Konstruksi realitas tentu saja tidak tersebar dengan sendirinya. Agar sebuah konstruksi dapat tersebar, dibutuhkan media dengan dampak besar seperti komunikasi massa.
Pada kasus ini, film sebagai salah satu produk komunikasi massa adalah hal yang dipilih untuk melanggengkan konstruksi realitas tersebut. Namun kehadiran film dapat ditilik dari dua peran berbeda.
Di satu sisi, film dapat memuat informasi yang telah dikonstruksi ulang dengan tujuan tertentu
Di sisi lain, film berperan untuk memberikan informasi kepada masyarakat sebagaimana realita sebenarnya. Dalam opini saya, peran inilah yang dipegang oleh film Stuck In Love dan The Vow.
Keduanya memperlihatkan warna-warni kehidupan pernikahan yang sesekali tentu menemukan kesulitan.
Teori Dimensi Budaya Individualisme dan Teori Marxisme
Stuck In Love, karya sutradara Josh Boone, menceritakan kehidupan sebuah keluarga setelah sang istri dan suami memutuskan untuk bercerai. Erica, sang istri, meninggalkan suaminya, Bill, karena tidak lagi merasa bahagia. Hubungan mereka berakhir setelah Bill mendapati istrinya tengah berselingkuh dengan laki-laki lain. Â
Sementara itu, dalam film The Vow karya sutradara Michael Sucsy, terdapat sepasang suami istri yang berpisah karena nasib yang kurang mujur. Leo dan Paige terpaksa berpisah setelah sebuah kecelakaan membuat Paige kehilangan ingatannya dan tidak mengenali Leo sama sekali.
Hubungan mereka berakhir setelah Leo merasa ingatan Paige tidak akan pernah kembali. Ditambah lagi dengan faktor keluarga Paige yang tidak merestui hubungan putrinya dengan Leo.
Untuk menjabarkan relasi kedua film di atas dengan konstruksi realitas sosial, saya akan menggunakan teori dimensi budaya oleh Geert Hofstede mengenai individualisme dan kolektivisme.
Individualisme merupakan pemahaman dimana seseorang cenderung menganggap dirinya sebagai hal utama dalam lingkungan apapun. Karena itu, masyarakat dengan dimensi ini akan menjadikan tujuan pribadi sebagai prioritas utama. Seorang individualis juga cenderung menentang keputusan atau pendapat apapun yang membatasi kebebasan dirinya sendiri.
Berbeda dengan mereka yang menganut paham kolektivisme. Seorang kolektivis memiliki kecenderungan untuk mengutamakan kebutuhan dan tujuan kelompok sosialnya.