Mengawali kajiannya tentang persaingan dan kerjasama elit Jatim dalam revolusi nasional, Ari Sapto mengeksplorasi Jatim dan panggung para elitnya menjadi dua bagaian besar yaitu 1) kondisi masyarakat dan 2) Ideologi dan perkembangan politik. Pada bagian ini terdapat catatan penting tentang adanya lapisan sosial dan munculnya elite baru.Â
Revolusi nasional melahirkan elite populer yang mendapat dukungan massa, Â mampu menghimpun kekuatan dan persenjataan yang berafiliasi dengan kelompok sipil maupun militer. Mereka berasal dari pesantren, pedagang, tentara dan mereka yang berpendidikan yang menjadi pijakan untuk mobilisasi sosial.
Para priyayi baru ini mengekspresikan diri dalam satuan tentara maupun pemerintahan. Dalam masa transformasi politk, para priyayi baru ini menjadi penyalur identitas baru dan penyambung kebijakan politik pemerintah pusat kepada rakyat. Ari Sapto juga melakukan pemetaan ideologi yang di anut para elit di Jatim, baik  Islam, komunisme dan nasionalis.Â
Di Jawa Timur Ari Sapto menemukan terdapat tujuh kelompok elit yang pada pasca-kemerdekaan dalam situasi tanpa kepemimpinan nasional, memiliki berbagai penafsiran dalam memutuskan bentuk negara.
Berdasar ideologi, kepentingannya dan budaya yang mempengaruhi cara pandang terhadap revolusi, mereka dibedakan menjadi kelompok militer, sipil KPPD, komunis nasional, kelompok militer politik, elite NM, elit NJT dan elit sipil bersenjata.
a. Elite militer memiliki latar belakang nasionalis dan Islam namun toleran dan menerima budaya lokal dengan salah satu tokohnya adalah Kolonel Sungkono.
b. Elit sipil KPPD dengan identitas Islam-nasionalis – budaya lokal adalah sebagian besar pegawai pemerintah RI yang diwakili Dul Arnowo, Bung Tomo dan Ruslan Abdul Gani.
c. Kelompok ketiga dengan ciri marxisme dan nasionalisme radikal adalah Komunis Nasional, di mana tidak bisa dilepaskan figur Tan Malaka.
d. Elite militer politik dengan contoh Batalyon Sabarudin yang markasnya diserang TNI karena dianggap telah berpolitik. Sabaruddin merupakan pengikut ajaran politik Tan malaka. .
e. Kelompok elit NM bekerjasama dengan Belanda dan mendapat kedudukan terhormat.
f. Elite NJT terdiri dari orang-orang yang mau bekerjasama dengan Belanda, sejak Belanda berhasil kembali berkuasa di Jatim.
g. Kelompok sipil bersenjata yang diwakili oleh Bung Tomo.
Â
Pemerintahan Militer di Jawa Timur
Pada Bab IV bukunya, Ati Sapto membahas tentang kerja sama dan persaingan di antara kelompok elit politik. Mempertimbangkan bahwa Belanda akan kembali melakukan agresi, MBKD mengeluarkan Perintah Siasat nomor 1 tangal 9 November 1948 yang isinya mengganti pertahanan linier dengan wehrkreise atau lingkungan pertahanan yang kenyal.Â
Sejarah mencatat dalam situasi yang memerlukan soliditas, tampak adanya friksi antara MBKD dengan Komando Pertempuran Djawa Timur (KPDT). Bahkan sejak 25 Oktober 1948 3 Divisi di Jatim diciutkan menjadi Divisi Brawijaya, sesuatu yang sulit diterima dalam situasi menghadapi kemungkinan serangan Belanda.
Pada tanggal 25 Desember 1948, MBKD menerbitkan instruksi No I/MBKD/1948 tentang Instruksi Bekerja Pemerintahan Militer Jawa. Instruksi memberikan rincian tugas, cara kerja dan hal-hal lain dalam menyelenggarakan Pemerintahan Militer.Â
Didalamnya dinyatakan bahwa semua instansi sipil dimilterkan, jadi birokrasi sipil di bawah kendali militer. Panglima Militer bertindak sebagai Gubernur Militer dan Gubernur sipil adalah Kepala Staf urusan pemerintahan sipil, mekanisme ini berlaku smpai tingkat kecamatan.
Selain persiapan yang dilakukan militer, demikian pula pimpinan sipil pun mempersiapkan Bukittinggi sebagai kedudukan pemerintahan darurat. Sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan, Hatta percaya adanya dukungan internasional sehingga memilih strategi diplomasi. Â