New York, 24 September 2019. Mengenakan baju berwarna pink keunguan, dengan rambut dikepang, aktivis iklim dan lingkungan hidup asal Swedia yang masih muda belia, Greta Thunberg, berpidato dengan penuh emosional dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim, Climate Change Summit 2019, di PBB.
Dalam forum yang dihadiri sekitar 60 pemimpin dunia itu, Â termasuk Presiden Amerika Serikat ke 45, Donald Trump, Presiden RI Joko Widodo, dan Sekjen PBB Antnio Guterres, Greta Thunberg mengkritik keras negara-negara industri yang dianggapnya lemah dalam mengontrol produksi karbon di negara mereka.
"Aku semestinya tidak berada di sini. Aku seharusnya kembali ke sekolah, di seberang lautan. Namun, kalian semua mendatangi kami anak-anak muda untuk (mencari) harapan. Teganya kalian melakukannya," tegas Greta Thunberg, remaja kelahiran 3 Januari 2003 ini.
"Kalian  telah merampas mimpi-mimpiku di masa kecil dengan omong kosong kalian. Namun, aku adalah salah satu dari mereka yang beruntung. Orang-orang menderita, orang-orang sekarat. Seluruh ekosistem hancur," kata Greta yang tumbuh besar di Stockholm dengan ibundanya, Malena Ernman, seorang penyanyi opera dan ayahnya yang seorang actor, Svante Thunberg.
"Kita berada di awal kepunahan besar-besaran. Dan yang bisa kalian bicarakan hanyalah uang dan dongeng tentang pertumbuhan ekonomi yang abadai. Teganya kalian melakukannya," ujar Greta nyaris menangis menahan emosinya.
Usianya masih 16 tahun , saat itu. Namun, sebagai aktivis iklim dan lingkungan hidup, Greta Thunberg telah menginspirasi jutaaan remaja di berbagai negara di dunia untuk memerangi dampak terjadinya perubahan iklim.
Greta Thunberg yang pada akhir 2019 menjadi Person of the Year versi Majalah TIME dan calon penerima Nobel Perdamaian, adalah keturunan Svante Arrhenius, seorang ilmuwan yang menciptakan model efek rumah kaca, dan dianugerahi Nobel Prize for Chemistry pada 1903.
Greta Thunberg adalah aktivis iklim dan lingkungan hidup yang memulai protesnya dengan membolos sekolah setiap Jumat, lalu berdemo sendirian di depan gedung parlemen Swedia sejak usia 15 tahun. Â Demo mingguannya yang dilakkan sendiri itu, menarik perhatian media lokal.
Greta kemudian mengajak para remaja di berbagai negara untuk melakukan hal yang sama, seperti yang dia lakukan. Awalnhya dia hanya kampanye di media sosial. Namun lama-kelamaan kampanyenya itu berkembang menjadi  gerakan massal 'Fridays for Future' di seluruh dunia.
Setahun kemudian, jutaan pelajar di berbagai negara di dunia, mengikuti jejaknya, dengan meninggalkan kelas setiap Jumat untuk berdemo, membawa poster yang berisi pesan lingkungan dan perubahan iklim.
Puncaknya pada 20 September 2019, menjelang KTT Perubahan Iklim di PBB, jutaan anak muda, Â dan orang tua di berbagai negara di dunia turun ke jalan, melakukan gelombang demonstrasi perubahan iklim. Termasuk para remaja Indonesia yang kala itu melakukan demonstrasi di Monas, Jakarta, sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap perubahan iklim.
Pemberitaan Media & Kepedulian Gen Z.
Gelombang demonstrasi sebagai bentuk kepedulian anak muda dan orangtua di seluruh dunia tersebut, tentu saja karena gencarnya pemberitaan tentang longkungan dan perubahan iklim di media mainstream, khususnya media online --yang lintas batas dan waktu. Pemberitaan yang membuka cakrawala banyak Gen Z di dunia, termasuk Indonesia. Cakrawala tentang mencairnya es di kutub utara. Cakrawala tentang naiknya permukaan laut di berbagai belahan bumi karena pemanasan global. Tentang pembentukan "sungai di langit". Tentang banjir dan kelangkaan air minum di berbagai belahan dunia. Tentang salju yang turun di Timur Tengah. Serta tentang berbagai anomali lingkungan lainnya.
Pemberitaan di media mainstream, yang kebanyakan diakses Gen Z dan generasi milenial melalui gadget mereka itu, juga telah membuka carawala mereka tentang penyebab semua anomali dan kerusakan lingkungan yang ada di bumi itu. Cakrawala mereka tentang sumbangan karbon dari bahan bakar fosil yang keluar dari kendaraan bermorot dan pabrik. Tentang efek rumah kaca. Tentang kebakaran dan pembabatan hutan jutaan hektar yang tidak terkontrol untuk kepentingan industri kayu dan perkebunan. Serta tentang berbagai penyebab yang menimbulkan perubahan iklim dan kerusakan lingkungan lainnya di bumi.
Berbagai cakrawala tersebut telah memberikan kesadaran kepada Gen Z, generasi kelahiran 1997-2012 yang tahun 2022 ini berusia antara 10 - 25 tahun, tentang pentingnya lingkungan hidup, tentang perubahan iklim bagi masa depan bumi. Masa depan planet yang kelak akan menjadi tempat kehidupan anak cucu mereka. Dan salah satu isu yang paling mengemuka saat ini adalah Perubahan Iklim.
Kesadaran Gen Z dan generasi milenial akan lingkungan hidup ini dapat dilihat dari hasil survei, khususnya di Indonesia. Survei yang dilakukan Yayasan Indonesia Cerah (CERAH) dan Change.org di 34 provinsi menunjukkan, 90 persen dari 8.274 responden muda mengkuatirkan dampak krisis iklim. Yakni krisis air, krisis pangan dan penyebaran penyakit. Survei selama dua bulan (23 Juli - 8 September 2020) ini, untuk mengetahui pandangan generasi milenial dan Gen Z Indonesia tentang krisis iklim, sebagai bahan pertimbangan untuk merancang strategi penanganan dampak krisis iklim ke depan.
Menjelang KTT Iklim PBB, Conference of the Parties (COP), badan pembuat keputusan tertinggi dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang ke 26 di Glasgow, Skotlandia, akhir Oktober 2021, juga ada survei serupa.
Survei tersebut dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia dan Yayasan Indonesia Cerah (CERAH), dengan menyasar responden anak muda berusia 17-35 tahun. Â Survey selama 6 sampai 16 September 2021 itu, menggunakan metode stratified multistage random sampling, terhadap 3.216 responden Gen Z dan 804 generasi milenial. Asumsi metode ini memiliki toleransi kesalahan (margin of error) sebanyak 2,7 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Hasilnya, Gen Z dan generasi milenial Indonesia memiliki kepedulian dan menaruh perhatian yang serius pada persoalan krisis iklim. Sebanyak 82% responden  menempatkan isu lingkungan hidup sebagai salah satu isu paling menguatirkan, selain korupsi.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi ketika itu mengatakan, Gen Z dan generasi milenial Indonesia menganggap fenomena perubahan iklim semakin menguatirkan. Sebanyak 53 persen responden merasa bahwa perubahan iklim sudah merugikan masyarakat Indonesia pada saat ini.
Urutan permasalahan yang paling dikuatirkan saat ini dan tahun-tahun mendatang adalah cuaca ekstrem (42 persen), penumpukan sampah dan bahan plastik (36 persen), kesehatan (35 persen), penggundulan hutan (33 persen), dan polusi udara (24 persen).
Burhanuddin mengimbau agar para pembuat kebijakan, yakni  pemerintah dan para politisi, perlu menangkap kekuatiran Gen Z dan generasi milenial terkait isu tersebut, berupa  aksi nyata melalui berbagai kebijakan yang ada. Apalagi, kedua sampel tersebut merepresentasikan sekitar 80 juta pemilih di Indonesia atau 40 persen dari total pemilih pada Pemilu 2024. Apalagi 78 persen diantaranya telah berpartisipasi pada Pemilu 2019, dan 84 persen menyatakan akan berpartisipasi lagi pada Pemilu 2024.
"Sekarang Indonesia mengalami proses peremajaan, jadi penting untuk memotret pendapat anak muda karena dalam teori democratic governance, kualitas demokrasi pemerintahan demokratis akan semakin baik, jika para policy makers, termasuk para politisinya, mampu menyerap populasi warga yang jumlahnya sesignifikan kalangan anak muda," tuturnya seperti diberitakan Kompas.com, 27/10/2021.
Kolaborasi Media, Aktivis & Influencer Lingkungan
Kesadaran dan kepedulian Gen Z maupun generasi milineal terhadap perubahan iklim dan lingkungan ini, tentu saja sebuah kenyataan yang menggembirakan. Namun, sayang jika kenyataan ini tidak dioptimalkan menjadi sebuah gerakan berkelanjutan.
Untuk itu, kita butuh kepedulian seluruh kelompok kepentingan. Mulai dari media mainstream sebagai pusat penyebaran informasi lingkungan dan perubahan iklim, pemerintah pusat dan daerah, sekolah, kampus, para aktivis dan NGO lingkungan, serta para orangtua. Semua perlu berkolaborasi, bekerja sama mengoptimalkan kesadaran dan kepedulian Gen Z dan generasi milenial ini. Sehingga mereka bisa berkontribusi nyata terhadap perbaikan lingkungan dan perubahan iklim. Minimal dari tempat mereka berada. Syukur-syukur bisa menjadi sebuah gerakan yang massif.
Dan untuk memulai gerakan itu, kita memang memerlukan komunitas-komunitas lingkungan dan perubahan iklim, yang menjadi tempat para remaja kita melakukan kegiatan-kegiatan nyata. Dan itu bisa dimulai dari sekolah-sekolah, dari kampus-kampus, seta dari komunitas luar sekolah atau kampus yang bisa menghimpun mereka.
Media mainstream, seperti media online, mungkin bisa membantu para remaja kita dengan mengajari mereka cara menulis yang baik, serta membuka kanal khusus untuk tulisan-tulisan netizen pemerhati atau aktivis lingkungan dan perbahan iklim dari kalangan milenial dan Gen Z.
Sementara para aktivis serta NGO lingkungan di Indonesia bisa mengadakan workshop atau kelas-kelas jarak jauh untuk komunitas-komunitas lingkungan di kalangan anak muda di seluruh Indonesia, memberikan materi yang lebih dalam lagi tentang isu-isu lingkungan dan perubahan iklim.
Pemerintah pusat dan daerah mungkin bisa memulai kebijakan-kebijakan yang pro lingkungan dan perubahan iklim, kebijakan atau bantuan yang bisa menumbuhkan komunitas-komunitas lingkungan dan perubahan iklim di daerah-daerah di kalangan milenial dan Gen Z.
Para orangtua mungkin mulai mendorong anak-anak remaja mereka untuk ikut dalam komunitas-komunitas lingkungan dan perubahan iklim. Dan yang paling penting adalah bagaimana para orangtua mulai menanamkan dan mengajarkan anak-anak remaja mereka untuk peduli terhadap lingkungan dan perubahan iklim.
Dan hal itu bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari yang dimulai dari rumah. Seperti mulai dengan kebiasaan menghemat penggunaan air dan listrik, ber-media sosial yang baik, menggunakan transportasi umum, menggunakan produk-produk ramah lingkungan, serta berbagai kegiatan dan penggunaan barang-barang yang bisa memperbaiki lingkungan dan perubahan iklim.
Mungkin dengan begitu, kita bisa membantu anak cucu kita dalam menjaga bumi sebagai tempat tinggal yang nyaman dan aman pada masa mendatang. Setidaknya, bisa membantu meredamkan amarah Greta Thunberg terhadap para pemimpin negara-negara industri di dunia, yang hingga kini tidak mampu menurunkan 1,5 derajat Celsius suhu di muka bumi, tempat tinggal kita.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI