Oleh: Yuliana J.
 "Seteguk kau minum air Nile, maka bertahun kau akan merindukannya"
Lebih kurang seperti itu kalimat yang pernah saya dengar dulu, waktu pertama kali menginjak kaki di tanah para Nabi yang disebut Mesir. Iya, itu memang benar adanya. Sayapun ikut merasakan hal serupa, bahkan tidak terlintas dibenak untuk meninggalkan negeri seribu menara ini.
Semakin ditelusuri semakin saya haus akan pencarian yang dikata orang Mesir adalah kiblat ilmu. "Jika kau tidak bisa menaklukkan Mesir, maka kau yang akan ditaklukkan" Senior saya pernah berkata seperti itu. Sampai detik ini pun saya masih menelaah makna tersirat dari satu kalimat sederhana tapi sangat bermakna menurut saya.Â
Saya sendiri bukanlah mahasiswa yang selalu aktif disetiap acara, juga bukan anak yang berprestasi. Tapi, itu semua bukan menjadi penghalang saya untuk terus berkarya. Apa saja yang menurut saya tidak merugikan orang lain why not?Â
Beberapa tahun silam adalah keputusan yang sangat berat untuk memilih Al-Azhar sebagai batu loncatan setelah lulus Madrasah Aliyah setara Sekolah Menengah Atas (SMA), dengan hasil ujian standar dengan tekad mencoba memberanikan diri untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Perjuangan yang tidak mudah sempat menjadikan saya terpuruk, dengan hasil tes dan berbagai biaya yang harus disiapkan. Dari dukungan keluarga juga doa, akhirnya ALLAH mengabulkan. Saya tiba di Mesir.
Jambi, adalah tanah kelahiran dengan berat hati saya tinggalkan. Cita-cita yang sempat saya impikan terpaksa saya urungkan. Semua berjalan begitu saja, diterima dan disambut dengan hangat oleh senior KMJ (Keluarga Mahasiswa Jambi) di Mesir.Â
Bagaimana tidak, setalah lima tahun lulusan sekolah atau alumni di salah satu pondok pesantren As'ad namanya belum ada yang melanjutkan ke Kairo. Saya dari salah satu teman perempuan saya yang mungkin sejak itu kami bertekad bagaimanapun hasilnya nanti saling dukung dan support.Â
Mesir adalah keajaiban bagi saya, banyak hal yang menurut saya orang lain tidak dapatkan. Memang jika hanya untuk lari dari riuh kehidupan maka kau salah berpikir demikian, nyatanya Mesir menjadikan saya banyak belajar.Â
Belajar dari berbagai macam hal, belajar sabar meski harinya kadang suka kesal, belajar ikhlas kadang apa yang di harapkan tidak sesuai keingingan, belajar tabah jika ada masalah, belajar mandiri dan berlaku baik-baik saja seberat apapun problem yang dihadapi.
Selain Al-Azhar sebagai salah satu universitas tertua di Mesir, ada hal yang menurut saya orang lain tak dapatkan jika ianya tidak menyelam jauh kedasar laut. Mutiara yang indah tidak didapatkan ditepi jalan begitu saja.Â
Tentu setiap tempat memiliki keistimewaan di dalamnya, termasuk Mesir.
Selepas dari itu semua, masyarakatnya yang ramah, orang-orang yang ringan tangannya, para muhsinin membantu para pelajar dan masyarakat asing. Yang tidak ambil pusing dengan kehidupan orang lain, yang menjadi pusat perhatian jika orang tua renta masih belajar membaca dan mengaji.
Berbeda? Iya memang beda. Lalu apa tujuannya jika tidak kembali ke tanah kelahiran? Pertanyaan ini kerap kali dilontarkan, sebagian orang akan menjadi sedikit rishi kadang juga kesal. Adapula malas untuk menanggapinya. Ketika perkuliahan yang belum kelar-kelar bahkan bisa dapat gelar MA (Mahasiswa Abadi) menurut saya ini sempat menjadi tolak ukur mengapa begitu?Â
Lagi-lagi kita tidak bisa menutup dua bibir yang sampai kiamat pun akan seperti itu. Dua bola mata manusia di sebut fana memandang bahwa kelulusan tepat waktu adalah kesuksesan, yang dilanjutkan dengan Master adalah kesuksesan, yang memiliki pekerjaan tetap adalah kesuksesan.Â
Tidak bisa dipungkiri memang, tapi tidak setiap orang mampu seperti yang orang lain kira sama. Apalah arti sebuah kesuksesan jika di mata Tuhan kita tiada artinya. Apalah arti sebuah jabatan jika kita saja lupa bahkan malas untuk berinfak. Apalah arti gelar jika kita miris moral juga adab. Dan lihat, Mesir mengajarkan saya sedikit dari banyak yang belum saya tahu. Mungkin tidak akan habisnya sampai kapanpun.Â
Saya berterimakasih soal itu. Sejarah telah mencatat, bahwa pembuka pertama Mesir adalah orang yang lapang dadanya, teguh pendiriannya. Panglima besar pada zamannya, siapa peduli dengan keberaniannya. Pada khalifah Saidina Umar Bin Khattab R.A yang diperintahkan kepada Saidina Amr Bin Ash.
Maa shaa ALLAH siapa yang tidak tahu pada masa khalifah yang menggelegar alkisahnya, diberi gelar Amirul Mukminin. Untuk siapa saja, wa bil khusus diri saya sendiri tidak perlu menjadi orang lain jika hanya sekedar ingin terpandang, tidak perlu berkoar-koar jika ingin disanjung. Lakukan apa yang menjadikan kita semakin sadar bahwa apa yang kita punya, yang kita miliki, yang kita anggap bisa bukan punya kita, bukan milik kita. Apa yang berlaku adalah proses, apa yang sudah terjadi adalah ketentuan takdir. Semua pasti ada hikmahnya, seperti dalam satu kisah yang pernah saya catat. Dengan apapun risiko, apapun ketetapan selalu bersyukur, bersabar juga tabah. Karena menikmati proses jauh lebih indah dari hasilnya sendiri. Coba saja. Dan sampai kapanpun, Mesir ada bukan untuk dijadikan sejarah ianya hidup sampai akhir hayat. Jika boleh meminta  satu permintaan dan waktu berputar, saya ingin dilahirkan di tanah penuh barakah ini. Tapi mungkin tidak menjadikan saya untuk terus belaja kisahnya kehidupan dari Semesta.Â
Akhir penutup, tulisan ini hanya opini penulis yang sebagai acuan untuk menjadi insan lebih baik. Tidak ada unsur untuk menyudutkan pihak manapun. Dengan memohon rida ALLAH meminta syafaat Kekasih-Nya Rasulullahi 'Alayhissalam, manusia tempatnya alpa meminta maaf jika terdapat kata dan pengucapan dalam tulisan.
Salam santun,
Pengembara.
Kairo, 3 February 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H