Mohon tunggu...
Priyanto Sukandar
Priyanto Sukandar Mohon Tunggu... -

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Ini Solusi Menyelesaikan Pertikaian Telkomsel dan Indosat!

27 Juni 2016   11:40 Diperbarui: 27 Juni 2016   17:53 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi transparasi tarif seluler. Merdeka.com

Meski sudah berjalan lebih dari dua pekan, namun "Perang Mahabarata" antara Indosat Ooredoo dan Telkomsel nampaknya belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Lobi dan penggalangan opini terus dilakukan oleh Indosat Ooredoo. 

Bahkan terang-terangan Indosat Ooredoo mengajak operator lainnya seperti XL, Hutchison 3 Indonesia dan Smartfren untuk berjuang melawan dominasi Telkomsel di luar Jawa.

Namun ajakkan Indosat Ooredoo untuk melawan dominasi Telkomsel ditanggapi ‘dingin’ oleh XL, Hutchison 3 Indonesia dan Smartfren. Mereka lebih memilih wait and see dalam menyikapi ajakan melawan Telkomsel tersebut ini.

Hingga saat ini masih masyarakat Indonesia tak mengerti alasan mengapa Indosat Ooredoo ‘ngotot’ untuk berjihad melawan Telkomsel di luar Jawa dengan cara yang tak etis dan elegan. 

Usut punya usut, ternyata alasan Indosat Ooredoo melakukan perang opini di masyarakat lantaran anak usaha Ooredoo ini sudah kehabisan akal untuk memuluskan revisi PP 52 tahun 2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi dan PP 53 tahun 2000 tentang spectrum sharing. 

Mengapa dua aturan pemerintah tersebut didorong untuk harus direvisi? Apa yang melatarbelakanginya?

Meski hingga saat ini keberadaan draft revisi PP 52 Tahun 2000 dan PP 53 tahun 2000 masih misteri, namun inti dari beleid tersebut adalah untuk mengatur mengenai tata cara serta pelaksanaan network sharing dan spectrum sharing.

Informasi yang beredar di internal Indosat Ooredoo menyebutkan bahwa Telkomsel tak setuju dengan draft revisi PP 52 Tahun 2000 dan PP 53 tahun 2000. Bahkan Telkomsel berusaha dengan berbagai cara untuk menjegal revisi PP 52 Tahun 2000 dan PP 53 tahun 2000 tersebut. Alasan mereka tak setuju dengan dua draft revisi PP 52 Tahun 2000 dan PP 53 tahun 2000 dikarenakan akan menggangu bisnis Telkomsel.

Sementara di internal Telkomsel juga berkembang informasi yang menyebutkan bahwa revisi PP 52 Tahun 2000 dan PP 53 tahun 2000 merupakan titipan Indosat Ooredoo melalui pemerintah agar Telkomsel mau menerima dan melaksanakan network sharing dan spectrum sharing. 

Bahkan informasi yang beredar di internal Telkomsel menyebutkan dengan revisi PP 52 Tahun 2000 dan PP 53 tahun 2000 Indosat Ooredoo bisa langsung mendompleng jaringan yang telah dimiliki oleh Telkomsel.

Lalu bagaimanakah sebenarnya duduk perkara dari revisi PP 52 Tahun 2000 dan PP 53 tahun 2000? Bukannya ingin membela yang pro revisi atau yang kontra terhadap revisi  PP 52 Tahun 2000 dan PP 53 tahun 2000. Namun tulisan ini hanya mengkritisi dan berusaha mencari jalan terbaik untuk menyelesaikan pertarungan antara Indosat Ooredoo dan Telkomsel.

Di era globalisasi dan persaingan industri telekomunikasi yang semakin sengit, network sharing dan spectrum sharing adalah sesuatu keniscayaan. Terlebih lagi bagi operator yang cekak dalam keuangannya. Padahal industri telekomunikasi merupakan sektor yang ‘haus’ akan modal kerja.

Dengan network sharing dan spectrum sharing industri bisa mendapatkan manfaat lebih dikarenakan terjadi efesiensi. Operator tak perlu membangun sendiri jaringan di wilayah tertentu. Mereka cukup bekerjasama agar bisa memiliki jaringan di wilayah tertentu. Sehingga keinginan Indosat Ooredoo untuk melakukan network sharing dan spectrum sharing dapat dipahami. Terlebih lagi selama ini keuangan Indosat Ooredoo terbilang kurang baik.

Namun disisi yang lain kecemasan Telkomsel akan revisi dua aturan pemerintah tersebut dapat dipahami. Dengan adanya aturan network sharing dan spectrum sharing, Indosat Ooredoo atau operator lainnya akan dengan mudah menggunakan jaringan dan spektrum yang dimiliki Telkomsel. 

Telkomsel menganggap selama ini hanya Telkomsel yang konsisten menggelar jaringan telekomunikasinya hingga pelosok negeri. Sementara itu operator lainnya seperti Indosat Ooredoo terbilang ‘malas’ untuk menggelar jaringan khususnya di daerah terpencil dan kurang menguntungkan.

Padahal pada pasal 6 PP 52 Tahun 2000 sangat jelas tertulis, penyelenggaraan jaringan telekomunikasi wajib membangun dan atau menyediakan jaringan telekomunikasi. Kewajiban untuk membangun jaringan juga ditegaskan dalam Modern Licensing yang merupakan amanah Undang-Undang Telekomunikasi No. 36/1999. Modern Licensing disebutkan dengan jelas bahwa seluruh operator yang memperoleh izin lisensi penyelenggaraan layanan seluler diwajibkan menggelar infrastruktur jaringan diseluruh pelosok Indonesia.

Jika ingin menyelesaikan pertikaian antara Telkomsel dan Indosat Ooredoo diperlukan campur tangan dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Sebab pemerintahlah yang menjadi hakim dan regulator di industri telekomunikasi Indonesia. Jika ingin pertikaian ini selesai dengan damai, pemerintah harus bijaksana dan arif untuk mengakomodasi dua kepentingan yang berbeda tersebut.

Mungkin jalan tengah yang terbaik untuk menyelesaikan pertikaian antara Indosat Ooredoo dan Telkomsel adalah dengan adanya aturan dari pemerintah yang memberikan ruang kepada Indosat Ooredoo atau operator telekomunikasi yang ingin menjalankan network sharing dan spectrum sharing. Selain itu aturan yang akan keluar tersebut juga tak boleh melarang atau menjegal Indosat Ooredoo yang ingin melakukan network sharing dan spectrum sharing dengan operator lainnya.

Nantinya aturan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah juga bukan mewajibkan operator untuk melaksanakan network sharing dan spectrum sharing (mandatory). Namun aturan tersebut harus bersifat volantery atau sukarela. Jika dirasa menguntukan operator, skema network sharing dan spectrum sharing dapat dilaksanakan dengan sukarela melaui mekanisme business-to-business. Sehingga tak ada paksaan bagi Telkomsel untuk membuka jaringan dan spektrumnya untuk Indosat Ooredoo. Apa lagi jika ada paksaan tarif network sharing dan spectrum sharing diatur oleh pemerintah.

Analogi yang mudah dicerna untuk network sharing dan spectrum sharing seperti membangun apartmen. Telkomsel membangun apartmen (ibaratkan coverage jaringan) di berbagai wilayah Indonesia untuk melayani kepentingan pelanggannya. 

Telkomsel bisa memiliki opsi untuk menyewakan atau tidak unit apartmen yang dimilikinya. Jika dirasa masih ada cukup ruang, menguntungkan dan mendukung bisnisnya, maka Telkomsel bisa menyewakan.

Namun disisi yang lainnya jika Indosat Ooredoo mau membangun apartment secara bersama-sama dengan XL, Hutchison 3 Indonesia dan Smartfren guna mencukupi kebutuhan pelanggan mereka, Telkomsel tak boleh menghalang-halangi.

Mungkin selain isu network sharing dan spectrum sharing nantinya revisi regulasi tersebut juga harus mengakomodasi kemudahan operator yang hendak melakukan merger. Seperti kita ketahui bersama bahwa industri telekomunikasi merupakan sektor yang padat teknologi dan modal. 

Sehingga hanya yang memiliki modal kuat saja yang bisa terjun di sektor ini. Bagi yang modalnya nanggung atau tak mampu lagi menjalankan bisnis telekomunikasinya, dipermudah untuk melakukan merger atau likuidasi perusahaan.

Initinya untuk menyelesaikan pertikaian Telkomsel dan Indosat Ooredoo dalam network sharing dan spectrum sharing adalah dengan cara business-to-business. Tanpa harus adanya ‘pemerkosaan’ baik dari yang pro maupun kontra network sharing dan spectrum sharing.

Selain itu pemerintah juga dituntut untuk bertindak tegas dalam menilai komitmen pembangunan yang telah disepakati oleh para operator telekomunikasi ketika mereka mengambil izin penyelenggaraan jaringan. Jangan dibiarkan operator penyelenggara jaringan telekomunikasi dan internet yang ingkar terhadap komitment pembangunan untuk tetap beroperasi.

Selama ini Kominfo terbilang ‘mandul’ dalam menindak penyelenggara jaringan telekomunikasi dan internet yang tak memenuhi komitmen pembangunan. Ketika operator ini ingkar dalam komitmen pembangunan, maka akan menggangu rencana pemerintah dalam memenuhi hak dasar masyarakat khususnya dalam mendapatkan layanan telekomunikasi dan internet.

Jika mereka tak memenuhi komitmen pembangunan, Kominfo bisa segera mencabut izin penyelenggaraan yang telah mereka kantongi dan menyerahkan kepada pihak yang memiliki komitmen tinggi dalam membangun infrastruktur telekomunikasi di Indonesia. Agar pembangunan dan pemerataan telekomunikasi di Indonesia dapat segera tercapai.

Sehingga untuk menyelesaikan kegaduhan ini, kita membutuhkan kearifan dan kedewasaan semua pihak agar industri telekomunikasi bisa memberikan kontribusi yang positif bagi NKRI.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun