Jika emiten membagikan dividen, pada saat harga beli / modal rata-rata = 0, misalnya anda mendapatkan dividend sebesar Rp. 100, maka dividend yield yang anda hasilkan sebesar = 100 / 0 = ~ alias tidak terhingga. Maka anda akan terkagum-kagim karena tidak ada instrument investasi manapun yang mampu menghasilkan margin keuntungan tidak berhingga.
Bayangkan jika semua saham telah balik modal, maka tidak perlu dibuka lagi aplikasi, sebab semua sudah balik modal. Resiko sudah menjadi 0. Hidup tenang melakukan aktivitas produktif lain selain memikirkan saham terus menerus, sambil menunggu dividen datang setiap tahun.
Apakah untuk melakukan swing trade dibutuhkan analisa tehnikal? Ya silahkan saja, kebetulan saya termasuk yang tidak percaya dengan indikator-indikator tehnikal. Saya hanya menggunakan prinsip umum saja, jika harga turun pada titik tertentu beli, semakin turun semakin beli. Dan sebaliknya jika harga naik, telah melebihi harga serokan saham paling bawah boleh dijual, semakin naik semakin dijual, begitu seterusnya sampai jatah saham untuk swing trade habis terjual. Biasanya saya mencicil beli, dan mencicil jual pada kisarang margin tektok antara 5% - 15% tergantung kondisi dan situasi dari harga belinya. Metode mana yang dipilih, tidak menjadi persoalan yang penting prinsipnya mendapatkan capital gain.
Bagaimana jika saat mencicil beli, kemudian harga saham malahan turun terus-menerus? Secara teoritis, anda tidak akan pernah kehabisan peluru untuk mencicil beli, karena semenjak awal sebagai fundamentalis aliran "value investing" anda akan mencari saham yang harganya murah dan telah menyiapkan money managment-nya.
Bagaimana jika saham yang harga belinya telah "balik modal", mengalami kenaikan harga yang luar biasa, apakah akan dijual? Jawabnya tergantung kebutuhan uang, jika memang sedang butuh uang, silahkan dijual. Berapapun harga jualnya adalah untung semua. Tetapi kalau sedang tidak butuh uang, maka tidak ada alasan untuk menjual seluruh saham, meskipun punya pemikiran bahwa kalau nanti harga saham turun akan dibeli lagi. Hal ini karena sebelum memutuskan membeli suatu saham kita telah melakukan riset, apakah saham tersebut layak untuk investasi atau tidak. Jika kemudian seluruh saham dijual karena harganya mahal, maka seluruh usaha untuk melakukan riset menjadi sia-sia dan kita juga kehilangan bisnis. Kapan saham harus dijual semuanya? Kalau kinerja emiten memang sudah melempem, tidak sesuai lagi dengan harapan, maka dijual pada harga buntungpun harus dilakukan.
Demikian semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H