Ribuan kepala desa melakukan aksi demonstrasi di depan gedung DPR RI, Selasa (17/1/2023). Pimpinan Pusat Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Papdesi) menggelar aksi di depan gedung DPR RI.Â
Mereka meminta pemerintah merevisi Undang-Undang Desa (Nomor 6 Tahun 2014) dan meminta jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun tanpa periodisasi.
Tidak ada urgensi yang sangat mendesak dari usulan tersebut selain agar jarak kontestasi pilkades lebih lama, tidak menguras energi sosial warga desa akibat dampak pembelahan sosial karena Pilkades, serta ada jangka waktu lebih untuk kepala desa terpilih dalam merealisasikan janji-janji kampanye mereka.
Argumentasi tersebut tentunya sangat bias dengan cita-cita demokrasi di Indonesia. Pasalnya, jika indikator efektifitas realisasi program hanya dinilai sempit dari jangka waktu masa jabatan tentunya ini merupakan kerangka berpikir yang salah dan justru berpotensi melahirkan problematika yang lain seperti terbentuknya pola politik dinasti di pemerintahan desa, terhambatnya regenerasi kepemimpinan, degradasi praktik demokrasi di desa hingga kecenderungan penyalahgunaan wewenang yang lain (seperti tindak pidana korupsi).
Berkaca dari catatan sejarah, pemerintah desa adalah lembaga negara terbanyak yang menyelewengkan dana negara. Merujuk hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW), menemukan bahwa kasus penindakan korupsi paling banyak terjadi di sektor anggaran dana desa, yakni sebanyak 154 kasus pada 2021 dengan potensi kerugian negara sebesar Rp 233 miliar. Korupsi anggaran dana desa bahkan cenderung meningkat sejak 2015.
Kondisi tersebut pun sejalan dengan temuan ICW terkait lembaga negara yang paling banyak terjerat kasus korupsi. ICW menemukan, pemerintah desa adalah lembaga dengan kasus korupsi terbanyak pada tahun 2021.
ICW merekomendasikan, pengawas pada sektor anggaran desa perlu diawasi secara ketat mengingat pada tahun 2022 anggaran desa yang digelontorkan oleh Pemerintah Pusat adalah sebesar Rp68 triliun.
Selaras dengan hal tersebut, dengan semakin lama bahkan tidak terbatasnya jabatan kepala desa semakin meningkatkan pula kecenderungan penyelewengan wewenang seperti tindak pidana korupsi dari dana desa.Â
Ironisnya, pemerintah melalui presiden dan DPR RI justru memberikan sinyal akan mengabulkan keinginan para kepala desa tersebut lewat revisi yang akan dimasukkan pada program legislasi nasional prioritas 2023.Â
Pertanyaannya, atas dasar aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang mana? dan sudah sejauh mana kajian dari pemerintah sendiri akan hal ini?
Menyikapi wacana tersebut, Ketua DPC GMNI Malang Donny Maulana menyampaikan kepada media bahwa GMNI Malang menolak adanya wacana penambahan masa jabatan kepala desa ini.
"Arogan dan tidak berbasis pada urgensi. Pemerintah harus bisa membedakan mana kepentingan pribadi kades dan mana kebutuhan masyarakat sebelum menyetujui wacana tersebut. Akan melanggengkan praktik dinasti, korup, dan semakin memperlebar potensi penyalahgunaan wewenang. Jika wacana ini tetap diamini, GMNI Malang siap menginisiasi adanya parlemen jalanan"! Pungkasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H