Mohon tunggu...
Rilo PambudiS
Rilo PambudiS Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepulauan Riau. Pengelana yang haus kesuksesan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Gagasan Raja Ali Haji tentang Keadilan

5 Mei 2019   16:54 Diperbarui: 5 Mei 2019   16:58 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gagasan mengenai keadilan yang dicanangkan oleh Raja Ali Haji dapat dilihat pada dua sumber utama yaitu buku Muqaddimah fi Intizam yang merupakan uraian mengenai nasehat dan petunjuk dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan yang secara khusus ditujukan kepada Yang Dipertuan Muda Riau VIII, Raja Ali bin Raja Ja'far. 

Raja Ali Haji menekankan pentingnya seorang raja memahami hukum syariat Islam yang ditunjukkan Allah SWT agar terciptanya keadilan. Artinya hukum yang dikehendaki merupakan hukum yang bersumber pada ajaran Islam yakni Al-Quran dan hadits, dengan begitu barulah keadilan dapat diwujudkan. Sebab baginya kepemimpinan merupakan seni mengurus manusia yaitu seni mengurus berbagai perbedaan sifat dan perilaku manusia. Dan pemimpin yang baik dan efektif adalah pemimpin yang mampu mengatasi tantangan pelbagai pandangan dan sifat manusia secara bijaksana.

Menelusuri konsep keadilan dalam pemikiran Raja Ali Haji sebenarnya tersebar dalam berbagai karya beliau, sebab Raja Ali Haji menyadari betapa urgensinya prinsip keadilan. Khususnya dalam Tsamarat, Raja Ali Haji memberikan pemaknaan yang mendalam mengenai adil. Namun, beliau terlebih dahulu mengungkapkan makna daripada zalim yang merupakan lawan dari adil. Menurutnya, dari segi bahasa, zalim bermaksud kelam yakni kelam daripada membedakan hak dengan batil. Adapun dari segi istilah shara', zalim adalah melakukan atas seseorang bukan dengan sebenarnya ada sama daripada hukuman atau kelakuan yang menyalahi dengan hukuman Al-Quran dan Hadits dan Ijma.[1]

Sedangkan adil ialah menghukumkan atau melakukan sesuatu atas seseorang dengan patutnya dengan mufakat dengan Quran, Hadits, dan Ijma' atau melakukan sesuatu yang dibilangkan indah dan patut serta manfaat kepada orang yang benar dan kepada orang yang mempunyai mata hati.[2]

Konsep keadilan yang disampaikan oleh Raja Ali Haji dapat dikategorikan sebagai pemikiran konsep keadilan pada masa modern. Sebagaimana diungkapkan Rudolph Heimanson bahwa keadilan merupakan "redressing a wrong, finding a balance between legitimate but conflicting interest".[3] Berdasarkan definisi tersebut menjelaskan bahwa  keadilan terletak pada tujuan hukum. Ide keadilan tercermin dalam keputusan yang menentang dilakukannya hukuman yang kejam, melarang penghukuman untuk kedua kalinya terhadap kesalahan yang sama. Menolak diterapkannya peraturan hukum yang menjatuhkan pidana terhadap tindakan yang dilakukan sebelum ada peraturan yang mengaturnya, menolak pembentukan undang-undang yang menghapus hak-hak dan harta benda seseorang.

Meski demikian, Raja Ali Haji di awal menjelaskan bahwa setiap pemikiran harus bersandar pada ajaran Islam, dalam hal ini pula konsep keadilan yang dikehendaki ialah keadilan yang berlandaskan pada agama bukan akal semata. Oleh sebab itu keadilan dalam falsafah politik Islam bukan merupakan tujuan atau alat melainkan hasil yang hendak dicapai. Hal itu akan tercapai apabila asas-asas dalam syariat Islam dapat terlaksana. Bahkan Al-Mawardi mengatakan bahwa tujuan politik Islam bukan melaksanakan keadilan melainkan menjaga agama. Menurutnya dengan menjaga agama (hukum Allah) maka keadilan akan terwujud[4].

Hampir serupa, Al-Ghazali juga menegaskan bahwa keadilan merupakan cabang sedangkan asas-asas agama merupakan akar, maka tanpa akar yang teguh sebuah pohon tidak akan tegak dan subur, dan keadilan sebagai cabang tidak akan terbit.[5]

Menyimpulkan dua pendapat di atas, dapat dimaknai bahwa keadilan bersumber pada agama, sebab agama merupakan bagian fundamental. Oleh karenanya pemimpin yang menjalankan dan menegakkan agama, keniscayaan kemakmuran dan keadilan umat akan tercapai. Sebaliknya keadilan itu tidak akan terwujud ketika seorang raja menyimpangi hukum agama atau bahkan bertentangan dengan hukum tadi karena keputusan yang diambil sudah barang tentu jauh dari kebenaran hakiki. Hal ini sesuai nukilan yang dibuat oleh Raja Ali Haji:

"...jika terkena kepada perkara agama hendaklah rujuk kepada kitab Allah dan dinamakan perkara syariat dan rujuklah kepada siyasat al-ulama mengambil mensyuarat kepada ulama jika tiada memadai kepada pengetahuan qadi...., syahdan, jika terkena perkara yang bersalah-salahan itu kepada qanun dan adat rujuklah kepada undang-undang atau atsar yakni bekas dan resam yang sudah dijalankan raja-raja dan orang besar-besar yang dahulu-dahulu yang dibilangkan insaf yang tiada melanggar syariat..."[6]

Berdasarkan pernyataan di atas, sejatinya keberlakuan suatu hukum adat tidak dapat dipisahkan dengan hukum Islam, karena dalam dunia Melayu, hukum adat bersumber pada hukum Islam. Sebagaimana falasah yang berlaku dalam hukum adat melayu yakni adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah. 

 Perbandingan dengan Pemikiran Tokoh Lainnya

Perihal konsep keadilan bukanlah suatu pembahasan baru, konstruksi mengenai keadilan telah terjadi sejak masa peradaban Yunani Kuno. Bahder Johan[7] dalam penelitiannya telah membagi klasifikasi pemikiran mengenai keadilan dalam tiga bagian, yaitu zaman klasik, modern, dan konsep keadilan sebagai ide hukum. Dalam pemikiran klasik, menurut Poejawijatna, pemikiran para filsuf zaman ini mengarah pada dua golongan objek. Pertama, objek materia yaitu segala sesuatu yang ada atau yang mungkin ada, yakni kesemestaan, baik yang konkrit maupun abstrak termasuk nilai-nilai kebenaran, demokrasi, dan keadilan. Kedua, objek forma yakni sudut pandang atau tujuan dari penyelidikan terhadap objek materia. Dalam arti menemukan kebenaran dari objek materia tersebut.

Plato mengungkapkan bahwa keadilan tidak dikaitkan secara langsung dengan hukum. Menurutnya keadilan dan tata hukum merupakan substansi umum dari suatu masyarakat yang membentuk dan menjaga kesatuannya. Konsep keadilan yang Plato sampaikan terangkum dalam pendapatnya yaitu giving each man his due berarti memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (keadilan individual). Keadilan itu dapat terwujud apabila dibuat suatu undang-undang yang kemudian ditegakkan oleh negara.[8]

Mengenai pemikiran keadilan zaman klasik, kurang rasanya apabila tidak membahas konsep keadilan dari Aristoteles. Secara umum, Aristoteles membagi konsep keadilan menjadi keadilan distributif dan kumulatif. Keadilan distributif berarti setiap keadilan diberikan kepada setiap orang secara proporsional berdasarkan jasa yang diberikan. Sedangkan keadilan kumulatif merupakan keadilan yang diberikan secara setara kepada setiap individu.

 Dalam perkembangan negara hukum modern, terjadi pergeseran bahwa negara wajib turut serta dalam setiap lapangan kehidupan masyarakatnya. Tujuan daripada suatu negara untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Hal ini juga tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran mengenai konsep keadilan zaman modern. Pemikiran itu kemudian melahirkan mazhab-mazhab berbeda. Misalnya Jeremy Betham dalam teori utilitarianisme, yang menyatakan bahwa hukum harus memberikan kebahagiaan bagi sebanyak-banyaknya orang. Sedangkan dalam paham liberal, keadilan berangkat dari free will (kehendak bebas). Karena dalam paham liberal identik dengan individualisme, yaitu jaminan atas hak tiap-tiap individu.

 Dalam perkembangannya, konsep keadilan kemudian menjadi sulit untuk dimaknai sebab ukuran keadilan memiliki takaran yang berbeda-beda. Dr. Oksep Adhayanto dalam perkuliahan Pengantar Ilmu Hukum menyatakan bahwa sulit untuk menentukan apa yang dikatakan adil. Pada dasarnya adil tidak memiliki tolak ukur yang sama, berbeda dengan kebenaran yang bisa diukur. Jika dilihat, hampir sebagian besar pemikir konsep keadilan dari barat menekankan pada falsafah humanisme. Manusia ditempatkan menjadi sentral dan tolak ukurnya.[9]

 Di sinilah kiranya, kelebihan dari pemikiran Raja Ali Haji mengenai konsep keadilan dibandingkan dengan pemikiran pakar dari barat kebanyakan. Raja Ali Haji tidak menghilangkan ketuhanan, sehingga menempatkan Tuhan sebagai posisi sentral, dengan begitu nilai keadilan tetap memiliki tolak ukur. Tolak ukurnya bukan pada kebenaran yang bersumber pada subjektivitas setiap orang sebagai individu maupun kelompok, namun kebenaran yang memang bersumber langsung dari Tuhan dalam ajaran agama yang diturunkan (Islam). 

Konstruksi keadilan dalam pemikiran Raja Ali Haji sangat relevan dengan pandangan hidup manusia dibandingkan dengan teori politik yang lahir dari prinsip humanisme di atas. Mengenal Allah, diri, dunia, dan akhirat merupakan aktualisasi keadilan dalam diri seseorang yang akan dipancarkan kepada diri, masyarakat, lingkungan, dan bangsanya. Lebih jauh dikatakan bahwa konsep keadilan tersebut dalam diisntitusikan dalam bentuk negara, badan-badan, maupun ekonomi[10]. Dalam Tsamarat, konsep tersebut kemudian diaktualisasikan dalam teori dan praktis pelaksanaan sebuah kerajaan. Yang kemudian bukan sebagai pembenaran namun lebih kepada nasehat atau pedoman bagaimana menjalankan negara/kerajaan demi tercapainya kesejahteraan seluruh rakyat dalam negeri tersebut.

 

[1] Raja Ali Haji. Tsamarat al-Muhimmah. Lingga: Pejabat Kerajaan Lingga, 1887, hlm. 14-15.

   

[2] Ibid.

   

[3] Rudolf Heimanson. Dictionary of Political Science and Law. Dobbs Fery: Oceana Publication, 1967, hlm 96.

   

[4] Al-Mawardi. Al-Ahkam al-Sultaniyyah, Ahmad Mubarak al-Baghdadi (ed.). Kuwait: Maktabah Dar Ibn Qutaybah, 1989, hlm. 5.

   

[5] Al-Ghazali, Abu Hamid. al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk. Kaherah dan Beirut: Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah dan Dar Ibn Zaydu, 1987, hlm. 10.

   

[6] Pasal 4 Tsamarat al-Muhimmah, hlm 101-103.

   

[7] Bahder Johan Nasution. "Kajian Filosofis tentang Konsep Keadilan dari Pemikiran Klasik sampai Pemikiran Modern." Jurnal Yustisia, 2014, Vol. 3, No. 2, hlm 119.

   

[8] Ibid, hlm 120-121.

   

[9] Edi Kurniawan. Raja Ali Haji dan Perbendaharaan Melayu. Catatan Diskusi Lapak Ngota-Ngota, 2017, hlm. 3.

   

[10] Ibid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun