[caption caption="Baliyem Penjual Bakwan Malang"][/caption]Satu ini potret kehidupan di negeri kita dan masih banyak potret lain, mungkin saja lebih mengharukan dari pada kisah Baliyem. Bocah lelaki baru berusia 13 tahun ini, mengais kebutuhan hidup sendiri dengan jualan bakwan Malang.
Sore itu, Kamis (14/4/2016) pukul 17.00 WIB, Baliyem membunyikan alat dagangannya; tek…tok…tek…tok. Sayup-sayup terdengar. Saya yang kebetulan ingin makan yang pedas dan hangat karena terserang flu. Beranjak dari duduk menuju joglo yang berada di lantai dua. Saya mencari sumber suara; tek…tok itu, sambil tangan berpegangan pada pembatas joglo.
Saya tidak langsung menemukan sumber suara itu. Meski tubuh saya sudah  condong ke depan dan kepala clingak-cliguk ke kiri dan ke kanan. Sekali lagi suara; tek…tok itu terdengar mulai jelas. Tepat pada tolehan ke arah kiri, persis dari arah timur. Bocah itu memikul barang dagangannya. Menyusuri antara pemukiman rumah tempat tinggal saya dengan pagar tembok pembatas tanah Telkomsel di Jalan A. Yani Surabaya.
Saya membatin, bukankah ini bocah yang kemarin sore? Ya, sebelumnya Baliyem sempat berpapasan dengan saya. Ketika saya berboncengan motor dengan Fajar, salah seorang teman. Baliyem sempat menghindari motor yang dikemudikan Fajar sambil memikul bakwan. Terlihat wajahnya berkeringat. Rasa keterharuan pun mampir dalam diri saya. Â Â
“Jar, bocah cilik dodolan, katek mikul. Mesakno Jar, “ kataku kepada Fajar, Rabu (13/4/2016). (anak kecil jualan, mikul lagi. Kasihan)
“Piye maneh lek. Apa yang kita andalakan terhadap negeri ini. Masak hal-hal seperti itu menjadi perhatian pemerintah, “ gumam Fajar. Â
Dari atas jok motor saya sempatkan memutar tubuh memastikan melihat. Ternyata benar dia masih bocah; berjuang menata hidupnya dengan jualan bakwan. Â
Hari pun berjalan tiba saatnya saya benar-benar bertemu bocah itu. Dari atas joglo lantai dua, saya lambaikan tangan. Tanpa sengaja mungkin, Baliyem mendongakkan kepala. Dia tahu kalau saya mau beli. Terlihat dia mengebatkan jalannya. Saya segera menuruni tangga. Baliyem pun sudah berada di depan pintu pagar.
“Bakwane le, “ kata saya.
“Berapa om, “ jawab Baliyem.
“Ini boleh kan?, “ ujar saya dengan menyordorkan uang Rp 10.000.
Baliyem pun meramu bakwan. Bebera pentol dan gorengan di taruh di dalam mangkok. “Stop…stop, kebanyakan le, “ ucap saya.
“Belinya sepuluh ribu om, “
“Ya gak apa-apa, “ ucap saya. Dia pun terdiam memandangi saya. Melihat Baliyem saya segera menyaran “Pentol satu, gorangan dua. cukup, “
Dia lalu mengikuti saran saya. “Pakai, saos, sambel om, “
“Ya, “
Di depan rumah saya menikmati bakwan itu. Saya sempatkan ngobrol dan bertanya namanya. Dia mengaku berasal dari Turen, Malang. Baliyem anak pertama dari tiga bersaudara. Kedua adiknya bersama ibunya di kampung.
Baliyem seperti terbebani ketika saya tanya tentang bapaknya. “Sudah lama meninggal om, “ katanya.
“Sejak kapan?, “
“Lama, “ sahutnya
Dia hanya menyebut lama dengan nada berat. Mendengar jawaban itu saya tidak memaksa bertanya lagi.
“Kamu pernah sekolah, “
“Pernah om, SD, “
“Kamu kalau jualan, di depan rumah sini banyak motor. Berhenti saja, masuk terus naik. Tawarkan bakwanmu ke om-om yang ada di sini, “ saran saya, basa-basi tapi sungguh-sungguh.
“Ya om, “ jawabnya. “ kalau sekarang om, “
“Sekarang masih sepi, pada kuliah dan kerja, “
Setelah saya menikmati bakwan, Baliyem saya sarankan mengambil air di kitchen set. Saya melihat mangkok yang di dalam timba, tempat cucian berjualan, belum tercuci. Â Mangkok-mangkok yang masih kotor, saya minta untuk dicuci sekalian di dapur tempat saya tinggal bersama kawan-kawan.
Lalu Baliyem pun pergi, sambil mengucapkan terima kasih. Keharuan dan amarah pada penguasa hingga kini masih menghinggap dalam diri saya. (*)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H