Di tengah tekanan perjanjian Renville yang merugikan angkatan perang dan ditambah beban adanya pemberontakan PKI Madiun pada September 1948, dilakukan penataan organisasi ALRI. Menteri Pertahanan menerbitkan Surat Keputusan Nomor A/565/48 tanggal 9 Oktober 1948 yang menetapkan Peraturan Pangkat Angkatan Laut, bahwa ALRI terdiri dari lima Korps Kecabangan yaitu Pelaut, Mesin, Administrasi, Komando dan Kesehatan.
Melalui ReRa, Kementerian Pertahanan mengakui hanya satu nama organisasi satuan tempur darat matra laut yaitu Korps Komando. Nama Corps Mariniers yang telah digunakan sejak 1945, berganti menjadi Korps Komando Angkatan Laut (KKO AL) sejak 9 Oktober 1945.
Tidak ada penjelasan mengapa dalam Surat keputusan Menteri Pertahanan Nomor A/565/48 tahun 1948, Kementerian Pertahanan memilih sebutan Korps Komando sebagai salah satu kecabangan dalam ALRI. Perubahan nama Corps Mariniers yang juga nama pasukan marinir Belanda menjadi KKO AL, dapat dibandingkan dengan penggantian nama polisi khusus Tokubetsu Keisatsu Tai bentukan Jepang menjadi Polisi Istimewa pada tahun 1946.Â
Tersirat adanya pembangkit semangat perjuangan, mengganti nama warisan kolonial dengan identitas tentara nasional dan menyandang status elit. Sebagai Identitas baru, KKO AL juga menjadi upaya menjaga soliditas dan langkah pragmatis menutup intervensi PKI saat itu melalui Divisi-II Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI).
Tumbuh kembang pasukan pendarat amfibi
Menindaklanjuti keputusan Menhan RI, Kasal menerbitkan instruksi nomor 65/KSAL/51 yang menyebutkan bahwa pembentukan Korps Komando akan terus disempurnakan. Sampai tahun 1965 KKO AL telah berkembang beserta seluruh kesenjataan, termasuk unsur bantuan tempur dan administrasi.
Berdasar pengalaman operasi amfibi, pada tahun 1961 KKO AL mulai membuka pendidikan Intai Para Amfibi untuk memenuhi kebutuhan operasi khusus. Sedang terhadap seluruh calon personel KKO diberlakukan Pendidikan Komando yang diselenggarakan oleh Sekolah Perang Khusus.
Konsep ALRI menumbuhkembangkan pasukan pendarat amfibi, pada zamannya mampu menjawab tugas dari Presiden Soekarno dalam kampanye angkatan laut untuk operasi Trikora dan melaksanakan operasi Dwikora. Namun pergeseran kepemimpinan nasional setelah tragedi G30S/PKI kembali menyusutkan kekuatan KKO AL.
Perkembangan selanjutnya pada 15 November 1975, nama KKO AL diganti kembali menjadi Korps Marinir. Sebulan kemudian ABRI menggelar Operasi Seroja di Timor Timur. Situasi yang paradoks pasca pengurangan personel KKO AL besar-besaran, lalu kembali memerlukan pengadaan personel untuk mendukung kesinambungan operasi keamanan dalam negeri.
Pasca reformasi 1998, pergeseran kebijakan ke arah pembangunan kelautan dan  menjadi poros maritim dunia serta perkembangan lingkungan strategis, diimbangi adanya penguatan kembali Korps Marinir.Â
Pengembangan kembali Korps Marinir mengingatkan kepada tuntunan keempat dari enam tuntunan Korps Marinir yang patut dipedomani oleh setiap prajurit pasukan pendarat amfibi. Tuntunan keempat tersebut adalah prajurit Korps Marinir tidak takut menghadapi kesulitan.
Pasukan pendarat sebagai yang pertama merebut tumpuan pantai memerlukan prajurit matra laut yang memiliki spirit tidak takut menghadapi kesulitan. Hal tersebut diekspresikan dalam tindakan agresif, tidak mengenal menyerah, totalitas ketulusan dalam pengabdian dan keberanian berkorban demi bangsa dan negara.