Membeli saham itu ibarat membeli bisnis, dan "membeli bisnis" tidak sama dengan "jual-beli bisnis". Perbedaannya, "jual-beli bisnis" yang diharapkan adalah "capital gain", sedangkan membeli bisnis yang diharapkan adalah "hasil dari bisnis", hasil dari bisnis yang masuk ke dalam kantong pemilik bisnis disebut "dividend".
Tantangan terbesar untuk anda yang berprinsip membeli saham adalah membeli bisnis, adalah, mendapatkan fakta, bahwa jumlah dividend tidak stabil, jumlahnya mungkin turun, mungkin juga naik mengikuti kinerja bisnis. Bahkan tidak jarang perusahaan yang sedang untung, malahan tidak membayar dividen atau sebaliknya yang rugi malah tetap membayar dividen.
Mungkin pendirian anda membeli saham adalah membeli bisnis menjadi goyah, setelah menyadari bahwa return dari dividend tidak menarik lagi dan ada ketidakpastian. Lalu bagaimana membuat membeli saham sebagai bisnis menjadi tetap menarik?
Jawabnya gabungkan saja, bagaimana caranya kita mendapatkan "dividend" dan sekaligus mendapatkan "capital gain". Hal ini sah-sah saja dilakukan, tidak ada yang melarang, mumpung adanya fakta bahwa pada akhirnya para pembeli saham beraliran fundamental dan tehnikal, akan bertemu pada pilihan 1-2 saham yang sama. Aliran tehnikal inilah yang menciptakana harga saham yang dibeli oleh investor aliran fundamental menjadi naik dan turun, bahkan terkadang fluktuasi harga saham terlalu liar.
Sebagai fundamentalis maka strategi saya adalah memanfaatkan momen tersebut. Caranya dengan mengalokasikan saham sedemikian rupa, yaitu sebagian saham dialokasikan untuk tujuan investasi (mengharapkan dividend) dan sebagian lagi untuk trading atau jual-beli saham mencari capital gain. Misalnya, berdasarkan teori risk-reward saya membatasi hanya akan membeli saham $TLKM sebanyak-banyaknya 100 lot. Karena akan melakukan aktivitas trading, saya akan menambah pembelian jumlah lot, hingga maksimal memiliki saham TLKM sebanyak 200 lot. Dimana jumlah saham sebanyak 100 lot pertama untuk tujuan investasi, dan 100 lot berikutnya untuk tujuan trading.
Artinya jika hanya memiliki 100 lot maka tidak ada aktivitas trading, seluruh saham menjadi saham investasi yang tidak akan dijual kecuali kinerja perusahaan memburuk. Dan jika melebihi 100 lot, misalnya 150 lot, maka 50 lot akan dijadikan sebagai saham trading, yang memanfaatkan harga saham naik dan turun, untuk mencari cuan dari jual-beli (capital gain).
Saya akan melakukan swing trade alias "Tek-tok" dengan cara yang tidak ngoyo, awal market buka pasang posisi beli dan jual sesuai dengan harga yang diinginkan. Penutupan hanya tinggal tunggu hasilnya. Jika belum done transaksinya, akan diulangi terus setiap hari, sambil disesuaikan harganya dengan kondisi market pada saat itu. Itu sebabnya ini tidak cocok jika menggunakan menu GTC.
Capital gain harus dianggap sebagai pengurang "harga pembelian modal /rata-rata saham yang tersisa". Demikian juga dengan dividend, harus dianggap sebagai pengurang "harga pembelian modal /rata-rata saham yang tersisa". Mindset seperti ini penting ditanamkan, agar supaya dapat menghargai investasi anda. Investasi boleh disebut untung atau menghasilkan, hanya jika modalnya sudah kembali, tetapi investasinya masih dimiliki (tidak dijual).
Sayangnya aplikasi sekuritas, hanya mampu menghitung penurunan harga beli rata-rata yang diakibatkan membeli tambahan saham pada harga bawah (average down). Aplikasi tidak akan sanggup menghitung penurunan harga beli rata-rata karena adanya capital gain tektok dan dividend. Oleh karena itu harus dibuat perhitungan tersendiri, misalnya menggunakan spread sheet dari excel untuk menghitung harga beli modal rata-rata efektif, setelah melakukan jual-beli saham "tek-tok.
Lama-kelamaan, harga beli modal rata-rata akan turun dan menjadi = 0, Pada saat harga beli / modal rata-rata = 0, posisi anda disebut telah mencapai titik "break-even". Yang menarik lagi, jika masih dilanjutkan tek-tok, setelah harga beli / modal rata-rata = 0, maka harga beli modal rata-rata akan turun menjadi minus. Pada saat harga beli / modal rata-rata = minus, maka anda dalam posisi "untung terus".
Jika pada saat harga modal = 0, atau bahkan minus, dan anda mendapatkan penurunan kinerja emiten, misalnya rugi, yang disebabkan oleh pemicu yang wajar, misal karena pandemic covid, atau karena harga komoditas drop. Maka seharusnya anda tidak akan pusing dan panik, jika emiten tidak membagi dividen, karena harga beli modal rata-rata saham sudah menjadi 0.
Jika emiten membagikan dividen, pada saat harga beli / modal rata-rata = 0, misalnya anda mendapatkan dividend sebesar Rp. 100, maka dividend yield yang anda hasilkan sebesar = 100 / 0 = ~ alias tidak terhingga. Maka anda akan terkagum-kagim karena tidak ada instrument investasi manapun yang mampu menghasilkan margin keuntungan tidak berhingga.
Bayangkan jika semua saham telah balik modal, maka tidak perlu dibuka lagi aplikasi, sebab semua sudah balik modal. Resiko sudah menjadi 0. Hidup tenang melakukan aktivitas produktif lain selain memikirkan saham terus menerus, sambil menunggu dividen datang setiap tahun.
Apakah untuk melakukan swing trade dibutuhkan analisa tehnikal? Ya silahkan saja, kebetulan saya termasuk yang tidak percaya dengan indikator-indikator tehnikal. Saya hanya menggunakan prinsip umum saja, jika harga turun pada titik tertentu beli, semakin turun semakin beli. Dan sebaliknya jika harga naik, telah melebihi harga serokan saham paling bawah boleh dijual, semakin naik semakin dijual, begitu seterusnya sampai jatah saham untuk swing trade habis terjual. Biasanya saya mencicil beli, dan mencicil jual pada kisarang margin tektok antara 5% - 15% tergantung kondisi dan situasi dari harga belinya. Metode mana yang dipilih, tidak menjadi persoalan yang penting prinsipnya mendapatkan capital gain.
Bagaimana jika saat mencicil beli, kemudian harga saham malahan turun terus-menerus? Secara teoritis, anda tidak akan pernah kehabisan peluru untuk mencicil beli, karena semenjak awal sebagai fundamentalis aliran "value investing" anda akan mencari saham yang harganya murah dan telah menyiapkan money managment-nya.
Bagaimana jika saham yang harga belinya telah "balik modal", mengalami kenaikan harga yang luar biasa, apakah akan dijual? Jawabnya tergantung kebutuhan uang, jika memang sedang butuh uang, silahkan dijual. Berapapun harga jualnya adalah untung semua. Tetapi kalau sedang tidak butuh uang, maka tidak ada alasan untuk menjual seluruh saham, meskipun punya pemikiran bahwa kalau nanti harga saham turun akan dibeli lagi. Hal ini karena sebelum memutuskan membeli suatu saham kita telah melakukan riset, apakah saham tersebut layak untuk investasi atau tidak. Jika kemudian seluruh saham dijual karena harganya mahal, maka seluruh usaha untuk melakukan riset menjadi sia-sia dan kita juga kehilangan bisnis. Kapan saham harus dijual semuanya? Kalau kinerja emiten memang sudah melempem, tidak sesuai lagi dengan harapan, maka dijual pada harga buntungpun harus dilakukan.
Demikian semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H