Mohon tunggu...
Priyanto Sukandar
Priyanto Sukandar Mohon Tunggu... -

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Money

Gugat! PM 32/2016 Bertentangan dengan UU

29 April 2016   12:26 Diperbarui: 29 April 2016   12:47 1311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi PEmesanan Angkutan Umum Berbasis Aplikasi

Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Alih-alih ingin memberangus angkutan umum berbasis aplikasi dengan PM 32 tahun 2016, namun kenyataannya regulasi yang dikeluarkan oleh Kementrian Perhubungan (Kemenhub) tersebut memiliki banyak kelemahan. Bahkan regulasi tersebut banyak bertentangan dengan Undang-Undang (UU).

Jika kita merujuk UU No 12 tahun 2011 pasal 96 huruf 1 ditulis, dalam pembentukan peraturan perundang-undangan peran masyarakat harus dilibatkan. Masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya di pasal yang sama di huruf 2 disebutkan masukan yang diberikan dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi; dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.

Namun kenyataannya di dalam proses pembuatan PM 32 tahun 2016, peran serta masyarakat diabaikan. Masyarakat dan pelaku usaha khususnya pengusaha angkutan umum berbasis aplikasi sama sekali tidak dimintai pendapatnya ketika regulasi ini dirancang oleh Kemenhub. Padahal di UU dinyatakan dengan jelas bahwa peran serta masyarakat perlu dilibatkan dalam pembuatan regulasi. Apalagi terhadap regulasi yang terbilang sensitif dan bernuansa persaingan bisnis yang hendak mematikan usaha angkutan umum berbasis aplikasi.

Selain itu PM 32 tahun 2016 kental akan nuansa keberpihakkan regulator kepada salahsatu moda transportasi. Pasal 2 UU 22/2009 menyebutkan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan memperhatikan asas transparan, asas akuntabel, asas berkelanjutan, asas partisipatif, asas bermanfaat, asas efisien dan efektif, asas seimbang, asas terpadu dan asas mandiri.

Jika kita melihat PM 32/2016 pasal 8 disebutkan taksi boleh menggunakan kendaraan minimal 1000 cc. Sedangkan penyelenggara angkutan sewa hanya diperbolehkan menggunakan kendaraan dengan minimum  1300 cc. Dimanakah asas seimbang yang diinginkan dalam UU transportasi tersebut?

Jika Menteri Jonan memaksakan agar aturan ini berjalan, bisa dipastikan beleid tersebut bertentangan dengan Pasal 198 UU 22/2009 huruf 1. Dalam UU tersebut disebutkan jasa angkutan umum harus dikembangkan menjadi industri jasa yang memenuhi standar pelayanan dan mendorong persaingan yang sehat.

Diskriminasi penggunaan cc kendaraan bermotor ini menunjukkan keberpihakkan Kemenhub kepada salahsatu pengusaha angkutan umum. Pemerintah berlaku tak adil dan mendorong persaingan tak sehat. Tentu saja beleid ini bertentangan dengan semangat UU transportasi yang telah dibuat oleh DPR dan pemerintah.

Selain peraturan yang dibuat pada era Menteri Jonan ini juga bernuansa ingin memberangus partisipasi masyarakat yang hendak berkontribusi dalam pengembangan angkutan umum. Di dalam UU 22/2009 pasal 7 tertulis jelas, Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam kegiatan pelayanan langsung kepada masyarakat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan hukum, dan/atau masyarakat.

Namun kenyataannya di dalam PM 32/2016 pasal 18 ayat 3 huruf C mensyaratkan STNK harus nama perusahaan. Tentu saja aturan ini bertentangan dengan UU Transportasi yang memiliki semangat asas partisipatif masyarakat, asas efisien dan efektif, asas seimbang dan asas mandiri.

PM 32/2016 pasal 18 ayat 3 huruf C  jelas-jelas mematikan peluang masyarakat yang selama ini telah menyelenggarakan angkutan sewa. Padahal di dalam pasal 7 UU 22/2009, masyarakat diperbolehkan untuk melakukan penyelenggaraan angkutan. Mereka tak diberi kesempatan untuk berusaha atau memulai usaha di sektor transportasi sewa. Padahal angkutan taksi, angkuatan pariwisata, angkutan pemukiman dan semua jenis angkutan yang diatur dalam PM 32/2016 tidak diwajibkan STNK harus nama perusahaan.

Kewajiban menggunakan nama perusahaan pada STNK, tidak ada korelasinya dengan keamanan dan keselamatan berlalu-lintas. Mungkin Menteri Jonan lupa tidak membaca UU 22/2009 pasal 64. Pada pasal tersebut jelas tertulis Registrasi Kendaraan Bermotor yang tertera dalam STNK bertujuan untuk tertib administrasi, mempermudah penyidikan pelanggaran dan/atau kejahatan.

Fungsi lainnya dari resgistrasi kendaraan bermotor adalah untuk pembayaran pajak kendaraan bermotor dan pembayaran Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (pasal 67 UU 22/2009). Sehingga jelas STNK dengan menggunakan nama perusahaan tidak ada korelasinya dengan keamanan dan keselamatan berlalulintas. Tentu saja aturan menteri ini sangat berpihak kepada salahsatu moda transportasi umum.

Yang aneh dari peraturan Kemenhub lainnya adalah melarang penyedia aplikasi mengatur tarif angkutan sewa. Bahkan dalam waktu dekat Kemenhub akan menggeluarkan aturan yang mengatur tarif angkutan umum berbasis aplikasi.

Kembali kepada filosofi awal, penyelenggaraan angkutan umum  seharunya menjadi tanggung jawab pemerintah (UU 22/2009 pasal 138 angka 2 dan pasal  197). Jika pemerintah yang melaksanakan penyelenggaraan angkutan umum, pemerintah berhak mengatur tarif. Namun kenyataannya menunjukan angkutan umum berbasis aplikasi ini dilaksanakan dan diselenggarakan oleh masyarakat. Tanpa bantuan atau subsidi dari pemerintah.

Secara kasat mata jelas terlihat Kemenhub sudah memposisikan sebagai pengusaha. Bukan lagi sebagai regulator yang seharunya adil dan berdiri disemua golongan. Nampaknya hanya Kementrian yang dipimpin Menteri Jonan saja yang berlaku bak pengusaha. Bukan seperti regulator. Jika kita melihat kembali UU transportasi, jelas tertulis tugas dan fungsi pemerintah adalah melakukan pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Bukan mengatur tarif angkutan umum.

Kemenhub mungkin sudah tak mau membaca secara rinci UU transportasi. Dalam UU /2009 Pasal 183 angka 2 dijelaskan, tarif Penumpang untuk angkutan orang tidak dalam trayek dengan tujuan tertentu, pariwisata, dan di kawasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengguna Jasa dan Perusahaan Angkutan Umum.

Pada pasal 213 jelas tertulis kewajiban pemerintah adalah melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap Perusahaan Angkutan Umum. Bukan menentukan tarif. Sehingga jika pemerintah mengatur tarif atau melarang perusahaan aplikasi menentukan tarif, tentu saja aturan tersebut bertentangan dengan UU.

Mungkin Menteri Jonan masih terbawa pemikirannya ketika beliau masih di PT Kereta Api Persero. Memang pemerintah bisa mengatur tarif kereta api. Wajar saja pemerintah mengatur tarif kereta api atau tarif angkutan umum plat kuning. Ini disebabkan PT KAI dan para pengusaha angkutan umum mendapatkan bantuan atau subsidi dana dari pemerintah. Berbeda dengan angkutan umum berbasis aplikasi yang menggunakan plat hitam. Mereka tak menerima subsidi sepeser pun dari pemerintah.

Jika ingin menjadi regulator yang benar, seharusnya Kemenhub mau mencontoh Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Kominfo tak pernah mengatur tarif komunikasi yang dilakukan oleh operator telekomunikasi. Pemerintah hanya mengatur biaya interkoneksi saja. Selebihnya tarif on nett diserahkan kepada mekanisme business to business.

Karena banyaknya aturan yang bertentangan dengan UU, maka masyarakat patut untuk mempertimbangkan melakukan gugatan kepada pemerintah melalui class action atau menempuh judicial review.

Semoga dengan adanya gugatan hukum dari masyarakat ini membuat pemerintah kembali ke ‘khittah’ awalnya yaitu sebagai regulator. Bukan sebagai lembaga yang bisa ditunggangi oleh pengusaha culas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun