Sebuah cerita karya dari Frisca Intan Luzia (Diaspora Jambi di Thailand)
'' Hari masih terlalu muda pagi ini , angin di tepi sungai Istanbul lumayan kencang menerbangkan ujung-ujung tirai tenda warna-warni yang berjejer dan aku sudah duduk rapi ditemani secangkir kopi turki dengan sedikit taburan bubuk kayu manis kesukaanku.Hanya ada beberapa orang yang terlihat sibuk mengecek jam tangan dan koran-koran, sebagian lagi bergegas pergi menyusuri jalan kayu ini menyisakan bunyi decitan kecil di sela-sela gemericik air.Sementara aku terus membolak- balik kertas puisi tua darinya. Perasaanku sungguh tidak nyaman, tidak seperti 3 bulan yang lalu.Akumenunggu seseorang yang sejaklama biasa aku temui untuk yang terakhir kali, ya tak perlu lagi ku temui''
Penari malam
Perempuan itu
Penari yang kegirangan
karena nyawanya sebentar lagi akan meregang
Hentak-hentak kaki dan pinggulnya,
melayang-layang hempas badannya ,
sengal-sengal deru nafasnya
meringkik-ringkik dalam hujan
Menyiut api segala rupa
Tak sabar ia melepas seluruh luka
Harap secepat tabuhan gendang yang memekik-mekik malam
Menukik ingatan-ingatan yang tak ingin diulang
juga remah-remah kenangan salah paham
Yang luput dari pembicaraan hati dan pikiran
Kau
Ah, dia lebih mati dari mati
Sudah jangan dicari
Dua puluh tujuh tahun yang lalu
'' Hanya dua kantung lagi, Rwanda. Dan kita bisa mencicipi sagu manis hari ini !'' ujarku semangat pada sepupu terbaikku. Setiap hari rabu dan sabtu anak -- anak seperti kami harus mencuci pakaian penari-penari , mencelup kain dan selendang di ember yang berisi bubuk pewarna, juga membersihkan tengkuluk dengan sangat hati-hati tanpa membuat nya lecet sedikitpun. Tengkuluk berbentuk seperti mahkota berwarna hitam, merah, atau emas dengan jumbai panjang menggantung dibelakangnya, indah sekali, biasa dipakai penari-penari perempuan, pengantin dan tetua di kampung kami, Kerinci. Rwanda hanya membalasku dengan senyum manisnya, kami selalu menantikan bubuk sagu manis dengan pandan dan secangkir kopi panas dengan celupan kayumanis merah, menyenangkan sekali. Tapi hari ini dia tampak kurang bersemangat, wajahnya sedikit pucat, matanya berkantung seperti kelelahan dan aku melihat sekilas bekas biru di lengan kanannya.
. . . Kami menyelesaikan latihan menari malam ini, kami melewati kamar nenek silas, satu-satunya ruangan yang lampunya telah dipadamkan, tapi cahaya lilin menerobos masuk melewati celah entilasi dan seperti biasa, kami sering mendengar nenek tua itu bercakap-cakap sendiri, tidak, seperti ada tamu, temannya?. Tapi siapa ditengah malam begini. Entahlah, Rwanda menyeret tubuhnya masuk kerumah dan merebahkannya ke sofa, menyamankan leher dan melemaskan jari-jari lentiknya, menyilangkan kakinya yang jenjang menjuntai ke lantai. Tidak ada kantung kain lagi diluar, aku juga telah menggulung pintalan benang yang tadinya akan kutenun malam ini, aku malah bergabung dan berbaring santai disebelah Rwanda, sementara semua orang masih saja sibuk menyiapkan segala macamnya untuk perhelatan besar Pesta danau yang akan berlangsung sebulan lagi. Jika kau tidak kenal kami, aku berani bertaruh kau akan mengira kami kembar. Ibu Rwanda adalah kakak ibuku mereka penari Niti Mahligai terbaik di generasinya, aku mewarisi kulit kuning langsat, mata bundar dan bibir tipis miliknya. Sementara Rwanda memiliki mata teduh milik almarhum ayahnya, matanya syahdu sekali, dagu kecil, leher jenjang dan rambut panjangnya membuatmu tersihir untuk terus melihatnya.
'' Ibu dan penari-penari akan pulang terlambat besok, kau tumbuklah beras dan jangan lupa siapkan bara pastikan kau tidak menghanguskannya,, mereka akan menggambilnya nanti malam, katakan pada nenek silas untuk memberi kalian makan''
'' Aku ingin ikut, bu !'' bantahku
Ibuku tersenyum, membelai rambutku dan menjawab '' Sedikit lagi, bersabarlah gadis manis'' jawaban yang sama, ibu berlalu dan obor-obor yang menerangi mereka lenyap dibalik pepohonan..
Aku, Rwanda dan dua orang teman kami, sika dan nana bergegas membagi tugas. Kami akan menyelesaikan ini segera, kami sudah dilatih menari sejak kecil, hidup bersama penari-penari dewasa, penabuh gendang, dan tetua-tetua. Kami sudah mahir melakukannya.Kami bukan anak-anak lagi, ini tidak adil. Ibu dan teman-temannya memulai menari untuk Kenduri seko di usia kami, kenapa hingga saat ini bahkan kami tidak diizinkan ikut sekedar untuk melihat, jika tidak sekarang kami harus menunggu kenduri seko selanjutnya berarti empat tahun lagi, Ohh.. tidak! dadaku rasanya akan meledak, aku tidak tahan lagi.
Bulan purnama menggantung dilangit, memandangi empat gadis menyusup di tengah kerumunan dengan jubah-jubah panjang mereka menyeret di tanah bumi, angin lembut tidak berusaha menyibak wajah mereka, hingga mereka berhasil masuk ke tengah kenduri. Pesta menyyambut panen dan berkah, enam penari dewasa niti mahligai telah berpakaian lengkap dengan tengkuluk, selendang mayang, kain-kain bludru hitam dan gincu merah di bibir tipisnya. Empat gadis terperangah meliat kemegahan pesta itu, dupa-dupa dinyalakan asap putih mengepul, harum semerbak malam, gendang mulai ditabuh, menghentak-hentak dan seruling membuai dalam keramaian. Disisi lainnya para sesepuh, tuo tengganai duduk melingkar, sepanjang kain hijau membentang dengan sirih, rokok, dan gulungan daun sirih, sementara masyarakat telah ramai menyembutnya. Ahh.. ya ada juga nenek tua itu. Mengawasi mereka. .
''Nana, kau yakin caramu mengaitkan selendangnya benar begitu'' tanya rika, leher hingga dagunya tampak kaku karena gugup,tangannya begetar sesekali jika saja dia menyadari dia tampak menakjubkan dengan balutan busana penari didalam jubahnya.Tapi kami benar-benar tak punya waktu untuk bercermin. ''ya, tentu saja. Aku yang terbaik tentang busana ini'' jawab nana santai
''Baik, begini rencananya.. aku dan Rwanda akan menyelinap ke barisan pertama penari muda membawa bara dan bergabung disana, saat kami beri kode lepas jubah kalian harus sudah ada di belakang kami di bagian pojok telur -- telur itu, memasukan jubah kita dan bergabung ke rombongan penari selanjutnya, jika perhitungan ku tepat, mestinya kita akan baik -- baik saja karena bara sedang menyala besar dan perhatian akan tertuju kesana, disitulah kesempatan kita'' -- ujar ku diiringi dengan anggukan dari mereka bertiga, Rwanda diam saja, sejujurnya aku merasa ada yang sedang memperhatikan kami sejak tadi tapi aku tidak ingin membuat teman-temanku takut. Kami sedang bersemangat!
'' Rwanda, sebelah sini'' kami menambah bara yang kami bawa ke lantai kotak, api merahnya menyala-nyala.
'' kemarikan jubahmu'' ujar Rwanda dengan sigap melempar jubah kami pada nana dan rika.
Penari-penari dewasa mulai menggerakkan pinggulnya, bertale, menari lembut dan meniti bilahan pedang-pedang yang disusun seperti jembatan, kaki mereka tentu tidak terluka. Lalu mereka ke bara api. Aku dan Rwanda , berhasil masuk bersama penari-penari muda menginjak-injak bara api dengan riangnya menghentak-hentak di bara api yang menyala, sambil bersorak --sorak. Malam semakin hidup. Aku larut di dalamnya.
''Rika, rika, rika'' santai sedikit, tarik nafasmu. Suara nana berbisik dekat denganku. Mereka sudah disini. Lalu kami meniti mangkuk kecil yang ditegakkan dan diletakkan telur diatasnya, disusun seperti jembatan satu kaki. Penari-penari tampak anggun dan ringan sekali bahkan telur tidak pecah menopang tubuhnya, penonton terpukau. Gendangg ditabuh semakin kencang.
''Oh tidak ! Rika, nana. . '' mataku menatap tajam pada mereka, namun tak dihiraukan mereka sudah tenggelam dalam tarian. Aku panik ! lututku lemas rasanya. Rwanda hilang.
Setelah agak senyap, gendang memeln dan penari -- pnari menyelasaikan rute titiannya. Aku memburu nana dan rika untuk membantu mencari Rwanda, kami harus tampak setenang mungkin. Sebelum orang lain dan ibuku menyadari kehadiran kami, aku harus berterimakasih pada kemampuan merias nana. Kami berpencar, tidak ada tanda-tanda Rwanda dimana sama sekali. Aku merasa sangat menyesal.
'' Kau yakin, Rwanda masih bersamamu di bara''-tanya rika
''ya tentu saja, aku tidak mungkin kuat menuang baranya sendiri, dan Rwanda masih disana. ''
''tapi saat kami baru bergabung di bilahan pedang dan bahkan sama sekali tidak melihat Rwanda. Mustahil, bagaimanna mungkin dia bisa keluar dai gerombolan penari-penari disitu pasti tetua akan segera menyadarinya. '' Ujar Rika
''Aku sudah mengeck ke toilet dan ruang ganti, nihil'' lapor nana
Tentu saja kami tidak bisa bertanya pada orang -- orang , kepalaku sakit, aku merasa bersalah sekali. Sepupu tercintaku, kembaranku, maafkan aku.
Tiba-tiba angin sepoi membelai lembut, menghamburkan aroma dupa di udara. Suasana mendadak hening.
'' Bulaaaank abang !'' Seorang sesepuh berteriak yang artinya Bulan Merah. Ini tidak biasa, bulan bulat penuh tidak memancarkan sinar terang tapi berubah jernih, lembut, sendu dan memerah
'' Tidak !'' Aku menutup mulutku dengan tangan saat sosokk seorang gadis yang sangat familiar entah keluar darimana berjalan sendiri, menyeret jubah hitamnya, menari gemulai, perlahan mendekati bara. Semua orang diam,dan terpukau, terperangah, terkejut, aku tidak dapat menangkap pasti ekspresi mereka. Mereka sangat senang berbumbu cemas.
'' oik, ndeh tuo kito ae, muwo di anak gaduih iko ngusi kito,duo nyo lah tpilih''
Tetua mengatakan kita kedatangan tamu. Aku tak begitu paham maksudnya, tapi kukira kami diharap tak mengganggu.
Rwanda begitu percaya diri, dia tampak sangat menguasai semua gerakan yang dia lakukan, kepribadian yang berubah sekali, jiwanya terasa tua, semua orang terpukau, dia begitu indah , sosok yang sempurna. rambut panjangnya mengkilat, sudut matanya tajam dibingkai wajah sendu yang manis, entah bagaimana kulitnya seperti memantulkan cahaya bulan merah. Tarian yang asing, aku belum pernah melihatnya. Tapi penabuh gendang mahir sekali dengan musiknya. Semua orang seakan tersihir,semua tatapan menuju pada Rwanda dan aku yakin mereka tidak ingin bergeming.
Apa- Apa. . Rwanda yang sekarang tak kukenal menatap tajam padaku sambil terus menari, menjulurkan tangannya, memanggilku, mengajakku bergabung bersamanya. Semua tatapan beralih kearahku, mengisyaratkan aku untuk ikut, memaksaku menurutinya. Aku sungguh tidak tau tarian ini,apa yang harus aku lakukan. Tapi aku perlahan berjalan mendekatinya, ditengah bara api yang terus menyala.
Uhh.. sedetik aku merasakan dupa menyengat masuk ke hidungku, hawa hangat menjalar ke tubuhku, aku mulai bergerak, menari, bersama Rwanda disampingku. Sulit kupercaya, gerakan yang sangat asing, dan gerakan kami sama. Aku tidak sempat berpikir,dengan sedikit sisa kesadaran, aku bisa melihat wajah orang-orang berubah mereka lebih banyak cemas, dan beberapa berteriak Penari Kembar. Beberapa panik, tapi mereka sangat menikmati keberadaan kami, entah aku terus menari. Satu suara sesepuh terdengar begitu jelas di kepulan asap menghantam wajahku,
''Tidak akan pernah diterima penari kembar, salah satu dari kalian harus pergi, hingga akhir tarian ini, pada tabuh gendang terakhir. Kalian terpilih, kami telah menunggu puluhan tahun untuk malam ini, putuskanlah ''
Rwanda dan aku saling bertatapan, ninek mamak dari dimensi lain menginginkan satu dari kami. Artinya, mati ? tidak dapat kembali? Perasaanku campur aduk, kami terus menari bersorak---menghentak kaki di bara api
Aku benar-benar dilema, tidak ada yang lebih ku sayangi selain ibuku dan Rwanda, dia separuh jantungku. Tapi aku juga masih terus hidup, ego ku mengancam aku juga layak, ini sepenuhnya pilihanku Rwanda sudah tak sadar dalam tariannya. Apakah harus aku merelakan sepupuku atau aku mengorbankan diri? Ego ku bilang Rwanda akan berterimakasih jika aku membebaskannya dari dunia ini, dia selalu dalam tekanan dan tersiksa. Tapi sisi baikku memberontak, aku tidak mau hidup dalam rasa penyesalan seumur hidup. Kepalaku rasanya berputar.
''aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa. . !!'' kami berdua berteriak
Lalu tak sadarkan diri
''Aku menutup cerita ini terakhir, kau tidak perlu datang lagi, aku menjalankan bisnis kedai kopi ku disini, dan kemampuanku meracik ramuan herbal juga diakui. Kau tak perlu khawatir. Setelah kau tau semuanya. Kau pasti bisa menemukan tengkulukmu. Aku merasa sangat bersalah pada ibumu, tapi dia juga bangga bahwa kita berdua titisan. Rwanda.''
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H