Perihal konsep keadilan bukanlah suatu pembahasan baru, konstruksi mengenai keadilan telah terjadi sejak masa peradaban Yunani Kuno. Bahder Johan[7] dalam penelitiannya telah membagi klasifikasi pemikiran mengenai keadilan dalam tiga bagian, yaitu zaman klasik, modern, dan konsep keadilan sebagai ide hukum. Dalam pemikiran klasik, menurut Poejawijatna, pemikiran para filsuf zaman ini mengarah pada dua golongan objek. Pertama, objek materia yaitu segala sesuatu yang ada atau yang mungkin ada, yakni kesemestaan, baik yang konkrit maupun abstrak termasuk nilai-nilai kebenaran, demokrasi, dan keadilan. Kedua, objek forma yakni sudut pandang atau tujuan dari penyelidikan terhadap objek materia. Dalam arti menemukan kebenaran dari objek materia tersebut.
Plato mengungkapkan bahwa keadilan tidak dikaitkan secara langsung dengan hukum. Menurutnya keadilan dan tata hukum merupakan substansi umum dari suatu masyarakat yang membentuk dan menjaga kesatuannya. Konsep keadilan yang Plato sampaikan terangkum dalam pendapatnya yaitu giving each man his due berarti memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (keadilan individual). Keadilan itu dapat terwujud apabila dibuat suatu undang-undang yang kemudian ditegakkan oleh negara.[8]
Mengenai pemikiran keadilan zaman klasik, kurang rasanya apabila tidak membahas konsep keadilan dari Aristoteles. Secara umum, Aristoteles membagi konsep keadilan menjadi keadilan distributif dan kumulatif. Keadilan distributif berarti setiap keadilan diberikan kepada setiap orang secara proporsional berdasarkan jasa yang diberikan. Sedangkan keadilan kumulatif merupakan keadilan yang diberikan secara setara kepada setiap individu.
 Dalam perkembangan negara hukum modern, terjadi pergeseran bahwa negara wajib turut serta dalam setiap lapangan kehidupan masyarakatnya. Tujuan daripada suatu negara untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Hal ini juga tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran mengenai konsep keadilan zaman modern. Pemikiran itu kemudian melahirkan mazhab-mazhab berbeda. Misalnya Jeremy Betham dalam teori utilitarianisme, yang menyatakan bahwa hukum harus memberikan kebahagiaan bagi sebanyak-banyaknya orang. Sedangkan dalam paham liberal, keadilan berangkat dari free will (kehendak bebas). Karena dalam paham liberal identik dengan individualisme, yaitu jaminan atas hak tiap-tiap individu.
 Dalam perkembangannya, konsep keadilan kemudian menjadi sulit untuk dimaknai sebab ukuran keadilan memiliki takaran yang berbeda-beda. Dr. Oksep Adhayanto dalam perkuliahan Pengantar Ilmu Hukum menyatakan bahwa sulit untuk menentukan apa yang dikatakan adil. Pada dasarnya adil tidak memiliki tolak ukur yang sama, berbeda dengan kebenaran yang bisa diukur. Jika dilihat, hampir sebagian besar pemikir konsep keadilan dari barat menekankan pada falsafah humanisme. Manusia ditempatkan menjadi sentral dan tolak ukurnya.[9]
 Di sinilah kiranya, kelebihan dari pemikiran Raja Ali Haji mengenai konsep keadilan dibandingkan dengan pemikiran pakar dari barat kebanyakan. Raja Ali Haji tidak menghilangkan ketuhanan, sehingga menempatkan Tuhan sebagai posisi sentral, dengan begitu nilai keadilan tetap memiliki tolak ukur. Tolak ukurnya bukan pada kebenaran yang bersumber pada subjektivitas setiap orang sebagai individu maupun kelompok, namun kebenaran yang memang bersumber langsung dari Tuhan dalam ajaran agama yang diturunkan (Islam).Â
Konstruksi keadilan dalam pemikiran Raja Ali Haji sangat relevan dengan pandangan hidup manusia dibandingkan dengan teori politik yang lahir dari prinsip humanisme di atas. Mengenal Allah, diri, dunia, dan akhirat merupakan aktualisasi keadilan dalam diri seseorang yang akan dipancarkan kepada diri, masyarakat, lingkungan, dan bangsanya. Lebih jauh dikatakan bahwa konsep keadilan tersebut dalam diisntitusikan dalam bentuk negara, badan-badan, maupun ekonomi[10]. Dalam Tsamarat, konsep tersebut kemudian diaktualisasikan dalam teori dan praktis pelaksanaan sebuah kerajaan. Yang kemudian bukan sebagai pembenaran namun lebih kepada nasehat atau pedoman bagaimana menjalankan negara/kerajaan demi tercapainya kesejahteraan seluruh rakyat dalam negeri tersebut.
Â
[1] Raja Ali Haji. Tsamarat al-Muhimmah. Lingga: Pejabat Kerajaan Lingga, 1887, hlm. 14-15.
 Â
[2] Ibid.