Lihat berita baru-baru ini di Pekanbaru tentang kebakaran lahan? Begitulah gambaran susahnya tinggal di tanah gambut. Ketika musim kemarau percikan api sekecil apapun bisa berbahaya.Â
Ladang garapan keluarga saya juga pernah terkena dampaknya. Tinggal nunggu panen, eh malah ludes kebakaran. Penyebabnya puntung rokok yang dibuang sembarangan. Asap, debu, dan panas adalah teman keseharian selama musim kemarau datang.
Soal ketersediaan air, di Pulau Burung memang lebih melimpah. Hal ini juga menjadi karakteristik gambut yang terkenal menyimpan banyak kandungan air. Gali saja satu meter, air sudah mengalir dari sela-sela tanah. Meski demikian, tidak lantas menjadi kebahagiaan.
Menurut penelitian, konsumsi air gambut dapat berdampak pada kesehatan. Pasalnya, karakteristik yang dimiliki tidak sesuai untuk keperluan mendasar sehari-hari. Karakteristik yang paling ketara adalah bau, rasa, dan warnanya. Contohnya saja di tempat tinggal saya. Warna air pekat dan rasanya asam. Anda tahu bagaimana kalau dedaunan atau zat organik lainnya dibiarkan membusuk dalam tanah? Ya begitulah kira-kira baunya.
Pada dasarnya, air gambut tidak memenuhi standar untuk digunakan dalam beberapa keperluan. Hal ini dapat dipahami bila menilik perbandingan antara ketentuan Permenkes Nomor 32 Tahun 2017 jo. Permenkes Nomor 492 Tahun 2010 dengan beberapa penelitian. Nggak percaya? Simak saja infografis di bawah ini!
Harus diakui-di tempat saya-air gambut mudah ditemukan. Akan tetapi, tak pula menjadi jaminan layak digunakan. Setidaknya itulah kesaksian atas apa yang saya dan keluarga alami hingga detik ini. Sehingga menjadi dalih untuk menggunakan air hujan.
Menampung Hujan: Kebiasaan Sederhana, Manfaat Luar Biasa
Berbeda dengan Jawa, masayarakat Kabupaten Indragiri Hilir adalah masyarakat yang gemar menggunakan air hujan untuk kehidupan. Rilis Beritagar.id membuktikan, 85,62% rumah tangga di kabupaten ini telah menyadari bahwa air hujan dapat menjadi alternatif dalam memenuhi kebutuhan air minum. Bangganya, keluarga saya adalah bagian dari 85,62% tersebut.
Kesadaran itu diwujudkan dalam sebuah kebiasaan sederhana. Ya, sesederhana membuka empat tong besar ketika hujan turun untuk menampungnya. Setahu saya, kebiasaan ini telah dilakukan sejak awal transmigrasi ke Pulau Burung pada tahun 1996. Menariknya, usia tong penampung itu sama dengan lamanya kami hidup di daerah trans ini.