Jakarta Pusat, DKI Jakarta -- Sharafuddin, seorang da'i yang berasal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat, mendedikasikan lima tahun hidupnya untuk menyebarkan dakwah di wilayah terpencil, tepatnya di Pulau Banyak, Provinsi Aceh. Lulusan STID Mohammad Natsir ini memulai perjalanan dakwahnya pada tahun 2019, sebelum pandemi Covid-19 melanda dunia.
Sharafuddin bercerita bahwa perjalanannya menuju Pulau Banyak bukanlah hal yang mudah. Setelah menempuh perjalanan udara dari Jakarta ke Aceh, ia harus melanjutkan perjalanan darat selama 14 jam dari Banda Aceh ke Kabupaten Aceh Singkil. Dari sana, ia menyeberangi laut selama enam jam menggunakan kapal feri dan perahu kayu, yang tidak selalu tersedia setiap hari.
Pulau Banyak sendiri dulunya memiliki sekitar 90 pulau sebelum tsunami melanda Aceh pada tahun 2004, namun kini hanya tersisa 60 pulau. Meskipun kondisi pulau yang hilang timbul dan tantangan geografis, Sharaffudin tetap berusaha memberikan pengajaran kepada penduduk setempat.
Perjuangan Dakwah di Pulau Banyak
Berdakwah di Pulau Banyak bukanlah tugas yang mudah bagi Sharafuddin. Di beberapa pulau seperti Teluk Nibung, ia menghadapi tantangan besar. "Sebagian besar penduduk Teluk Nibung adalah mualaf, mayoritas dari mereka adalah orang Nias. Namun, mereka memberikan batasan kepada saya," ujarnya. Warga setempat mengarahkan beliau untuk berdakwah hanya kepada anak-anak, karena para orangtua sudah disibukkan dengan kegiatan berkebun dan melaut.
Di Desa Liang Liang, situasi tidak kalah menantang. Mayoritas penduduknya adalah mualaf, namun ada juga yang telah kembali ke keyakinan sebelumnya. Warga setempat memperingatkan Sharafuddin agar selalu berhati-hati, terutama dalam urusan makan dan minum. "Saya merasa inilah jalan dakwah yang harus saya lewati, meskipun tantangan terus ada," tambahnya.
Meski begitu, Sharafuddin tidak menyerah. Menurutnya, masyarakat Pulau Banyak menunjukkan antusiasme yang luar biasa terhadap kegiatan dakwah. Ia juga selalu berbaur dengan aktivitas sehari-hari mereka. Namun, tantangan lainnya adalah menghadapi tokoh masyarakat yang masih kuat memegang adat istiadat setempat. "Meskipun awalnya sulit, kami sudah mulai bisa berbaur dengan mereka," ungkapnya.
Misi Dakwah untuk Keluar dari Zona Nyaman
Ketika ditanya mengapa ia memilih berdakwah di Pulau Banyak, Sharafuddin menjawab, "Saya ingin keluar dari zona nyaman dan bertemu dengan masyarakat yang masih banyak non-muslim, yang meskipun bersosial tinggi, tetap harus dihadapi dengan kehati-hatian. Hal itu merupakan tantangan tersendiri bagi saya".
Semangatnya untuk berdakwah tidak pernah surut. Namun, ada juga saat-saat berat di mana Sharafuddin merasa tidak betah. Sharaffudin menjelaskan bahwa tantangan dalam berdakwah di daerah terpencil seperti Pulau Banyak tidak hanya berasal dari masyarakat, tetapi juga dari dalam diri sendiri. Saat merasa tidak betah, ia menghubungi orangtuanya untuk meminta doa. "Mungkin ini cara Allah SWT melihat keikhlasan saya dalam berdakwah di jalan-Nya," ungkapnya.
Kisah Menyentuh di Tengah Badai dan Keharuan Anak Mualaf
Sharafuddin juga berbagi pengalaman spiritualnya ketika terombang-ambing di tengah badai setelah sholat tarawih. Saat dalam perjalanan kembali ke Pulau Bale, perahunya diterjang badai besar. "Kami hanya bisa berdzikir dan berharap agar mesin perahu tetap menyala. Qadarullah, Allah SWT menyelamatkan kami," ujarnya penuh rasa syukur.
Tidak hanya itu, Sharafuddin merasa sangat tersentuh ketika melihat anak-anak non-muslim ikut belajar agama Islam bersama teman-teman mereka yang muslim. Salah satu anak tersebut bahkan akhirnya menjadi mualaf setelah melalui proses panjang. "Qadarullah, sekarang dia telah menjadi bagian dari umat Islam," tuturnya.
Momen Paling Berkesan
Salah satu momen yang paling berkesan bagi Sharafuddin adalah ketika ia hendak berpamitan dengan masyarakat Pulau Banyak. "Mereka mengantar saya ke dermaga dan banyak dari mereka menangis. Mereka tersentuh dengan kehadiran saya," kenangnya.
Salah satu kebanggaan terbesar Sharafuddin adalah ketika delapan anak tokoh adat dari Pulau Teluk Nibung memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di STDI Muhammad Natsir, tempat ia sendiri pernah belajar.
Dakwah di daerah terpencil seperti Pulau Banyak memang penuh tantangan, tetapi bagi Sharafuddin, itulah bagian dari perjuangan yang harus dilalui. Pulau Banyak mungkin terpencil, tetapi bagi Sharafuddin, wajah-wajah warganya akan selalu terpatri di ingatannya. "Pulau Banyak memang pulau yang terpencil, tetapi wajah-wajah warganya masih tergiang dalam ingatan saya," tutupnya penuh haru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H