'' oik, ndeh tuo kito ae, muwo di anak gaduih iko ngusi kito,duo nyo lah tpilih''
Tetua mengatakan kita kedatangan tamu. Aku tak begitu paham maksudnya, tapi kukira kami diharap tak mengganggu.
Rwanda begitu percaya diri, dia tampak sangat menguasai semua gerakan yang dia lakukan, kepribadian yang berubah sekali, jiwanya terasa tua, semua orang terpukau, dia begitu indah , sosok yang sempurna. rambut panjangnya mengkilat, sudut matanya tajam dibingkai wajah sendu yang manis, entah bagaimana kulitnya seperti memantulkan cahaya bulan merah. Tarian yang asing, aku belum pernah melihatnya. Tapi penabuh gendang mahir sekali dengan musiknya. Semua orang seakan tersihir,semua tatapan menuju pada Rwanda dan aku yakin mereka tidak ingin bergeming.
Apa- Apa. . Rwanda yang sekarang tak kukenal menatap tajam padaku sambil terus menari, menjulurkan tangannya, memanggilku, mengajakku bergabung bersamanya. Semua tatapan beralih kearahku, mengisyaratkan aku untuk ikut, memaksaku menurutinya. Aku sungguh tidak tau tarian ini,apa yang harus aku lakukan. Tapi aku perlahan berjalan mendekatinya, ditengah bara api yang terus menyala.
Uhh.. sedetik aku merasakan dupa menyengat masuk ke hidungku, hawa hangat menjalar ke tubuhku, aku mulai bergerak, menari, bersama Rwanda disampingku. Sulit kupercaya, gerakan yang sangat asing, dan gerakan kami sama. Aku tidak sempat berpikir,dengan sedikit sisa kesadaran, aku bisa melihat wajah orang-orang berubah mereka lebih banyak cemas, dan beberapa berteriak Penari Kembar. Beberapa panik, tapi mereka sangat menikmati keberadaan kami, entah aku terus menari. Satu suara sesepuh terdengar begitu jelas di kepulan asap menghantam wajahku,
''Tidak akan pernah diterima penari kembar, salah satu dari kalian harus pergi, hingga akhir tarian ini, pada tabuh gendang terakhir. Kalian terpilih, kami telah menunggu puluhan tahun untuk malam ini, putuskanlah ''
Rwanda dan aku saling bertatapan, ninek mamak dari dimensi lain menginginkan satu dari kami. Artinya, mati ? tidak dapat kembali? Perasaanku campur aduk, kami terus menari bersorak---menghentak kaki di bara api
Aku benar-benar dilema, tidak ada yang lebih ku sayangi selain ibuku dan Rwanda, dia separuh jantungku. Tapi aku juga masih terus hidup, ego ku mengancam aku juga layak, ini sepenuhnya pilihanku Rwanda sudah tak sadar dalam tariannya. Apakah harus aku merelakan sepupuku atau aku mengorbankan diri? Ego ku bilang Rwanda akan berterimakasih jika aku membebaskannya dari dunia ini, dia selalu dalam tekanan dan tersiksa. Tapi sisi baikku memberontak, aku tidak mau hidup dalam rasa penyesalan seumur hidup. Kepalaku rasanya berputar.
''aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa. . !!'' kami berdua berteriak
Lalu tak sadarkan diri
''Aku menutup cerita ini terakhir, kau tidak perlu datang lagi, aku menjalankan bisnis kedai kopi ku disini, dan kemampuanku meracik ramuan herbal juga diakui. Kau tak perlu khawatir. Setelah kau tau semuanya. Kau pasti bisa menemukan tengkulukmu. Aku merasa sangat bersalah pada ibumu, tapi dia juga bangga bahwa kita berdua titisan. Rwanda.''
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H