Bagi sebagian orang, pernikahan adalah sebuah tujuan kehidupan. Tanda keutuhan pendewasaan seseorang. Namun, apakah benar begitu adanya?
Untuk membahas hal ini, saya akan menggunakan dua wedding film berjudul The Vow (2012) dan Stuck In Love (2012) sebagai sumber referensi. Keduanya merupakan film bertemakan cinta yang terjalin dalam bentuk pernikahan.
Namun berbeda dengan wedding film pada umumnya, The Vow dan Stuck In Love justru menunjukkan kehidupan rumah tangga yang tidak berhasil.
Sebelum mengulik kedua film di atas, izinkan saya untuk sedikit bercerita.
Sejak kecil, saya sudah akrab dengan film dongeng bertema cinta. Tertanam di kepala saya bahwa sebuah ikatan pernikahan adalah kunci menuju kebahagiaan yang kekal.
Cerita dalam dongeng selalu berakhir ketika sepasang kekasih menikah. Tidak lupa dilengkapi dengan sebuah ungkapan yang saya yakin sangat lazim didengar, "Happily Ever After" yaitu bahagia selamanya.
Beranjak dewasa, barulah mata saya terbuka akan realita yang ada. Bahwa pernikahan tidak selalu seindah kisah di negeri dongeng.
Kontradiksi antara kisah dongeng dan realitas kehidupan menjadi masuk akal ketika saya mengenal konsep konstruksi realitas sosial.
Barangkali, telah terbentuk sebuah konstruksi realitas di masyarakat bahwa pernikahan hanyalah tentang bahagia.
Karena itu, ketika dirasa tidak ada lagi ruang untuk kebahagiaan, dengan mudahnya pernikahan berakhir pada perceraian. Seperti halnya isu yang dimuat dalam film The Vow dan Stuck In Love.
Konstruksi Realitas Melalui Film
Konstruksi realitas tentu saja tidak tersebar dengan sendirinya. Agar sebuah konstruksi dapat tersebar, dibutuhkan media dengan dampak besar seperti komunikasi massa.
Pada kasus ini, film sebagai salah satu produk komunikasi massa adalah hal yang dipilih untuk melanggengkan konstruksi realitas tersebut. Namun kehadiran film dapat ditilik dari dua peran berbeda.
Di satu sisi, film dapat memuat informasi yang telah dikonstruksi ulang dengan tujuan tertentu
Di sisi lain, film berperan untuk memberikan informasi kepada masyarakat sebagaimana realita sebenarnya. Dalam opini saya, peran inilah yang dipegang oleh film Stuck In Love dan The Vow.
Keduanya memperlihatkan warna-warni kehidupan pernikahan yang sesekali tentu menemukan kesulitan.
Teori Dimensi Budaya Individualisme dan Teori Marxisme
Stuck In Love, karya sutradara Josh Boone, menceritakan kehidupan sebuah keluarga setelah sang istri dan suami memutuskan untuk bercerai. Erica, sang istri, meninggalkan suaminya, Bill, karena tidak lagi merasa bahagia. Hubungan mereka berakhir setelah Bill mendapati istrinya tengah berselingkuh dengan laki-laki lain. Â
Sementara itu, dalam film The Vow karya sutradara Michael Sucsy, terdapat sepasang suami istri yang berpisah karena nasib yang kurang mujur. Leo dan Paige terpaksa berpisah setelah sebuah kecelakaan membuat Paige kehilangan ingatannya dan tidak mengenali Leo sama sekali.
Hubungan mereka berakhir setelah Leo merasa ingatan Paige tidak akan pernah kembali. Ditambah lagi dengan faktor keluarga Paige yang tidak merestui hubungan putrinya dengan Leo.
Untuk menjabarkan relasi kedua film di atas dengan konstruksi realitas sosial, saya akan menggunakan teori dimensi budaya oleh Geert Hofstede mengenai individualisme dan kolektivisme.
Individualisme merupakan pemahaman dimana seseorang cenderung menganggap dirinya sebagai hal utama dalam lingkungan apapun. Karena itu, masyarakat dengan dimensi ini akan menjadikan tujuan pribadi sebagai prioritas utama. Seorang individualis juga cenderung menentang keputusan atau pendapat apapun yang membatasi kebebasan dirinya sendiri.
Berbeda dengan mereka yang menganut paham kolektivisme. Seorang kolektivis memiliki kecenderungan untuk mengutamakan kebutuhan dan tujuan kelompok sosialnya.
Kecenderungan budaya seorang individu akan berpengaruh pada faktor lain dalam kehidupannya.
Selain itu, saya juga akan menyinggung mengenai teori Marxisme dalam film The Vow.
Marxisme dicetuskan oleh Karl Marx terkait kekhawatirannya mengenai sistem ekonomi, politik, dan sosial di masyarakat. Marxisme lahir sebagai tanda penolakan terhadap adanya pembagian kelas oleh sistem kapitalisme.
Analisis Teks pada Film
Untuk menghubungkan teori-teori di atas dengan film The Vow dan Stuck In Love, saya akan menggunakan metode analisis teks.
Analisis Teks menurut Pawito adalah cara untuk memahami makna atau pesan komunikasi dibalik sebuah teks secara tekstual maupun kontekstual.
The Vow (2012)
- Adegan 1: Paige kembali ke apartemennya bersama Leo
Dalam adegan ini, terdapat hal pertama yang menimbulkan masalah dalam hubungan Paige dan Leo. Paige merasa kesal terhadap Leo karena telah mengundang teman-teman mereka (yang tidak dikenal Paige karena cedera otaknya) untuk menyambut kepulangannya. Paige bahkan mengatakan bahwa berada di apartemen tersebut bersama Leo adalah hal yang sulit diterima. Hal ini menunjukkan individualisme dari diri Paige dengan hanya memikirkan perasaannya sendiri dan tidak menghargai usaha Leo untuk membuatnya bahagia.
- Adegan 2: Leo mengajak Paige untuk melihat studio pahat milik Paige
Dalam adegan ini, mulai muncul sikap individualisme dari Leo yang turut memperkeruh hubungannya dengan Paige. Leo membentak Paige karena kerap kali menghindar dan menahan diri setiap Leo berusaha untuk membantu memulihkan ingatan Paige. Kemarahan Leo dalam adegan ini menunjukkan bahwa ia tidak bahagia dengan situasi rumah tangganya saat itu.
- Adegan 3: Makan malam pertama Leo dan Paige di kediaman orangtua Paige
Dialog pada gambar di atas dilontarkan oleh calon adik ipar Paige dan Leo, ketika menanggapi pekerjaan Leo sebagai pemilik studio rekaman. Sikap tersebut menunjukkan langgengnya ketimpangan kelas sosial di masyarakat.
- Adegan 4: Pernikahan adik Paige
Dalam adegan di atas, kembali terlihat diskriminasi perbedaan kelas. Kali ini, ayah Paige mendesak Leo untuk menceraikan Paige karena kondisi ekonomi Leo. Leo dianggap tidak akan mampu menghidupi Paige dan gaya hidup yang dimilikinya.
- Adegan 5: Kekecewaan Leo
Adegan ini merupakan klimaks dari hubungan Leo dan Paige, serta momen dimana Paige berada di puncak individualismenya. Leo mengungkapkan kekecewaannya kepada Paige karena alih-alih mencoba lebih keras untuk mendapatkan kembali memorinya, Paige justru sering menghabiskan waktu bersama mantan tunangannya, Jeremy.
- Adegan 6: Perceraian Leo dan Paige
Adegan ini merupakan kelanjutan dari klimaks pada film The Vow, dimana Leo juga cenderung menjadi individualis dengan tidak lagi berusaha memperbaiki hubungan rumah tangganya dengan Paige. Leo merasa kecewa karena keadaan tidak lagi seperti dulu, dan memutuskan untuk menerima tawaran ayah Paige untuk bercerai dengan putrinya karena ia tak lagi bahagia. Â
Stuck In Love (2012)
- Adegan 1: Erica berkeluh kesah terhadap Bill mengenai putri mereka, Samantha
Dalam adegan ini, Samantha telah mengabaikan Erica selama satu tahun lamanya. Ia marah karena ibunya meninggalkan ayahnya. Erica pun mengeluh kepada Bill dengan mengatakan bahwa Samantha bersikap dramatis karena di zaman ini perceraian sudah menjadi hal yang lumrah. Erica tidak mementingkan kepentingan Samantha sebagai putrinya yang berhak kecewa atas perceraian tersebut.
- Adegan 2: Erica meminta Bill untuk melanjutkan hidupnya
Dalam adegan ini, kembali terlihat individualism dari Erica. Bill menegaskan asumsi saya terhadap Erica, bahwa Erica meninggalkan Bill karena merasa tidak bahagia dalam hubungan mereka. Erica lagi-lagi mengabaikan kepentingan keluarganya, dan mengutamakan kepentingan pribadinya.
- Adegan 3: Perilisan novel perdana Samantha
Dalam adegan ini, Erica kembali bertemu dengan Bill. Dari perbincangan mereka, barulah terkuak bahwa keputusan Erica untuk bercerai sedikit banyak turut didorong oleh individualisme Bill. Selama pernikahan mereka, Bill kerap kali mengarahkan Erica untuk melakukan apapun sesuai dengan keinginannya. Padahal hal itu bukanlah yang diinginkan Erica. Dalam ilustrasi di atas, Bill baru menyadari sikapnya tersebut dan merasa bersalah karena telah memaksa Erica termasuk mengenai buku yang dibacanya.
Tidak Ada Benar atau Salah, yang Ada Hanya Realitas yang Dikonstruksi
Mengingat latar kedua film yang menceritakan tokoh berkebangsaan Amerika Serikat, tentulah setiap keputusan yang diambil oleh tokoh-tokohnya dipengaruhi oleh unsur budaya lingkungan sekitarnya.
Menurut saya, salah satu budaya Amerika Serikat yang dikisahkan dalam film adalah aspek individualisme masyarakatnya yang begitu tinggi. Sikap tersebut mendorong setiap individunya untuk mengutamakan kepentingan pribadi dan bukan kepentingan kelompok.
Mentalitas ini kemudian turut berandil dalam setiap keputusan yang diambil oleh masyarakat, termasuk halnya dengan keputusan dalam hubungan rumah tangga.
Sehingga ketika seorang individu bertemu dengan keadaan yang dirasa menghambat kepentingan pribadinya ---dalam hal ini kebahagiaan--- ia akan mengambil keputusan apapun yang akan menguntungkannya. Bahkan perceraian sekalipun.
Pada kedua film yang saya pilih, individualisme para tokoh membuat hubungan rumah tangganya harus berakhir. Alih-alih berusaha untuk memperbaiki apa yang salah dalam hubungan, para tokoh menyerah dan mencari kebahagiaan di tempat lain.
Bagi masyarakat Amerika Serikat, hal tersebut mungkin dirasa wajar. Namun, bagi kelompok masyarakat lainnya, perceraian dapat dianggap sebagai hal tabu yang bertentangan dengan paham yang mereka percaya.
Bukan berarti salah satu pihak salah dan yang lainnya benar, namun ini menegaskan bahwa setiap kelompok masyarakat hidup dengan kebiasaan dan budaya tertentu.
Maka menjadi sangat wajar jika sewaktu-waktu kita berelasi dengan seseorang yang memiliki pandangan berbeda akan segala sesuatunya.
Hal terpenting adalah bagaimana cara kita berkompromi atas perbedaan, bukan menghindar dari siapapun yang berbeda dengan kita.
Selamat menemukan perbedaan!
Daftar Pustaka
Putri, Oktavia Pratomo. (2011, Desember). The American Individualism Reflected In Chris Gardner A Character In The Pursuit Of Happiness Movie. Undergraduate Thesis University of Diponegoro, (24-27). 11 Desember, 2020. http://eprints.undip.ac.id/33614/2/THE_AMERICAN_INDIVIDUALISM_REFLECTED.pdf
Bennett, Tonny. 1982. Media, Reality, Signification. Dalam Michael Gurevitch, Tonny Bennett, dan James Wollacott (ed.). Culture, Society and the Media. London: Methuen.
Hofstede, Geert, 1980, Culure's Consequences, International Differences In Work Related Values, Sage Publications, Beverly Hills, London
Pawito. (2017). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKi
Kusumastuti, Aisyah N., & Nugroho, C. (2017). Representasi Pemikiran Marxisme dalam Film Biografi (Studi Semiotika John Fiske Mengenai Pertentangan Kelas Sosial Karl Marx pada Film Guru Bangsa Tjokroaminoto). Vol. 4, No. 2. Proceeding of Management. Diakses dari: https://core.ac.uk/download/pdf/299915548.pdf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H