan kota, kebersihan dan pertamanan kota sampai Wakil Walikota Surabaya. 

Setidaknya hampir 15 tahun Risma ikut mewarnai lahirnya kebijakan Pemkot Surabaya yang berkesinambungan dan terus menerus mendorong peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah. 

Aman dari sampah dan upaya mengamankan sampah

Meningkatnya jumlah dan kepadatan penduduk akan meningkatkan jumlah timbunan sampah.  Dihadapkan kepada lahan yang luasnya relatif tetap, maka hal ini akan diikuti dengan akumulasi dan peningkatan ancaman  dampak sampah bagi kelestarian lingkungan serta keselamatan masyarakat. 

Dari pendekatan bahaya inilah kita memahami pentingnya lingkungan yang aman dari sampah, termasuk dampak teknologi yang ditimbulkan dari pengelolaan sampah.  

Apapun teknologi yang dipilih sesuai dengan karakteristik wilayah, tentu saja mensyaratkan residu pembuangan sampah harus memenuhi baku mutu lingkungan terhadap tanah, air dan udara agar aman bagi masyarakat. 

Sebagai contoh proses pengolahan sampah dengan insinerator selain menghasilkan uap panas yang dimanfaatkan untuk pembangkit energi listrik, juga menghasilkan output yang didominasi partikel dan gas beracun HCL, SO2, NOx, HF, Cd dan Dioxin. 

Untuk itu kandungan flue gas berupa partikel dan gas beracun sebelum dibuang ke lingkungan harus melalui mekanisme kontrol polusi udara (Air Pollution Control/APC) (Prasetyadi dkk, 2018 : 85)<4>.

Sebaliknya pendekatan dari sisi manfaat mendorong tindakan nyata untuk mengamankan sampah. Pengalaman Surabaya dalam hal ini dapat menjadi pembanding, di mana sebagian besar sampah diubah menjadi energi listrik. 

Bank sampah dan pusat daur ulang menjadi instrumen yang mendorong masyarakat memperlakukan sampah sebagai aset produksi. Ratusan taman yang dibangun Pemkot dapat menyerap pupuk ramah lingkungan yang dihasilkan oleh rumah kompos. 

Ratusan taman ini dan berbagai upaya terpadu mereduksi sampah sampai zero waste akan mengurangi dampak pemanasan global.     

Meskipun bermanfaat, pembangunan PSEL bukan tanpa kritik karena PSEL membutuhkan sampah besar dan terus menerus, serta mendorong kembali masyarakat berhenti mengelola sampah dari sumbernya, termasuk rumah tangga karena semua sampah akan dibawa ke TPA. 

Kekhawatiran tersebut tidak perlu menjadi alasan bila keberadaan rumah kompos, bank sampah, pusat daur ulang dan konversi menjadi energi listrik skala kecil di TPST yang melibatkan masyarakat,  dimanfaatkan dengan optimal oleh pemda. 

Artinya dalam pengelolaan sampah peran komponen masyarakat tetap merupakan prasyarat penting dalam mereduksi sampah sampai tingkat TPA.

Perlu kesadaran setiap warga masyarakat  agar ikut berperan melakukan manajemen pengelolaan sampah. Institusi pemda dengan segala perangkatnya melakukan tindakan pengelolaan skala besar dari TPS sampai TPA dan tegas menegakkan peraturan. 

Namun langkah besar itu menuju TPS dimulai dari peran warga sejak dari rumah masing-masing dengan memilah sampah dan meletakkannya secara sistematis sesuai prinsip reduce-reuse-recycle.

Tinggalkan prinsip buang sampah di tempatnya, tetapi letakkan sampah sesuai tempat pemilahan dan manfaat, karena tidak ada sampah yang tidak berguna. 

Sampah non-organik yang terpilah memudahkan pemulung mengambil sehingga tempat sampah di depan rumah segera bersih atau dibawa ke bank sampah dan pusat daur ulang. 

Sampah organik dari dapur rumah bisa diolah menjadi kompos, atau ecoenzyme. Limbah dapur segar dapat  dimanfaatkan menjadi produk komersial seperti manisan basah, manisan kering dan sirup. 

Maka menjadi tantangan bagi kita mewujudkan pemilahan sampah menjadi budaya kebersihan sebagai kebutuhan, bukan semata taat kepada sanksi dan peraturan.

Wasana Kata

Pelaksanaan regulasi sampah memang berjalan lambat,
Tak perlu menunggu, tetap ada yang bisa kita perbuat.

Tidak setiap daerah mampu,
Membangun pusat pengolah sampah terpadu.
Tak perlu kita marah dan mengumpat,
Lakukan daur ulang agar sampah membawa manfaat.

Amankan sampah sebelum menjadi masalah,
Amankan sampah sebelum membawa musibah.
Cegah sampah mencemari air, udara dan tanah
Amankan sampah, sebelum tertimbun membukit membawa penyakit.

Ada yang menggantungkan hidup dari sampah,
Bagi pemulung sampah membawa berkah.
Pilah sampah sejak dari dapur rumah.
Sebagian sampah bisa menjadi sarana sedekah.

Seyogyanya bijak kita bersikap terhadap sampah,
Wajiblah berupaya agar aman dari bahaya polutan sampah,
Bila kita merindukan kota kita aman,
Amankan sampah demi lingkungan dan hidup yang lestari serta nyaman.
Kelak kepada generasi berikutnya bumi hijau dan langit biru kita wariskan (pw).

Pudji Widodo,
Sidoarjo, 29092021 (84).


Referensi : 
 1, 2, 3,  dan

4. Prasetiyadi dkk. Teknologi Penanganan Emisi Gas Dari Insinerator Sampah Kota. JRL Vol. 11 No. 2, BPPT, Jakarta 2018 (85-93)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun