Dari jendela asrama aku memandang keluar. Dan dari kamarku terlihat atap hotel dan langit yang cerah karena kamarku berada di sebelah barat asrama. Pukul 4.30 bel pagi berbunyi tanda presensi pagi. Aku turun dari kamar dengan keadaan setengah sadar. Lalu menuliskan tanda tangan demi telepon genggam. Sehabis presensi pagi, aku kembali ke kamar dan kembali tidur untuk menyiapkan tenaga pada hari itu.
     Hari itu adalah hari Jum'at, hari dimana angkatan kami berlatih untuk acara puncak lustrum ke-VII sekolah kami SMA Bintang Pembimbing. Aku terbangun dari tidur pukul 5.30 pagi, dan hanya tersisa 15 menit sebelum bel sarapan asrama. Aku panik dan langsung berlari ke kamar mandi, dengan waktu yang tersisa mepet aku berusaha untuk tidak terlambat dan alhamdulilahnya Dewi Fortuna berpihak padaku. Bel makan tertunda sekitar 3 menit dan membuat ku tepat waktu.
     Setelah sarapan bersama, aku bersiap-siap dan pergi ke sekolah dengan beberapa entitas yang bisa kusebut "teman". Mereka adalah Anton, Wahyu, Deny, dan Erwin yang adalah entitas sesama penghuni asrama sepertiku. Kami harus berangkat lebih cepat karena jarak asrama ke sekolah sangat jauh dan kami harus berangkat dengan berjalan kaki. Pukul 6.30 kami berangkat usai teknologi yang kami sebut telepon genggam dibagikan. Kami tiba di sekolah sekitar pukul 6.32 usai menyebrangi jalan yang membatasi asrama dan sekolah.
Â
     Kami tiba di sekolah dan langsung disambut lagu rohani dari saluran radio sekolah. Kami pun menuju kelas masing-masing. Erwin, Wahyu, dan Deny di kelas B sedangkan aku dan Anton di kelas E. Pukul 6.55 Bel sekolah berbunyi disertai renungan, doa pagi, dan lagu Indonesia raya. Setelah doa pagi, kami sekelas memulai sesi latihan bersama. Pada awalnya semua baik-baik saja, kami berlatih dengan baik sampai istirahat pertama tiba. Aku dan Nettha dipanggil untuk melatih maskot dan meninggalkan Melda (asisten sutradara) dan Odelia (wakil ketua koordinator)  untuk menangani kelas yang bagaikan mengurus kawanan Nasalis larvatus liar.
     Awalnya semua berjalan dengan baik  di kelas namun, tepat 2 jam pelajaran sebelum istirahat kedua, saat aku sedang sibuk briefing dengan para maskot tiba-tiba Melda datang dan memberitahuku bahwa kondisi kelas sedang kacau. Aku kemudian memintanya menggantikan ku untuk briefing dan aku kemudian pergi menuju kelas. Benar saja kondisi kelas sangat mengerikan kata-kata kasar keluar dari mulut Melda dan Odelia hanya bisa terdiam melihat kemarahan Melda satu kelas bertengkar dan aku hanya bisa menyaksikan kengerian itu,
   "Bangsat kalian semua!!!. Kalian tuh cuma tau ngeluh ga pernah bantu apalagi serius. "
Ucap Melda dengan nada marah tinggi.
   "Berisik lo Melda!!!. Lo tuh cuma bisa ngatur doang. Kalo Cuma nyuruh sama ngatur mah gue juga bisa. " Sahut Mika menanggapi kemarahan Melda.
   "Gue juga capek ya ngatur kalian semua tuh susah tau ga?!! Kalian tuh susah diatur, gamau serius, kalo dikasih tau ngejawab aja. " Bentak Melda kepada satu kelas.
    Â
      Melda menangis berlari keluar kelas untuk menenangkan diri. Aku bertanya pada Odelia tentang apa yang terjadi. Namun, Odelia hanya terdiam. Bingung dengan apa yang terjadi aku kemudian menghampiri Anton dan bertanya padanya.
   "Tadi kelas kenapa Nton? Sampe Melda nangis gitu?"
  "Tadi Melda ngajak latihan lagi tapi mereka ga ada yang serius, apalagi di Mika terus pas Melda ngasih tau mereka kayak main-main sama ngelawan gitu. Mungkin, anak-anak di kelas lagi pengen istirahat. Tapi si Melda ini pengen lanjut latihan terus biar lebih  bagus, jadinya anak-anak  setengah hati. Si Melda ini capek terus emosi sampe nangis. " Jelas Anton padaku.
     Aku kemudian keluar kelas, menghampiri Melda lalu menenangkannya dan mulai bertanya bagaimana perasaannya. Dengan tersedu-sedu Melda kemudian mencurahkan isi hatinya dan keluh kesahnya kepadaku.
   "Gue tuh sakit hati pas ngelatih anak-anak kelas tadi. Mereka ga pernah serius terus dikasih tau malah ngejawab, gue tuh sama Odelia kayak ga dianggap sama sekali sama mereka padahal gue udah berusaha keras untuk ngelatih mereka demi pentas kita tapi diperlakukan kayak gitu tuh sakit banget tau ga. " Ucap Melda sambil menangis tersedu-sedu. Aku kemudian mengelap air mata di pipinya dengan lembut dan menenangkannya sambil memberikannya sedikit nasihat.
   "Ingatlah Melda meski sebuah batu ditetesi oleh air, lama kelamaan akan berlubang namun, tidak ada gunanya menunggu batu tersebut dari utuh hingga berlubang, karena butuh waktu ribuan tahun. Nah, lu paham kan maksudnya?" Tanyaku dengan sok bijak.
   "Ga paham gue apa hubungannya ini sama kejadian di kelas." Tanya Melda penasaran.
   "Sama sih, gue juga ga ngerti gue ngomong apa hehe. " Ucapku dengan bercanda.
   "Apasih gajelas banget kalo mau nasihatin minimal niat dikit lah hahahaha. " Ucap Melda dengan wajah mulai tersenyum manis.
     Sesudah Melda tenang aku membawanya kembali ke kelas dan mulai berbicara kepada teman-teman kelas. Aku mulai mengajak kelas untuk kooperatif dan mau bekerjasama untuk pentas ini.
   "Kalian ini kenapa? Kok latihannya setengah hati begitu. Ini kan tugas sekelas dari kita untuk kita kalo pentasnya bagus yang senang kalian juga kok." Ucap ku kepada mereka.
     Satu kelas menjadi hening dan senyap. Mereka merefleksikan diri masing-masing dalam kondisi yang cukup tenang. Tiba-tiba Owi memecah keheningan.
   "Kami sebenarnya udah capek. Tugas kita banyak, sts sebentar lagi, ditambah lagi ini stress tau ga. Kami Cuma pengen istirahat tapi si Melda maksa kami latihan makanya kami latihannya setengah hati." Ucap Owi dengan suara lembut.
   "Tapi, kalian kalo mau sesuatu ya ngomong, jangan diem aja! Kalo kalian Cuma diem ya mana Melda tau kalian mau apa." Ucap ku dengan nada cukup tinggi.
     Mereka kemudian meminta maaf kepada Melda atas perbuatan mereka dan suasana kelas yang tadinya hening tenang berubah menjadi damai dan tentram. Kami kemudian memutuskan untuk istirahat sejenak dan melanjutkan latihan seperti biasa. Akhirnya tibalah hari dimana kami pentas. Suasananya sangat meriah dan megah bagaikan penyambutan presiden. Dengan persiapan 4 bulan, kami berhasil mmentaskan pentas kami dengan sangat baik bahkan dianggap yang terbaik seangkatan. Proses kami menyiapkan pentas memang panjang dan terjal penuh darah, keringat, dan air mata tapi proses dibalik itu lah yang membuat kami bisa menampilkan yang terbaik percaya pada proses dan jangan menyerah.
"Tidak ada sesuatu yang berharga yang datang dengan cepat. Percayalah pada prosesnya."
- Napz Cherub Pellazo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H