Menunggu hadirmu tidak pernah membosankan.
Telah panjang lorong waktu yang kami tempuh.
Kapan adalah tanya yang menggelisahkan,
Ingin menarik diri dari setiap pertemuan.
Akhirnya kabar pasti keberadaanmu datang,
Usia bundamu di rentang risiko kesehatan.
Cemas dan bahagia kami berbaur terbentang,
Kidung syukur dan doa kami menjadi panjatan.
Air ketuban menjadi penanda,
Pada penyertaan Tuhan kami bergantung kasih-Nya.
Berkah Tuhan tak pernah tertunda,
Diatur-Nya semua menurut waktu-Nya.
Tangis pertamamu membahagiakan ayah bunda,
Meski malam kini menjadi berbeda.
Kita biarkan lelah lelap tidur membalut bunda,
Ayah menjaga laparmu terpuaskan pada air susu bunda.
Pada gendongan ayah engkau bersendawa nyaman,
Agar air susu terserap tak tumpah.
Air susu bunda dipompa dan disimpan,
Makanan istimewa karunia Tuhan melimpah.
Tumbuh kembangmu menguatkan lelah payah,
Bahagia ayah menyuapimu air susu bunda.
Kadang demammu mengundang gelisah.
Takut kehilanganmu terbenam di dada.
Tumbuh besarmu adalah berkat Tuhan curahkan.
Meski purna kelahiranmu jujur mencemaskan.
Anak tunggal tak tergantikan,
Tak ingin ayah memanjakan.
Tugas ayah membuat kita sering berpisah,
Kebersamaan tersambung dalam sinyal kuota.
Sebagian masa kanakmu tanpa ayah,
Bahagia kau telah mengeja huruf menjadi kata.
Kecemasan purna kelahiran terlampaui penuh kesan.
Bergantian antara gemas, cemas dan doa puja.
Kata bunda di meja engkau meninggalkan pesan:
"Bunda jangan tinggal aku bekerja."
Pudji Widodo,
Sidoarjo, 12122024 (196/138).
Kecemasan purna kelahiran pada ayah = Postnatal Depression = Daddy Blues.
Sumber gambar:Â sumsel.tribunnews.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H