Sebagai perkemahan besar, Raimuna diselenggarakan dengan kegiatan bersifat edukatif, kreatif dan rekreatif. Peserta Raimuna bergiliran mendapat kesempatan mengikuti wisata ke Gunung Bromo.
Kesempatan berikutnya ambalan penegak sekolah saya mewakili Surabaya mengikuti Perkemahan Wirakarya Asia Pasific (PW Aspac) di Lebakharjo Ampelgading Malang. Kemah Bakti yang dilaksanakan  tanggal 18 Juni sampai 29 juli 1978 terbagi dalam 3 gelombang .
Berbeda dengan Raimuna, perkemahan wirakarya bersifat karya bakti bagi masyarakat. Selama 6 minggu pada PW Aspac para Pramuka Penegak dan Pandega ikut membangun jalan dan fasilitas umum.
Tak lama setelah mengikuti PW Aspac, seorang Pramuka Penegak Putri sekolah saya, Estu Winahyu sukarela dikirim  bertugas ke Timor Timur mewakili Kwartir Daerah Jawa Timur. Mbak Estu Winahyu, kakak kelas saya, bersama 9 orang Penegak lainnya selama 2 bulan (29 Juni 1978 - 2 Agustus 1978) mendapat tugas dari Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.
Pramuka di akhir integrasi Timor Timur
Ketika mulai bertugas di Timor Timur tahun 1995, saya mengetahui Pangkalan TNI AL (Lanal) Dili telah membina Gerakan Pramuka Saka Bahari. Adapun peserta didik Pramuka Penegak Saka Bahari Lanal Dili berasal dari SMAN-1 Dili, SMPN-3 Becora dan SMA Santo Yosef.
Melalui pembinaan generasi muda dan pembinaan teritorial matra laut, Pangkalan TNI AL melakukan pemberdayaan wilayah pertahanan laut. Dalam arsip nasional tercatat pada tahun 1970 telah terbentuk kompi-kompi Pramuka Samudra yang dibina TNI AL.
Saka Bahari Lanal Dili pernah berpartisipasi di ajang nasional Perkemahan Wirakarya di Cibubur. Sedang Penggalang Pramuka SMPN-3 Becora di mana personel Lanal Dili ikut membina, berpartisipasi mengikuti Jambore Nasional.
Sebagai perwira kesehatan Lanal Dili, saya melibatkan Pramuka Saka Bahari dalam setiap Bakti Kesehatan TNI. Pada November 1998 Lanal Dili sempat mengadakan bakti sosial di Pulau Atauro menggunakan KRI Kupang-582.
Menjelang jajak pendapat saya tidak tahu apa isi hati para putra daerah anggota pramuka Saka Bahari. Â Mereka tentu tidak menduga bahwa usai jajak pendapat berakhir dengan rusuh massa. Orang tua mereka yang menentukan apakah tetap tinggal di Timor Timur atau melintas perbatasan menyelamatkan diri ke Atambua NTT.