Mohon tunggu...
Pudji Widodo
Pudji Widodo Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Kesehatan Militer.

Satya Dharma Wira, Ada bila berarti, FK UNDIP.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Memori di Kota Dili, Menyembuhkan Luka dan Merajut Damai

17 Juli 2018   16:45 Diperbarui: 17 Juli 2018   20:05 2813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca arsip Kompas 16 Juli 1976 tentang Penyatuan Timor Timur (Harian Kompas 16 Juli 2018, hal. 11), membuat rekaman kenangan saya tentang negeri Timor Leste seperti di putar ulang kembali.  Saya pernah bertugas di Provinsi Timor Timur pada tahun 1995 sampai 1999. 

Yang terlintas di benak saya pertama adalah saat Kapal KM. Dobonsolo  milik PT Pelni yang akan membawa saya kembali ke Surabaya bergerak menjauhi dermaga Pelabuhan Dili pada April 1999.

Saat itu saya terkenang beberapa peristiwa yang saya alami, saya ketahui dan saya dengar diantaranya sebagai berikut :

a.  Beberapa minggu terakhir saya melihat patroli Brimob dan Satgas Batalyon Teritorial (BTT) yang tengah malam melintas di jalan raya di depan kantor saya, makin intensif karena makin seringnya toko dibongkar pencuri dan Dili semakin tidak aman.

Sebelum itu, pada bulan oktober 1998, saya membeli raket tennis dari toko alat olahraga dekat kantor saya. Pemiliknya Chinese menjual obral dagangannya karena akan segera pindah ke Australia.

Rupanya, naluri bisnisnya sudah mengatakan realita ekskalasi politik condong merugikan Indonesia, jadi dia memilih pergi dulu sebelum chaos.

b. Saya juga mendengar rumor bahwa para pengusaha angkutan pada awal pertengahan tahun 1998 sudah menggeser asetnya ke Kupang.

c. Saya juga memiliki kenangan saat melaksanakan kegiatan bakti sosial ke Pulau Atauro pada akhir 1998. Material baksos yang diangkut kapal TNI AL KRI Kupang -  582 di antaranya adalah ratusan tas sekolah berwarna kuning berisi perangkat alat sekolah sumbangan GNOTA (Gerakan Nasional Orang Tua Asuh) untuk para murid sekolah di Pulau Atauro alias Pulau Kambing.

Mungkinkah ratusan tas sekolah ini mampu memenangkan hati rakyat untuk tetap memilih integrasi dengan Indonesia, sedangkan pembangunan jalan raya antar kota kabupaten di Timor Timur yang kondisinya lebih mulus dibandingkan jalan raya di NTT saja belum mampu mengakhiri perjuangan bersenjata Falintil? Bahkan mereka menggeser pola operasi gerilya di hutan ke perjuangan di Forum Internasional.

d. Saya juga masih ingat nasehat seorang teman ketika saya mulai tinggal di Dili tentang upaya mengantisipasi adanya kegiatan demo antiintegrasi.

Katanya, bila pedagang makanan kaki lima, yaitu bakso, soto lamongan di pinggir pantai tidak berjualan, kemungkinan besar hari itu akan ada aksi demo di kota Dili. Dari mana ya para PKL itu dapat informasi tentang aksi demonstran? Entahlah, tapi sepanjang pengamatan saya selama di sana lebih banyak cocoknya.

Membaca arsip Kompas juga mengingatkan saya pada akhir Agustus 1999, lima bulan setelah saya meninggalkan pelabuhan Dili. Saat itu saya sedang melihat stasiun TV yang memberitakan detik-detik terakhir bendera merah putih berkibar di Bumi Lorosae.

Ada perasaan tidak nyaman, sedih, mungkin juga kecewa meskipun tidak seekspresif kekecewaan para veteran yang tinggal di perumahan veteran di Jakarta yang beramai-ramai membakar piagam penghargaan dan satyalencana seroja miliknya.

Membaca arsip Kompas 16 Juli 1976 juga sekaligus mengingatkan saat ayah saya sebagai anggota TNI sejak Desember 1975 mendapat tugas membantu mewujudkan keinginan sebagian rakyat Timor Timur yang ingin bergabung dengan Republik Indonesia. Setahun kemudian ayah saya pulang dengan selamat dan bangga bisa melaksanakan tugas negara. 

Sebaliknya 22 tahun kemudian saya pulang dari Timor Timur dengan gamang: Apakah Bumi Timor Lorosae akan tetap dalam pangkuan Ibu Pertiwi Indonesia?

Pada akhirnya referendum menunjukkan hasil pemilih opsi merdeka yang memenangkan pemungutan suara.

Pada Januari sampai awal Pebruari 2016 saya mendapat kesempatan mengunjungi Dili. Seorang Ibu yang bersama rombongan saya mendapat kesempatan izin berziarah ke makam almarhum suaminya-seorang anggota TNI AL yang gugur dalam tugas dan dimakamkan di TMP di kota Baucau.

Di akhir kunjungan kami, panitia penyelenggara mengadakan farewel party, dan di antara undangan yang hadir ada perwira dengan jabatan Komandan Satuan Carabineri Polisi Timor Leste (semacam Brimob) berpangkat setara AKBP Polri.

Saat kami berjabatan tangan, Perwira Polisi Timor Leste ini mengingatkan kepada saya bahwa kami pernah bersama dalam satu kegiatan bakti sosial di Pulau Atauro dan bersama on board di KRI Kupang 582.

Waktu itu, dia Bintara Polri putra daerah yang berdinas di Polda Timor Timor dengan profesi perawat. Saya mengucapkan terima kasih kepadanya karena masih mengingat saya, juga minta maaf karena saya sudah lupa kepadanya.

Dari dokumentasi foto kegiatan di Timor Leste pada Pebruari 2016 saya tertarik mengamati foto situasi pelabuhan Dili yang saya ambil gambarnya dari geladak F kapal TNI AL KRI dr. Soeharso 990.

Tampak gambar gedung terminal penumpang umum, yang warna cat dindingnya kuning kusam masih sama seperti foto Tahun 1999, bedanya atap gedung yang menjulang mengambil model rumah tradisional Timor tampak sudah ditambal plastik di beberapa tempat karena berlubang. 

Saya tidak bermaksud menyimpulkan gambar gedung tersebut mewakili situasi perekonomian Timor Leste setelah 17 tahun berpisah dari NKRI masih compang camping.

Namun yang pasti upaya pemerintah Timor Leste untuk mewujudkan kesejahteraan  bagi rakyatnya memang tak semudah membalik tangan. Sama seperti Infonesia yang belum selesai mewujudkan kemakmuran yang berkeadilan.

Sejarah mencatat bahwa memang pernah ada luka dalam kita hidup bertetangga dengan Timor Leste. Jabat tangan dan pelukan hangat antara saya dengan salah satu Perwira Polisi Timor Leste pada Januari 2016 adalah simbol upaya rekonsiliasi dan mewujudkan perdamaian antara Indonesia dan Timor Leste.

Sebentar lagi kita juga akan bertemu di ajang Asian Games, sebuah arena yang dapat menjadi  sarana membangun dan memelihara perdamaian dunia melalui diplomasi olahraga.

Semoga saudara-saudaraku di Timor Leste makin sejahtera.

Salam damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun