Mohon tunggu...
Dokter Andri Psikiater
Dokter Andri Psikiater Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa

Psikiater dengan kekhususan di bidang Psikosomatik Medis. Lulus Dokter&Psikiater dari FKUI. Mendapatkan pelatihan di bidang Psikosomatik dan Biopsikososial dari American Psychosomatic Society dan Academy of Psychosomatic Medicine sejak tahun 2010. Anggota dari American Psychosomatic Society dan satu-satunya psikiater Indonesia yang mendapatkan pengakuan Fellow of Academy of Psychosomatic Medicine dari Academy of Psychosomatic Medicine di USA. Dosen di FK UKRIDA dan praktek di Klinik Psikosomatik RS Omni, Alam Sutera, Tangerang (Telp.021-29779999) . Twitter : @mbahndi

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Memahami Masalah Depresi Lebih Jauh: Teori Ruminasi dan Anhedonia

4 November 2023   08:00 Diperbarui: 4 November 2023   14:08 1188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gangguan depresi merupakan salah satu gangguan jiwa yang paling umum di seluruh dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, teori-teori depresi telah berkembang pesat untuk memahami lebih lanjut tentang gejala-gejala yang terlibat dalam gangguan depresi. 

Dalam artikel ini, kita akan membahas dua teori yang berkaitan dengan depresi, yaitu ruminasi dan anhedonia. Kedua teori ini menyoroti gejala-gejala yang lebih dominan dan membantu kita memahami kompleksitas gangguan depresi.

Ruminasi: Memahami Sirkuit Pikiran Negatif

Ruminasi adalah proses berulang yang mendasari proses mengenang dan memperpanjang pengalaman emosional yang negatif secara terus-menerus.

Orang yang mengalami ruminasi cenderung terjebak dalam cangkang pikiran yang tidak produktif, berpikir berulang kali tentang kegagalan, kesalahan masa lalu, atau peristiwa traumatis. Mereka sering terjebak dalam siklus pikiran negatif yang tak berujung, yang dapat menyebabkan perasaan sedih yang lebih dalam.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa ruminasi terkait dengan gangguan fungsi beberapa sirkuit otak yang terlibat dalam pengaturan emosi. 

Studi pencitraan otak telah mengungkapkan bahwa orang depresi yang mengalami ruminasi mengalami peningkatan aktivitas di korteks prefrontal (PFC), sebuah area yang terlibat dalam pemrosesan emosi dan pengambilan keputusan. 

Selain itu, terdapat penurunan aktivitas di area yang terkait dengan regulasi emosi, seperti amigdala. Hal ini mengindikasikan adanya ketidakseimbangan dalam sirkuit otak yang terlibat dalam pengaturan emosi, yang dapat menyebabkan perasaan sedih yang berkelanjutan.

Anhedonia: Kehilangan Kenikmatan dalam Hidup

Anhedonia adalah gejala utama dalam gangguan depresi yang ditandai dengan hilangnya minat atau kesenangan pada aktivitas yang sebelumnya dinikmati.

Penderita anhedonia merasa kehilangan minat dan kesenangan pada hal-hal yang sebelumnya memberikan kegembiraan. Hal ini dapat mencakup hilangnya minat terhadap hobi, hubungan interpersonal, makanan, atau bahkan kegiatan sehari-hari yang sederhana.

Para peneliti telah mengaitkan anhedonia dengan disfungsi dalam sistem penghargaan otak (reward system). Sistem penghargaan di otak mengatur persepsi kita tentang penghargaan dan kegembiraan, dan melibatkan neurotransmiter seperti dopamin. 

Pada depresi, penurunan aktivitas dopaminergik di daerah otak yang terkait dengan penghargaan dan kesenangan telah diamati. Hal ini dapat menjelaskan mengapa orang dengan depresi sering mengalami kehilangan minat dan kesenangan, karena respons otak terhadap penghargaan dan kegembiraan menurun.

Hubungan Antara Ruminasi dan Anhedonia

Ruminasi dan anhedonia sering kali saling terkait dan saling mempengaruhi dalam konteks gangguan depresi. 

Ruminasi yang berkepanjangan dapat menyebabkan hilangnya minat dan kesenangan dalam hidup, yang merupakan gejala anhedonia. Sebaliknya, anhedonia dapat memicu pemikiran ruminasi yang tak henti-hentinya tentang ketidakpuasan hidup dan hilangnya minat.

Selain itu, ruminasi dan anhedonia juga memiliki dampak negatif pada kualitas hidup secara keseluruhan. Ruminasi yang berkepanjangan dapat memperburuk gejala depresi dan menghambat pemulihan. Sementara itu, anhedonia dapat menghambat keterlibatan sosial dan aktivitas yang meningkatkan suasana hati.

Terapi yang Menyeluruh Awal Kembalinya Kualitas Hidup

Gangguan depresi adalah gangguan mental yang kompleks, dan ruminasi serta anhedonia adalah dua aspek penting yang terkait dengan gejala depresi yang lebih dominan. 

Ruminasi melibatkan siklus pikiran negatif yang tak berujung, sementara anhedonia melibatkan hilangnya minat dan kesenangan dalam hidup. Kedua teori ini memiliki dasar neurologis yang terkait dengan disfungsi di sirkuit otak yang mengatur emosi dan sistem penghargaan.

Memahami hubungan antara ruminasi dan anhedonia dapat membantu dalam pengembangan intervensi dan perawatan yang lebih efektif untuk gangguan depresi. 

Terapi perilaku kognitif (CBT) telah terbukti efektif dalam mengurangi perenungan dan meningkatkan kesehatan mental. Selain itu, terapi farmakologis yang bertujuan untuk memodulasi aktivitas neurotransmiter seperti serotonin dan dopamin juga digunakan dalam pengobatan depresi. Keduanya terkadang diperlukan selaras agar pasien mendapatkan hasil yang maksimal. 

Sering kali pengobatan dengan obat antidepresan mengalami kegagalan. Salah satu pembicara di ECNP 2023 yang baru lalu Prof Vladamir Maletic mengatakan bahwa 63% pasien depresi gagal diterapi dengan antidepresan lini pertama. Pemahaman terkait fungsi sistem dopamin dan serotonin pada penatalaksanaan pasien depresi dengan karakter anhedonia dan ruminasi untuk itu sangat diperlukan.

Sebagai penutup ingin saya ingatkan kembali bahwa artikel ini hanya memberikan gambaran umum mengenai teori ruminasi dan anhedonia dalam konteks gangguan depresi. Setiap individu dapat mengalami depresi dengan gejala yang berbeda-beda, dan pengobatan yang tepat harus disesuaikan dengan kebutuhan individu. 

Kunjungi dokter jiwa terdekat Anda jika mengalami gejala-gejala yang terdapat dalam artikel ini. Pemeriksaan langsung adalah kunci diagnosis gangguan jiwa. Jangan melakukan diagnosis diri sendiri (self diagnosis). Semoga artikel ini bermanfaat. Salam Sehat Jiwa 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun