Praktik-praktik kurang sedap sebenarnya publik sudah menciumnya. Seperti kasus BLBI yang melibatkan Presiden Megawati Soekarno Putri dan Century dan Hambalang yang melibatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pergantian komisioner KPK pun, kasus ini hanya sebagai komoditi nilai tawar posisi.
Sempat merebak juga komisioner KPK seringkali menjalankan pihak luar untuk sebuah field operation; wartawan bodrek dan LSM yang menyebut diri sebagai anti korupsi. Mendatangi kepala daerah untuk menjalankan misi menciptakan “mesin ATM” dengan menggunakan data-data yang dimiliki KPK.
KPK Daerah tidak penting! Merupakan jawaban dari rangkaian setuju atau menolak dibentuknya KPK Daerah. Justru adanya KPK Daerah akan menjadi “bandar” baru dalam kegiatan korupsi. Seperti halnya terjadi pada pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor). Pengadilan yang diharapkan menjadi trigger dalam pemberantasan korupsi ternyata kurang menunjukkan taringnya. Kelahiran pengadilan yang dilahirkan berdasar semangat extraordinary ternyata masih menampakkan sederet paradoks.
Banyak kita jumpai dalam sidang tindak pidana korupsi. Hakim di Pengadilan Tipikor masih saja berkutat persoalan konvensional yang meskipun memperoleh legitimasi secara hukum namun sangat mengecewakan publik. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H