f. Gerakan budaya
Dari 6 kelompok fiktif yang kita amati hanya satu yaitu kesultanan Selaco yang mendeklarasikan sebagai bentuk gerakan budaya meskipun nama jabatan yang dipergunakan menunjukkan hirakhi kekuasaan dan penanggungjawab kewilayahan. Apakah ini hanya kamuflase untuk menyembunyikan motivasi yang lain, rasanya tetap memerlukan perhatian serius dari aparat pemerintah baik kesbangpol pemkab maupun aparat keamanan. Â Tercatat beberapa tahun lalu di lokasi kesultanan Selaco pernah terpasang spanduk tentang Daerah Istimewa Provinsi Priangan.
Wasana kata
Penulis tidak ingin mengajak pembaca menguak motif di balik fenomena munculnya kerajaan-kerajaan baru. Pemerhati multi media Roy Surya berpendapat mereka hanyalah wayang, nah tentu ada dalangnya serta mungkin sebagai pengalih atas isu nasional yang lebih besar.
Penulis hanya mengungkapkan hal-hal superfisial yang jelas tampak di permukaan, sering terulang dan menimbulkan kerugian bagi sebagian masyarakat yang salah meletakkan harapan. Â Namun selain ada yang dirugikan, ada pula yang mendapat keuntungan dari kemunculan kerajaan-kerajaan baru. Yaitu para penjahit, pengrajin bordir, penjual baret dan perlengkapan TNI.
FA sang Ratu KAS, bertugas mendisain kostum pakaian dan memesan kepada penjahit di Bantul Yogyakarta sejumlah 300-an set seragam KAS dengan harga Rp 600.000 hingga Rp 900.000 (regional.kompas.com 29/01/2020). Yang gembira bukan hanya penjahit, demikian juga penjual perlengkapan perorangan TNI tentu sangat happy menerima pesanan untuk menyediakan sepatu dan tutup kepala baik pet maupun baret, juga tanda kehormatan.
Pengrajin bordir, bendera kerajaan dan lencana pun tentu berharap kesinambungan pesanan, tidak penting bahwa itu akan digunakan punggawa kerajaan dan tentara abal-abal. Kita memaklumi pendapat pelaku ekonomi skala kecil ini, yang penting kita tidak ikut menjadi partisipan dan tidak tergiur  Fenomena Kerajaan Fiktif, karena modus ini berpotensi terulang lagi di kemudian hari.
Pudji Widodo
Sidoarjo, 05022020.
Sumber :
Satu. 27 Januari 2014 diunduh 31 Januari 2020
Dua. Â 28 Oktober 2018, Â diunduh 19 Januari 2020.
Tiga. Â 24 Januari 2020 diunduh 4 Februari 2020.
Empat. 30 Januari 2020 diunduh 5 Februari 2020.
Lima. Â 3 Februari 2020 diunduh 5 Februari 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H