Gara-gara penerapan PSAK 73, menyebabkan beban "kontrak sewa-jangka-panjang (kontrak sewa yang masa sewanya lebih dari 1 tahun)", harus dikapitalisasi menjadi "aset hak guna", yang nilainya sebesar present value dari "total nilai kontrak sewa sampai dengan akhir masa sewa". Akibatnya pembayaran "beban sewa jangka-panjang", termasuk pembayaran "uang muka sewa-jangka-panjang", setelah diterapkannya PSAK 73, dianggap sebagai "aktifitas investasi" atau CAPEX. Â Sebab perusahaan dianggap telah membeli aset yang bernama "aset hak guna". Â Oleh karena itu, aktifitas pembayaran "kas" dikelompokan pada "pembayaran kas aktifitas investing (Cash Flows from Investing activities (CFI))".
Selain itu akibat kapitalisasi sewa menjadi "aset hak guna", maka pada awal periode sewa, akan terjadi selisih antara "uang yang dibayarkan" dengan pengakuan nilai "aset hak guna" yang telah dikapitalisasi, dan atas selisih tersebut dianggap sebagai terutang, yang tercatat menjadi bagian dari aktifitas financing (Cash Flows from Financing activities (CFF)). Sehingga atas utang yang timbul dari transaksi sewa-jangka panjang, dianggap bukan sebagai "utang dagang". Oleh karena itu pembayaran rutin masa sewa-jangka-panjang kepada vendor, dianggap sebagai pembayaran "utang sewa" yang kemudian dicatat sebagai pembayaran kas pada aktifitas CFF.
Adapun sebelum penerapan PSAK 73, perlakuan atas "sewa-jangka-panjang", yaitu ketika terjadi pembayaran sewa periodical (bulanan / tahunan) dikelompokan sebagai pembayaran beban operasional (OPEX) periode berjalan, atau bila telah diakui sebagai utang, maka pembayaran sewa dianggap sebagai pembayaran "utang dagang". Sehingga pembayaran beban sewa / utang dagang tersebut dikelompokan sebagai pembayaran pada aktifitas operation (cash flows from operating activity (CFO), yang akan mengurangkan nilai CFO.
Selain itu, karena" pembayaran liabilitas sewa" telah menjadi aktifitas financing, maka secara otomatis akan timbul "beban bunga", dimana beban bunga tersebut bukan beban bunga yang sebenarnya.
Beban bunga tersebut timbul dalam pembukuan, disebabkan adanya selisih antara "present value dari nilai kontrak sewa-jangka-panjang" dengan "total nilai kontrak sewa-jangka-panjang". Padahal faktanya, bahwa vendor penyedia bangunan sewa-jangka-panjang tidak perduli dan  tidak pernah memperhitungkan beban bunga pada saat menyewakan bangunan kepada emiten. Vendor hanya concern menagih uang sewa bulanan / tahunan tepat waktu.  Tetapi karena penerapan PSAK 73, atas tagihan sewa oleh vendor, kemudian di dalamnya seolah-olah terdapat komponen tagihan "beban bunga" yang jumlahnya dihitung sendiri oleh emiten.
Selain itu oleh PZZA pembayaran beban bunga tidak dicatat sebagai bagian dari pembayaran aktifitas OPEX / CFO, melainkan dicatat sebagai pembayaran beban CFF, maka CFO emiten akan semakin membesar, sebab komponen pembayaran beban bunga tidak mengurangi jumlah CFO periode berjalan. Sebagai informasi, kebanyakan emiten lain lebih memilih, untuk mengelompokan pembayaran "beban bunga" sebagai aktifitas pembayaran pada CFO (bukan CFF).
Jadi jangan heran, apalagi ke GEERAN, kalau membaca LK PZZA tahun 2021,dimana jumlah laba hanya Rp. 80,5 miliar, tetapi mampu menghasilkan surplus CFO sebesar Rp. 468,5 miliar. Salah satu penyebab utamanya adalah "penerapan PSAK 73", yang menyebabkan seluruh pembayaran terkait dengan sewa jangka panjang, seperti pembayaran sewa rutin periodical (bulanan / tahunan), pembayaran "uang muka sewa-jangka-panjang" yang dahulunya dikelompokan menjadi pembayaran aktivitas Operasional OPEX atau CFO, sekarang (setelah PSAK 73 diterapkan) dikelompokan menjadi pembayaran pada aktifitas CFI dan CFF, atau CAPEX.
Jika perhitungan CFO dikoreksi seperti sebelum berlakunya PSAK 73, maka;
Total beban sewajangka-panjang, yang telah dibayar = Penambahan aset-hak-guna + Pembayaran liabilitas sewa + Pembayaran bunga utang sewa (CLK 17) = 94,6 miliar + 59,6 miliar + 9 miliar = Rp. 163,2 miliar.
Kemudian, total beban sewa-jangka-panjang tersebut di atas, dianggap sebagai pembayaran kas pada aktifitas CFO, akibatnya jumlah CFO saat ini, turun menjadi = 468,5 miliar -- 163,2 miliar = Rp. 305,3 miliar.
Namun demikian, memang jumlah CFO yang telah disesuaikan (Rp. 305,3 miliar), jumlahnya masih jauh melebihi laba bersih yang hanya sebesar Rp. 80,5 miliar, tetapi itu adalah normal-normal saja, sebab penyebab utamanya adalah terdapat beban non-cash penyusutan asset tetap sebesar Rp. 201,5 miliar.
Sehingga jika laba bersih ditambahkan dengan beban non-cash penyusutan, secara teoritis, jumlah CFO seharusnya sebesar = 80,5 miliar + Rp. 201,5 miliar = Rp. 282,1 miliar.
Jika dibandingkan dengan CFO yang telah disesuaikan sebesar Rp. 305,3 miliar, maka selisihnya sudah tidak membagongkan lagi, yaitu hanya sebesar = 305,3 miliar -- 282,1 miliar = Rp. 23 miliar. Â Adapun penyebab utama selisih tersebut adalah; karena PZZA memilih kebijakan untuk mengelompokan beban bunga sebesar Rp. 24,1 miliar sebagai CFF, bukan CFO. Akibatnya beban bunga tidak mengurangi nilai CFO, atau seolah-olah CFO menjadi lebih besar dibandingkan dengan CFO yang seharusnya sebesar Rp. 24,1 miliar.
Jadi jangan ke GEER dulu melihat kinerja CFO PZZA, yang pada tahun 2020 hanya menghasilkan CFO sebesar Rp. 204,2 miliar tiba-tiba CFO tahun 2021 terbang kelangit menjadi Rp. 468,5 miliar.
Demikian semoga dapat menjawab pertanyaan yang disampaikan kepada saya.
Sumber LK PZZA tahun 2021 : https://www.idx.co.id/Portals/0/StaticData/ListedCompanies/Corporate_Actions/New_Info_JSX/Jenis_Informasi/01_Laporan_Keuangan/02_Soft_Copy_Laporan_Keuangan//Laporan%20Keuangan%20Tahun%202021/Audit/PZZA/Released%20FS%20-%20SMK_2021%20Q4.pdf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H